Jokowi Pilih Ulama, Tapi Mengapa Banyak Ulama dan Umat Tak Memilihnya?

Ngelmu.co – Berawal dari Kamis (20/9/2018), Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengetuk palu saat meresmikan pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, sebagai ‘lawan’ dari pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Dipilihnya Ma’ruf sebagai pendamping Jokowi pun menimbulkan banyak pertanyaan di tengah masyarakat. Namun, yang lebih membingungkan adalah saat Jokowi memilih ulama sebagai Cawapres-nya, ia justru tidak dipilih oleh banyak ulama dan umat Islam lainnya. Apa yang menjadi penyebab ketimpangan ini terjadi?

Related image

Semua berawal dari hasil Ijtima Ulama II yang digelar, Ahad (16/9/2018) lalu, yakni putusan untuk mendukung Prabowo-Sandi pada Pilpres, 17 April mendatang. Pertanyaannya adalah mengapa banyak ulama dan umat yang justru tidak memilih Jokowi, setelah presiden Republik Indonesia ke-7 itu sudah lebih dulu menggandeng Ma’ruf Amin? Di mana letak kekeliruan Jokowi hingga langkahnya bersama Ma’ruf tidak membuat ulama dan umat memilih mereka?

Diketahui, Ijtima Ulama II yang dilaksanakan di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, tersebut merupakan kelanjutan Ijtima Ulama I yang sebelumnya digelar akhir Juli 2018. Dan hasilnya merupakan dua rekomendasi, yakni mendukung Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto sebagai capres, dan merekomendasikan ulama untuk menjadi Cawapres-nya.

Seolah menanggapi rencana tersebut, kubu petahana pun langsung membanting setir, dengan memilih “bos ulama” untuk mendampingi Jokowi. Padahal, sebelumnya nama mantan hakim agung Mahkamah Konstitusi dan cendekiawan Muslim yang dihormati, Mahfud MD sebelumnya diperkirakan akan menjadi pilihan utama kandidat wakil presiden Jokowi, hingga saat-saat terakhir sebelum pengumuman.

Di sisi lain, setelah melalui berbagai pertimbangan dan upaya rekonsiliasi, Prabowo yang mengaku mempertimbangkan persatuan umat, juga berbagai kajian strategis kebangsaan, justru memutuskan untuk memilih Sandiaga Salahuddin Uno sebagai pasangannya pada Pilpres 2019.

Publik yang awalnya heboh dengan hasil keputusan Ijtima Ulama dan menanyakan apakah para ulama akan tetap mendukung Prabowo, usai memilih Sandi, atau mengalihkan dukungannya ke Jokowi pun merasa pertanyaannya dijawab. Melalui penandatanganan 17 butir pakta integritas GNPF yang dilakukan oleh Prabowo, publik pun merasa jauh lebih terarah.

Sementara keputusan Jokowi memilih Ma’ruf sebagai pasangannya justru menimbulkan spekulasi, bahwa ini merupakan langkah yang sengaja dirancang untuk meningkatkan kredensial Islam-nya. Ma’ruf diharapkan akan menambah suara bagi Jokowi dari komunitas Islam, menarik banyak pemilih nahdliyyin (anggota NU), dan juga menarik dukungan yang sangat penting dari kelompok-kelompok Islam. Cawapres kubu petahana juga diharapkan bisa ‘melindungi’ Jokowi dari ‘serangan’ berbau agama.

Namun, para pengamat mengatakan jika citra Ma’ruf sebagai ulama Islam konservatif, justru bisa merugikan Jokowi. Bahkan, sebuah survei juga menunjukkan bahwa elektabilitas Jokowi menurun 1,6% ketika nama Ma’ruf resmi dipasangkan sebagai cawapres-nya. Sedangkan elektabilitas Prabowo naik dengan jumlah yang kurang lebih sama, saat nama Sandi sudah disandingkan dengannya.

Dengan begini, pertanyaan yang terletak pada judul sepertinya sudah jelas terjawab, ya?