Opini  

Karena Puan Setitik, Rusak Suara se-Minang Raya

Puan PDIP Minang
Ketua DPD PDI Perjuangan Sumatra Barat, Alex Indra Lukman (kiri), saat memberikan rekomendasi kepada bakal Calon Gubernur Sumbar, Mulyadi (tengah). (ANTARA/HO-DPD PDIP Sumbar)

Ngelmu.co – Nasib PDIP di Sumatra Barat, sungguh tragis. Partai Moncong Putih itu, bak penyakit menular yang harus dihindari.

Tak cukup hanya mengenakan masker. Apa pun bentuknya, hubungan, afiliasi, bahkan hanya ‘bau-bau’ PDIP, harus dijauhi.

Cut off. Tak ada hubungan apa pun!

PKB yang semula bersama PDIP, mendukung pasangan Mulyadi-Ali Mukhni, mengambil langkah seribu.

Mereka mencabut dukungan dan mengalihkan ke pasangan cagub yang lain.

PKB tak mau tertular virus. Terkena penyakit menular bernama, PDIP. Risikonya berat dan tidak sebanding.

Paling dramatis justru langkah yang diambil oleh Mulyadi-Ali Mukhni.

Tanpa ba-bi-bu, mereka mengembalikan mandat PDIP.

Jadilah pasangan ini tinggal diusung oleh Partai Demokrat dan PAN. Meninggalkan PDIP, sepi sendiri.

Tak ada pilihan lain bagi, PDIP. Menarik diri dari gelanggang perebutan kursi gubernur-wagub.

Tak ada cagub, dan partai politik yang mau dekat, apalagi bersekutu dengan PDIP.

Mengusung calon sendiri? Tidak mungkin. Kursi PDIP di DPRD Sumbar, hanya seuprit. Tiga kursi, tidak memenuhi syarat.

“Melihat dinamika seperti ini, kita tidak lagi ikut Pilgub. Kita tidak mengusung siapa-siapa lagi,” kata Ketua DPD PDIP Sumbar, Alex Indra Lukman.

Baca Juga: Arteria Dahlan Bilang, Harusnya Orang Minang Jaga Puan: Aset Sekaligus Kebanggaan

Keputusan teramat sulit yang harus diambil oleh pimpinan daerah PDIP. Semua gegara ucapan Puan Maharani.

Putri Mahkota PDIP itu, dinilai melecehkan, karena pernyataannya sangat jelas terkesan mempertanyakan dukungan warga Sumbar, terhadap Pancasila.

Puan, pasti tidak pernah mengira bila ucapannya itu berdampak begitu besar. Menjadi kado pahit ulang tahunnya yang ke-47, Ahad (6/9).

Upaya para petinggi PDIP menyodorkan fakta, bahwa Puan dari sisi darah masih keturunan Minang, tidak mungkin menghina negeri para leluhurnya, tak bisa menghapus luka.

Ibarat nasi telah menjadi bubur. Semuanya sudah terjadi.

Benarlah seperti dikatakan banyak orang, Puan, tidak pernah membaca sejarah.

Terlebih lagi, kalau benar dia masih merasa keturunan Minang, tidak tahu apa-apa tentang sumbangsih dan peran besar para ninik mamak dalam ikut mendirikan bangsa ini.

Puan, telah tercerabut dari akar budaya dan sejarah.

Dia tak paham petatah petitih: Kato mandaki, kato Manurun. Kato malareang, kato mandata.

Tata krama dalam tradisi Minang yang sangat ketat aturannya.

(Berpengaruh ke Bobby Nasution)

Kehebohan di Sumbar, jangan hanya dipandang sebagai persoalan lokal. Dampaknya bisa menyebar cepat seperti bola salju.

Di berbagai daerah lain yang banyak bermukim warga Minang, ucapan Puan, bisa mengubah konstelasi politik.

Calon-calon yang didukung PDIP, dan tengah berlaga di Pilkada, bisa terkena dampaknya.

Paling dekat adalah Bobby Nasution, menantu Presiden Jokowi, tengah berlaga di Pilwakot Medan.

Di Medan, komunitas Minang perantauan, jumlahnya cukup besar.

Mereka juga memegang peran penting dalam sektor perekonomian.

Bobby, diusung oleh PDIP. Caranya memperoleh tiket dari partai moncong putih itu, juga tak elok.

Melalui lobi-lobi politik tingkat tinggi dan Istana, dia menyingkirkan Plt Wali Kota Medan, Akhyar Nasution.

Akhyar, dipecat dari PDIP. Dia kini menjadi calon wali kota Medan, diusung oleh Partai Demokrat dan PKS.

Dia, akan menjadi pesaing berat Bobby.

Diaspora Minang di seluruh Indonesia, juga tidak bisa diremehkan.

Secara populasi kecil. Namun, mereka sangat solid.

Dampak lain dari ucapan Puan, yang sangat serius adalah mempertajam pembelahan di tengah masyarakat.

Sangat jelas, Puan, mempertontonkan sikap merasa paling Pancasilais.

Di luar pendukung PDIP, dinilainya tidak Pancasilais.

Sebuah cara pandang yang sangat berbahaya, dan tengah dipertontonkan oleh rezim serta para pendukungnya.

Ucapan Puan, menunjukkan trah Soekarno dan PDIP, merasa diri mereka satu-satunya pewaris sah negeri ini.

Satu-satunya yang bernasab sambung kepada pencetus Pancasila.

Hal itu dipertegas dengan peresmian Hari Lahir Pancasila 1 Juni, oleh Presiden Jokowi.

Padahal, sejarah mencatat secara resmi, Pancasila lahir pada tanggal 18 Agustus 1945.

Saat para perumus di BPUPKI, mengesahkannya sebagai dasar negara Indonesia yang merdeka.

Tidak berhenti sampai di situ. Melalui Fraksi PDIP di DPR RI, mereka mengusulkan RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP).

Dalam RUU tersebut, mereka memasukkan formula Pancasila, yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila.

Persis sebagaimana usulan Soekarno, pada sidang pertama BPUPKI, tanggal 1 Juni 1945.

Pandangan dan cara berpolitik semacam ini sangat berbahaya.

Mereka mencoba menegasikan peran kekuatan politik dan kelompok yang berseberangan, dengan stigma anti Pancasila.

Seakan hanya keluarga Soekarno, dan para pendukungnya yang paling Pancasilais.

Merekalah bangsa pilihan Tuhan, di republik ini. Selain mereka, bukan penganut dan pengikut Pancasila.

Dalam konteks politik semacam inilah, mengapa reaksi dari warga Minang, mendapat dukungan begitu luas.

Bukan hanya dari mereka yang berasal dari Minang, tapi juga mereka yang merasa disingkirkan dengan stigma: anti Pancasila, radikal, dan intoleran.

Mirip-mirip seperti bunyi pepatah: karena Puan setitik, rusak suara se-Minang Raya.

Oleh: Hersubeno Arief