Jenderal, Mengapa Kau Tarik Babinsa dari Gelanggang Pemilu?

Ngelmu.co – Ditariknya Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari wilayah pemantauan Pemilihan Umum (Pemilu), menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat, “Mengapa Babinsa ditarik dari gelanggang Pemilu? Apa maksud tersembunyi di balik keputusan tersebut?”. Seorang jurnalis dan pemerhati Militer turut memberikan komentar tentang gelapnya negeri ini.

Hari Kartini. Namun, kali ini pertanyaan teman-teman kepada saya, tak ada kaitannya dengan perjuangan Ibu Kita, Raden Ajeng Kartini, juga bukan soal bukunya, Habis Gelap Terbitlah Terang.

Tapi soal ‘gelapnya’ suasana yang menyelimuti Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad). Gelap setelah adanya instruksi dari Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa.

Perintah orang nomor satu di Mabesad sebagai tindak lanjut acara Video Conference (vicon) antara Wakil Asisten Teritorial (Waaster KSAD) Brigjen Gathut Setyo Utomo dengan para Asisten Teritorial (Aster), Komando Utama (Kotama) AD, Jumat (19/4) malam.

Apa yang dibahas? Apalagi kalau bukan soal Pemilu. Ya, ini memang soal Pemilu. Perhelatan demokrasi yang menjadi tanggung jawab sejumlah komponen bangsa. Termasuk tanggung jawab TNI AD untuk mengamankan ajang ini, agar berlangsung aman, tertib, dan tentu saja jujur dan adil.

Disebutkan, adanya laporan yang masuk ke KSAD. Aparat Komando Wilayah (Apkowil) dalam hal ini Babinsa melaksanakan pencarian data dengan pencatatan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Merekap hasil pemilu di Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan memfoto formulir C1 (catatan hasil penghitungan suara). Berdasarkan hal tersebut, diperintahkan kepada seluruh jajaran Apkowil, sebagai berikut:

  1. Tidak ada lagi Apkowil (Babinsa) melaksanakan pencarian data untuk mendapatkan informasi sebagaimana hal tersebut di atas.
  2. Tidak ada lagi laporan perolehan suara yang dikirimkan via WhatsApp, dikirim lewat Email atas permintaan.
  3. Laporan yang dikirimkan adalah laporan yang berdasarkan hasil keputusan dari Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), sesuai jadwal pengumuman, sudah di-sahkan, sudah dipublikasikan kepada masyarakat. Bukan hasil pencatatan/mencari data/memfoto dengan cara yang tidak benar.

Sejak malam itu juga, hingga pukul 24.00, perintah sudah harus disampaikan kepada seluruh Babinsa dan Apkowil lainnya.

Jika tidak, bagaimana? Apabila keesokan harinya masih ada foto yang viral terkait hal tersebut, dan diterima oleh KSAD, maka konsekuensi ada pada komandan Kodim dan Aster.

Pertanyaan Publik …

  1. Instruksi KSAD tersebut viral dan menjadi bahan pertanyaan publik.
  2. Perintah KSAD sangat serius dengan sanksi keras terhadap para dandim dan para aster Kotama. Tembusannya antara lain kepada para panglima Kodam, kepala staf Kodam, maupun inspektur Kodam.

Pertanyaan inilah yang sejak Sabtu (20/4) muncul di WhatsApp (WA) saya. Ada apa dengan fungsi Pembinaan Teritorial (Binter) AD? Ada apa dengan Angkatan Darat? Baru pada Pemilu kali ini, para Babinsa ditarik dari pantauan Pemilu di PPK.

Di sisi lain, Kepala Polda Metro Jaya, Irjen Gatot Eddy Purnomo, menyampaikan alasan pihaknya mengumpulkan formulir C1 Plano penghitungan suara Pemilu 2019.

Ia berdalih, jajaranya mengumpulkan C1 untuk pegangan atau data internal yang dipersiapkan. Tujuannya, mengantisipasi hal yang tidak diinginkan seperti konflik akibat perbedaan suara.

Namun, benarkah hanya untuk itu? Sebab, publik sejak awal mempertanyakan, bagaimana bentuk implementasi netralitas polisi pada Pemilu kali ini?

Walaupun beberapa kali Kepala Polri Jenderal Muhammad Tito Karnavian ‘berbusa-busa’ menyatakan netralitas-nya. Namun, ucapan dan implementasinya tetap akan diuji oleh masyarakat di lapangan.

Tugas mendata hasil C1 di kepolisian, ujung tombaknya adalah Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), yakni rekan kerja Babinsa di Kelurahan atau Desa hingga Kecamatan.

Menurut Peraturan Kepala Staf TNI AD Nomor 19/IV/2008 tertanggal 8 April 2008, seorang Babinsa berkewajiban melaksanakan pembinaan teritorial sesuai petunjuk atasannya, yaitu komandan Komando Rayon Militer (Koramil).

Secara pokok, tugasnya mengumpulkan dan memelihara data pada aspek geografi, demografi, hingga sosial dan potensi nasional di wilayah kerjanya.

Dan Babinsa menjadi ujung tombak informasi awal operasi militer, selain perang. Berupa operasi kemanusiaan TNI AD atau gabungan. Termasuk memberikan informasi awal terkini tentang kondisi dan situasi wilayahnya. Ya, mereka memang memiliki tugas penting. Berhubungan langsung dengan keamanan, memelihara ketertiban, serta deteksi dan pencegahan dini.

Mereka juga yang pertama dan sering mendapatkan informasi, baik yang berkaitan dengan kejahatan, keamanan dan terorisme. Termasuk kondisi sosial politik seperti saat Pemilu kali ini.

Mereka pihak pertama yang bisa mendeteksi kejadian-kejadian yang tidak diinginkan, sehingga bisa dicegah. Langkah preventif aktif. Maka, wajar saja jika para Babinsa pun turut mencatat hasil Pemilu melalui formulir C1.

Namun, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari melumpuhkan hal tersebut dengan mengatakan pada dasarnya formulir C1 yang asli itu merupakan milik KPU, dan tidak boleh ada pihak lain yang meminta formulir asli C1 tersebut.

Tetapi tidak ada larangan bagi Babinsa maupun Bhabinkamtibmas untuk mencatat atau memfoto hasil C1. Tugas seperti itu sudah dilakukan sejak Pemilu era reformasi 1999 silam. Hasil Pemilu bisa diketahui masyarakat dan bagian dari keterbukaan informasi publik.

Penarikan Babinsa di satu sisi, serta semakin ‘aktifnya’ Bhabinkamtibmas di sisi lain, justru mengundang tanda tanya besar. Mengapa fungsi Babinsa dilumpuhkan?

Jangan lupa makna konsep operasi teritorial TNI. Inilah sesungguhnya model komunikasi yang terbangun dalam perang gerilya. Wafatnya Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman pada 1950, tidak serta merta konsep opera di teritorial ini dihapuskan. Justru dilanjutkan pimpinan TNI dan penerusnya.

Kemudian, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution yang mengenalkan konsep operasi terstruktur. Dikenal dengan sebutan Operasi Pembinaan Teritorial (Binter) TNI melalui metode komunikasi sosial (Komsos) TNI.

Operasi Binter melalui Komsos semakin terlembaga, setelah Jenderal Besar Soeharto menjadi Presiden RI. Binter yang berfokus pada Komsos dijadikan instrumen penting oleh Presiden Soeharto. Utamanya untuk menanggulangi ancaman dan berbagai gerakan anti Pancasila yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Maka, Satuan Komando Teritorial TNI AD yang digelar dari tingkat pusat sampai tingkat Kecamatan dan Desa, menjadi pelaksana Binter yang difokuskan pada kegiatan komunikasi sosial dan Pembinaan Ketahanan Masyarakat dan Wilayah (Bintahwil), serta Bakti TNI.

Pasca pemerintahan Orde Baru, TNI semakin mengedepankan pendekatan komunikasi sosial dengan masyarakat. Saat TNI dipimpin Jenderal Gatot Nurmantyo, misalnya. Dicanangkan program Binter yang komprehensif. Dikenal dengan istilah Serbuan Teritorial.

Sebuah implementasi komitmen TNI dalam membantu pemerintah mempercepat program pembangunan guna mewujudkan tatanan masyarakat yang berkembang maju dan sejahtera.

Era reformasi, TNI memandang penting membangun kesepahaman dengan rakyat melalui komunikasi sosial. Hal ini sebagai pra-syarat dalam mewujudkan keamanan dan keselamatan bangsa. TNI wajib membangun komunikasi sosial kemasyarakatan yang lebih dialogis dan persuasif. TNI dan rakyat harus memiliki semangat rasa persatuan yang solid dan manunggal.

Kini sebagian masyatakat justru terpukul. Terpukul oleh brutalnya pencatatan hasil pemilu di KPUD/KPU yang tidak sesuai dengan hasil formulir C1. Ada yang berbuat curang sejak tingkat TPS. Karena itu, kehadiran aparat Babinsa yang memiliki bukti sesuai hasil C1, justru akan dapat mengetahui siapa sesungguhnya pembajak konstitusi.

Apalagi pada Kamis (18/4), Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menegaskan jika aparat keamanan tidak akan memberi toleransi atas tindakan yang mengganggu ketertiban masyarakat dalam menyikapi Pemilu 2019.

TNI dan Polri akan menjaga stabilitas keamanan hingga berakhirnya seluruh tahapan pemilu 2019. Hal itu disampaikannya dalam jumpa pers di Kantor Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta.

“Kami tidak akan menoleransi dan menindak tegas semua upaya yang akan mengganggu ketertiban masyarakat serta aksi-aksi inkonstitusional yang merusak proses demokrasi,” kata Marsekal Hadi yang didampingi oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

Kesalahan input data atau kesengajaan yang masih dilakukan di KPUD/KPU, berpotensi sebagai tindakan inkonstitusional. Sekaligus memantik kerusuhan horizontal. Tindakan yang merusak proses demokrasi.

Kehadiran Babinsa yang memiliki catatan hasil C1 sejatinya merupakan tindakan konstitusional. Tidak ada yang dilanggar. Bahkan sebuah cipta kondisi yang semakin penting dan mendesak.

Mengapa? Karena spektrum ancaman di era global ini sangat berat dan kompleks. Antara lain berupa ancaman proxy war. Bentuk peperangan antarnegara yang bersifat halus, tidak menggunakan kekuatan militer.

Ancaman potensi konflik horizontal dampak dari hasil Pemilu, kini ada di depan mata kita semua. Mengapa Jenderal Andika Perkasa justru menarik mereka dari tugasnya melindungi masyarakat? Ada apa sesungguhnya, Jenderal?

Kami bertanya, dan berharap kegelapan misteri bobroknya pemilu kali ini bisa terungkap menjadi terang benderang. Bagai buku karya RA Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang.

Ahad, 21 April 2019

Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis dan Pemerhati militer