Opini  

Kang Aher: Perpaduan Ustadz dan Umaro Par Excellence

 

Time so flies. Sepertinya baru kemarin saya bersua dengan Ahmad Heryawan di Hotel Grage, Cirebon saat sarapan pagi. Kala itu pada 2008, Kang Aher, sapaan akrabnya, sedang berjuang memasuki Gedung Sate. Kini, dia harus bersiap meninggalkan gedung yang sama, mengakhiri masa jabatannya sebagai gubernur Jawa Barat dengan bergelimang prestasi.

Pada 2008 tak ada yang menduga jika Kang Aher menjadi pemenang dalam Pilgub Jabar. Berpasangan dengan Dede Yusuf, mereka hanyalah underdog. Maklum, lawan keduanya kelas berat. Ada Agum Gumelar, dan ada petahana Danny Setiawan. Tak ada yang menjagokan Kang Aher, termasuk berbagai lembaga survei.

Tapi takdir Allah berbicara lain. Kang Aher-Dede Yusuf menang. Masyarakat Jawa Barat memiliki gubernur baru. Berdarah muda dan berasal dari PKS, partai Islam yang baru genap berusia 10 tahun.

Keraguan sempat menyeruak. Mampukah Kang Aher memimpin provinsi terbesar di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak? Kang Aher dianggap belum berpengalaman dan minim jam terbang. Ditambah lagi dia dari kader partai Islam yang selama ini mendapat stereotipe tak mampu mengelola negara.

Sudah cukup lama kita dipaksa untuk menerima pemikiran bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Agama (baca: Islam) menurut kaum sekuler tak memiliki peran dalam proses pembangunan bangsa. Alih-alih berkontribusi, agama justru menjadi pemicu konflik dan penghambat kemajuan. Akhirnya muncul pemikiran liar yang mempertanyakan sumbangsih agama bagi pembangunan.

Menurut kelompok yang getol menyuarakan peminggiran agama tersebut, kesalehan seseorang tidak berbanding lurus dengan aksinya di masyarakat. Mereka menuding kelompok atau orang yang membawa-bawa agama justru berkelakukan tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang dianutnya. Karena itu, sudah selayaknya agama atau orang sholeh tak mendapat tempat dalam pembangunan bangsa. Pendek kata: agama hanya di awang-awang, berjarak dari realitas sosial.

Untuk menguatkan cara berpikirnya itu, mereka lalu membuat perbandingan dengan orang-orang yang tak membawa-bawa agama dalam kehidupannya sehari-hari namun mempunyai prestasi kerja yang bagus. Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sempat menjadi ikon mereka sebelum tersandung kasus penistaan agama.

Mereka berjargon: lebih baik pemimpin kafir tapi jujur dan tidak korupsi dibandingkan pemimpin muslim namun korupsi. Lebih baik gubernur non muslim tapi berprestasi daripada gubernur muslim namun tak berkinerja baik.

Dalam bahasa Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin, kelompok ini disebutnya sebagai radikalisme sekuler. Mereka ingin memisahkan kehidupan agama dari politik.

Selama  dua periode memimpin Jawa Barat, Kang Aher meluluhlantakkan tembok tebal stereotipe kaum radikalisme sekuler tersebut. Seorang ustadz ternyata mampu mengelola pemerintahan dengan banjir prestasi.

Total sudah 281 penghargaan dalam dan luar negeri yang diberikan kepadanya. Ini sama dengan 13 hari sekali Kang Aher memperoleh penghargaan. Luar biasa!

Di ujung masa jabatannya, dua prestasi gemilang ditorehkannya. Pertama,
meraih predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK selama 7 tahun berturut-turut. Kedua, menerima penghargaan Prasamya Purnakarya Nugraha dari Presiden Republik Indonesia. Ini adalah tanda kehormatan tertinggi pelaksanaan pembangunan.

Apa kalimat yang tepat untuk menggambarkan fenomena ini? Bagi saya, Kang Aher adalah perpaduan ustadz dan umaro par excellence. Sempurna!

Kita berharap, Pilgub Jabar 2018 bisa melahirkan sosok pemimpin yang mampu meneruskan tradisi prestasi Kang Aher. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita memilih calon dari rahim partai yang sama dengan Kang Aher.

Terimakasih Kang Aher. Semoga kita bisa kembali bersua saat sarapan pagi, tak mesti harus di Hotel Grage, seperti perjumpaan kita 10 tahun silam.

 

Erwyn Kurniawan