Opini  

Jokowi Bisa Dikalahkan

 

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengawali pernyataannta di Indonesia Lawyers Club (ILC), TV One pada Selasa, 27 Februari dengan sebuah pesan yang sangat penting, yakni “Jokowi Bisa Dikalahkan”. Asumsinya sederhana saja, yakni petahana dengan tingkat kepopuleran dibawah 50% itu masih mungkin untuk dikalahkan oleh penantangnya. Hal ini relevan dengan penilaian sejumlah lembaga survei yang menyatakan bahwa “Jokowi memang unggul, tapi posisinya belum aman”.

Prof Rocky Gerung juga menyampaikan salah satu pernyataan kunci dalam forum ILC, yakni “Jika seorang petahana sudah mengeluarkan seluruh kartunya tapi elektabilitasnya stagnan (44%) dan pemilu sudah didepan mata, berarti tingkat ketidakpercayaan tinggi sekali”. Beberapa pernyataan ini sedikit banyak bisa membongkar mitos dan memperbarui persepsi publik bahwa “Jokowi tidak terkalahkan”.

Jika kita perhatikan, nalar publik seolah memang sudah disihir dengan asumsi bahwa Jokowi akan memenangkan Pilpres 2019. Maka tidak heran jika media–media pro pemerintah selalu membombardir publik dengan pemberitaan seputar pembangunan infrastuktur, gaya hidup presiden yang populer, pembagian sepeda dan sertifikat tanah, hasil statistik survei elektoral dll. Semua itu mengarah pada pembentukan opini umum bahwa kepemimpinan Jokowi akan berlangsung 2 periode. Padahal pada realitas yang sebenarnya, justru tengah terjadi banyak kerusakan dan malfungsi kebijakan negara.

Frase “Jokowi Bisa Dikalahkan” dipercaya akan menjadi pemantik perjuangan, karena akan menyadarkan nalar publik bahwa Jokowi tidaklah sehebat apa yang diungkapkan oleh pengamat politik, lembaga survei, media pro pemerintah dan buzzer medsosnya. Karena salah satu modus untuk menggentarkan lawan dan menciutkan nyali bertanding adalah dengan mengatakan bahwa satu pihak sangat hebat, sangat kuat, pasti menang dll. Dan butuh kalimat sakti untuk mendobraknya, diantaranya “Jokowi Bisa Dikalahkan”.

Frase “Jokowi Bisa Dikalahkan” hanya akan muncul dari mereka yang berjiwa petarung. Karena mereka yang bersikap oportunis pasti lebih memilih untuk merapat dalam pusaran koalisinya. Di Eropa, bertanding dengan tim besar justru akan mendongkrak motivasi, menambah semangat dan meledakkan daya juang. “Manchester City boleh kalah dari siapa saja, tapi tidak dari Manchester United” kata Nicholas Anelka. Lain dengan timnas Indonesia dimasa lalu yang lebih memilih skema “Sepakbola Gajah” jika bertanding melawan tim kuat.

“Jokowi Bisa Dikalahkan”, saat ini memang baru berupa frase perjuangan. Namun bisa kita wujudkan dialam realitas. Bergantung dari beberapa faktor kunci, diantaranya ; (1) sejauh mana kita bisa menanamkan keyakinan itu kepada rekan seperjuangan, (2) sejauh mana kita bisa menciptakan arus perubahan di tengah masyarakat dan (3) sejauh mana kita bisa mengorganisir elemen – elemen pro oposisi. Kita perlu mengorganisir dan menyatukan elemen pro oposisi akan bisa menjadi kekuatan poliik yang efektif. Tugas ini tidak mudah, mengingat elemen pro oposisi meskipun jumlahnya besar tapi ada yang bersikap pasif, ada yang masih menolak sistem dan adajuga yang kadang agak lebay (berjiwa oportunis).

Dulu, bangsa Eropa dilanda ketakutan karena termakan mitos bahwa tentara Jerman (dibawah Hitler) itu tidak terkalahkan. Mentalnya sudah kalah sebelum berperang. Sekian waktu berjalan, ternyata tentara Jerman bisa juga dikalahkan. Dulu, seluruh Indonesia sempat termakan sihir lembaga survei bahwa Ahok tidak mungkin kalah. Dengan perjuangan dan doa, ternyata Ahok bisa juga dikalahkan. Sekarang, lembaga survei dan media pro pemerintah kembali membuat ulah dengan mengatakan bahwa Jokowi akan memenangkan Pilpres 2019. Mari berdiri tegak, dengan tangan terkepal, kita lantang teriakkan “Jokowi Bisa Dikalahkan”.

 

Eko Jun

Cilacap