Kapitan Pattimura, Pahlawan Muslim yang Memiliki Nama Asli Ahmad Lussy

Kapitan Pattimura

Ngelmu.co – Sudah banyak yang mengenal sosok Kapitan Pattimura, pahlawan yang wajahnya terpampang di uang kertas pecahan Rp. 1.000. Ia dikenal sebagai sosok pahlawan yang gigih melawan penjajah Belanda. Namun, tahukah siapa nama asli Kapitan Pattimura?

Biografi Pattimura

Pahlawan yang dijuluki “Thomas Matulessy” ini bernama asli Ahmad Lussy. Lahir di Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8 Juni 1783 dan meninggal dunia di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada usia 24 tahun.

Sedangkan, menurut info versi pemerintah Indonesia, bahwa Pattimura lahir pada 8 Juni 1783 di Haria, Saparua, Maluku Tengah. Ia lahir dari ibu bernama Fransina Tilahoi dan ayahnya, Frans Matulessy.

Penulis buku “Sejarah Perjuangan Pattimura”, M Sapija menyebutkan bahwa pahlawan Pattimura tergolong keturunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram).

Ayahnya yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy yang terakhir ini adalah putra raja Sahualu. Sahualu bukan nama orang, tetapi nama sebuah negeri yang terletak di sebuah teluk di Seram Selatan.”

Semantara itu, sejarawan Mansyur Suryanegara berpendapat lain. Dalam bukunya yang berjudul “Api Sejarah” (2009), ia menyatakan bahwa nama asli Pattimura adalah Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut juga”Mat Lussy” yang lahir di Hualoy, Seram Selatan.

Menurutnya, Pattimura ialah seorang bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau yang saat itu diperintah oleh Sultan Abdurrahman.

Sultan Abdurrahman sendiri juga dikenal dengan julukan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/asisten Allah) dalam bahasa maluku disebut juga Kasimiliali.

Lantas, Siapakah Thomas Matulessy dan Pattimura?

Nama Pattimura merupakan sebuah marga di Desa Latu dan Hualoy, Seram Barat, Maluku Tengah. Nama Pattimura sendiri memiliki arti “Raja yang merendahkan diri”. Sedangkan di Deas Haria Pulau Saparua, temmpat lahir Thomas Matulessy, tidak ditemukan marga Pattimura.

Namun, menurut M Sapija, saat perang Pattimura memang ada yang bernama Thomas. Dan pada kenyataannya, Thomas yang dimaksud tersebut merupakan Thomas Hehanusa. Mantan serdadu Inggris kala itu.

Dia berasal dari Desa Titawaai Pulau Nusalaaut. Hingga saat ini, keturunannya ada di Desa Hualoy. Ia merupakan seorang mualaf, yang kemudian berganti nama menjadi Kapitan Latuleanusa.

Berdasarkan sejarah Pattimura yang ditulis oleh M Sapija, menyebutkan bahwa gelar Kapitan disematkan oleh Belanda. Padahal, pada faktanya, tidak demikian.

Sosok Muslim yang Taat

Ahmad Lussy atau Mat Lussy merupakan sosok bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau. Mansyur Suryanegara mengungkapkan, bahwa Kapitan Pattimura merupakan seorang Muslim yang taat.

Tak hanya keturunan bangsawan, Pattimura juga adalah seorang ulama. Sejarah mencatat, bahwa pada masa tersebut, kebanyakan pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau ulama, bahkan keduanya.

Dalam artikel dakwal Alhadid, disebutkan bahwa terdapat kejanggalan dalam buku Biografi Pattimura versi pemerintah. Sebab, M Sapija tak menyebut Sahulau itu adalah kesultanan.

Kemudian terdapat kejanggalan lain yang menambahkan marga Pattimura adalah Mattulessy. Namun sebenarnya, di negeri Sahulau tidak ada marga Pattimura atau Mattulessy. Di sana hanya terdapat marga Kasimiliali yang leluhur mereka adalah Sultan Abdurrahman.

Jadi, asal muasal nama Pattimura dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari M Sapija. Sementara, Mattulessy sebenarnya adalah sebuah nama bukan marga, yaitu Ahmad Lussy. Dan nama Thomas Mattulessy tidak pernah ada di dalam catatan sejarah perjuangan rakyat Maluku.

Mansyur Suryanegara berpendapat, bahwa Pattimura merupakan sebuah marga yang hingga kini masih banyak digunakan. Siapapun orang yang bermarga tersebut, merupakan seorang Muslim. Mereka mengaku mengikuti agama nenek moyang mereka yaitu, Pattimura.

Mansyur menambahkan, bahwa mayoritas kerjaan-kerajaan yang ada di Maluku, merupakan kerajaan Islam. Di anataranya adalah:

• Kerajaan Ambon
• Heart
• Jailo

Begitu banyaknya kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri Raja-Raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan Maluku. Mansyur pun tak sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini diidentikkan dengan satu agama saja.

M Sapaji Mendaptkan Kritikan

Penulis buku ‘Menemukan Sejarah’ yang menjadi best seller ini juga mengkritik M Sapija yang menyebut gelar kapitan adalah pemberian Belanda. Mansyur Suryanegara menerangkan bahwa leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis).

Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Itulah sebabnya tingkah laku sosial mereka dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.

Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, maka akan muncul kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai suatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma.

Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Kendati kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan “Kapitan” melekat pada diri Pattimura itu bermula.

Perjuangan Kapitan Ahmad Lussy

Perlawanan rakyat Maluku terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda disebabkan beberapa hal.

• Pertama, adanya kekhawatiran rakyat akan timbulnya kembali kekejaman pemerintah seperti yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie).

• Kedua, Belanda menjalankan praktik-praktik lama yang dijalankan VOC, yakni monopoli perdagangan dan pelayaran Hongi. Pelayaran Hongi merupakan polisi laut yang membabat pertanian hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda.

• Ketiga, rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.

Akibat penderitaan itu maka rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata. Pada tahun 1817, perlawanan itu dikomandani oleh Kapitan Ahmad Lussy. Rakyat berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua.

Bahkan residennya yang bernama Van den Bergh terbunuh. Perlawanan meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya.

Perlawanan rakyat di bawah komando Kapitan Ahmad Lussy itu terekam dalam tradisi lisan Maluku yang dikenal dengan petatah-petitih. Tradisi lisan ini justru lebih bisa dipertanggungjawabkan daripada data tertulis dari Belanda yang cenderung menyudutkan pahlawan Indonesia.

Saat Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan rakyat Maluku, saat itu pula Belanda mendapat pukulan berat. Akhirnya Belanda meminta bantuan dari pasukan yang ada di Jakarta.

Belanda pun semakin kuat dan perlawanan rakyat Maluku terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy dan kawan-kawan ditangkap pasukan Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817 Ahmad Lussy dan kawan-kawannya menjalani hukuman gugur di tiang gantungan.

Nama Pattimura sampai saat ini tetap harum. Namun, nama Thomas Mattulessy lebih dikenal daripada Ahmad Lussy atau Mat Lussy. Menurut Mansyur Suryanegara, perlu upaya meluruskan sejarah.