Kartu Pra Kerja di Mata Wartawan Senior

Agustinus Edy Kristianto Kartu Prakerja

Ngelmu.co – Saya mau tahu sendiri, apa itu Kartu Prakerja. Saya sudah daftar. Gelombang I DKI Jakarta, yang penutupannya Kamis (16/4), (dibuka sejak 11 April 2020). Saya memasukkan email pribadi dan password. Lalu isi form data diri dan alamat. Upload foto KTP, dan selfie bersama KTP.

Kemudian isi tes minat dan pengetahuan dasar (ada soal matematika-nya). Lalu isi form pernyataan kesanggupan. Sent! Status: ‘Sedang Dievaluasi’.

Buka layar baru. Menuju laman SkillAcademy-Ruangguru, Pintaria, Pijar Mahir, Maubelajarapa.

Semuanya sudah menyediakan fitur khusus Kartu Prakerja. Saya nongkrong dulu di Ruangguru. Promosinya menarik.

Ada foto Presiden Jokowi dan tagline ‘Dapatkan insentif Rp2,55 juta lebih cepat!’.

Pelatihan gratis menggunakan Kartu Prakerja; pelatihan bersertifikat, akses kelas selamanya; bonus gratis langganan Ruangguru tiga bulan untuk anak.

Naluri manusiawi saja: Rp2,55 juta lebih cepat itu sasaran saya.

Saya buka dulu berita Menko Perekonomian, bicara Kartu Prakerja. Cocokkan dulu angkanya.

Anggaran Kartu Prakerja Rp20 triliun untuk penerima sebanyak 5,6 juta orang. Setara Rp3,57 juta per orang, dengan rincian:

  • Rp1 juta bantuan biaya pelatihan,
  • Insentif Rp600 ribu/bulan selama 4 bulan,
  • Survei kerja Rp150 ribu (dibayarkan ke lembaga pelatihan).

Balik ke Ruangguru, milik Staf Khusus Milenial Presiden. Mulai pilih-pilih paket pelatihan.

Paket ‘Teknik Lengkap Menjual Apa pun dengan Mudah’, ‘Kelas Investasi Pemula untuk Raih Keuntungan Cepat’, ‘Cara Jitu Naik Jabatan dengan Cepat’, dan ‘Jago Bicara di Depan Umum Berpenghasilan Jutaan’, menarik minat saya.

Tapi saya pikir, bombastis betul paketnya. Masa hidup semudah itu. Naik jabatan dengan cepat kalau perusahaan-perusahaannya pada bangkrut karena Corona bagaimana?

Jago bicara di depan umum, berpenghasilan jutaan, ya lebih bagus lewat Pemilu, jadi anggota DPR.

Investasi pemula raih keuntungan cepat, wong aplikator dan vendor pelatihannya saja belum tentu sudah untung.

Teknik menjual apa pun dengan mudah, bagaimana ceritanya, sekarang jual diri saja mungkin susah.

Maka yang masuk akal saja saya pilih, ‘Belajar Menulis Konten, Berpenghasilan Jutaan’.

Ada tujuh kelas berupa video. Salah satunya, ‘Strategi Pemasaran Konten untuk Raih Untung Maksimal’.

Pengajarnya Go-Jek Managing Editor, Astri Soeparyono. Harga normal Rp1,55 juta, diskon 91 persen, untuk Prakerja, menjadi Rp142 ribu. Video lainnya di paket ini juga segitu harganya.

Bungkus. Tujuh kelas ditambah gratis langganan Ruangguru tiga bulan. Harga normal Rp7,66 juta, hemat Rp6,66 juta, jadi Rp1 juta.

Bisa aje!

Klik ambil paket. Metode bayar macam-macam ternyata: dengan Kartu Prakerja; Gopay; OVO; VA BCA, BNI, Mandiri, BRI; transfer BCA; kartu kredit; minimarket.

Klik bayar dengan Kartu Prakerja. Eits belum bisa, ‘kan akun saya ‘Sedang Dievaluasi’. Belum ada saldo.

Iseng, saya lihat Pintaria. Di sini tagline-nya ‘Manfaat Rp3,5 juta dari pemerintah, plus bonus jutaan rupiah dari Pintaria’.

Tapi fotonya bukan Presiden Jokowi, melainkan foto lelaki berbaju biru, memegang helm.

Jadi, pola serangan bisa tergambar:

  • Rp1 juta x 5,6 juta = Rp5,6 triliun, dikirim dari saldo Kartu Prakerja kepada pihak aplikasi, yang kemudian entah bagaimana di-share lagi ke vendor-vendornya (pengajar, lembaga pelatihan, dan lain sebagainya). Terserah berapa-berapanya, yang jelas kalau kue, sudah jelas, enak kok baginya;
  • Rp150 ribu x 5,6 juta = Rp840 miliar, untuk lembaga pelatihan. Entah bagaimana pembagiannya, yang jelas, kalau konkret begitu, bakalan enak urusannya;

Nah, yang justru belum jelas ini untuk penerima Kartu Prakerjanya.

  • Rp600 ribu selama empat bulan itu, dikasih semua di depan, atau dicicil per bulan? Melalui saldo kartu prakerja, atau tunai, atau bagaimana?

Tapi kalau dilihat gelagatnya, kemungkinan ini strategi ekstensifikasi:

Ditaruh di saldo Kartu Prakerja, nanti di-programkan lagi macam-macam untuk digunakan lagi.

Misal dengan paket pelatihan lanjutan, bonus ini-itu, promo ini-itu…

Kalau begini? Amsyong. Partnership namanya: kita yang partner, situ yang sip!

Mengapa harus memaksakan konten-konten pelatihan itu? Bagaimana jika saya maunya pelatihan gitar lewat videonya Paul Gilbert?

Kalaupun sudah pelatihan, mau di-salurkan ke mana? Bagaimana dengan yang di pelosok, apa lagi ada syarat di salah satu aplikasi, bahwa internet harus kencang, karena medianya audio visual?

Pengangguran terbuka ada tujuh juta orang, penerima 5,6 juta orang, sisanya mau apa? Pelatihan pemakaman?

Mengapa Anda semua sebegitu berhaknya mengeluarkan duit triliunan, dari pajak rakyat untuk kepentingan yang menguntungkan perusahaan?

Apa dasar hukumnya? PNS saja mau keluar duit Rp10 juta, laporan dan kuitansinya setebal gunung.

Hidup tak melulu perkara pelatihan. Hidup adalah kenyataan.

Kita sekarang tidak sedang berhadapan dengan bayangan tentang guru/pengajar bersahaja yang SK pengangkatannya sedang ‘sekolah’ di koperasi/bank.

Kita berhadapan dengan mesin industri keuangan yang di-legalkan dan di-biayai oleh pajak kita sendiri.

Ambil contoh Ruangguru, berdasarkan akta terakhir 17 Maret 2020, Direktur Utama-nya, merupakan Staf Khusus Milenial, Adamas Belva Syah Devara.

Komisaris utamanya Willson Cuaca. Badan hukumnya, PT Ruang Raya Indonesia. Jenis perusahaannya Penanaman Modal Asing (PMA).

Notarisnya di Jakarta Selatan. Kedudukannya di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Modal di-setor tertera dalam akta Rp649,4 miliar.

Pemegang sahamnya dua pihak:

  1. Ruangguru PTE LTD sebanyak 6.494.309 lembar (Rp649,4 miliar);
  2. Muhammad Iman Usman sebanyak 100 lembar (Rp10 juta), orang ini juga jadi pengajar di beberapa paket pelatihan online.

Kalau menurut Crunchbase, total pendanaan Ruangguru sebesar US$150,1 juta (Rp2,3 triliun), yang diperoleh dalam delapan putaran (2014-2019).

Terakhir, pada 26 Desember 2019 (Seri C), sebesar US$150 juta dari General Atlantic (AS), dan GGV Capital (AS), yang didirikan oleh Thomas Ng.

Pada tahap awal, di-danai oleh Venturra Capital-nya Grup Lippo.

Dalam pendanaan start-up, ada istilah convertible notes yang di-klaim berbeda dengan sistem bank (pokok dan cicilan).

Modelnya adalah itu di-perhitungkan sebagai utang yang bisa dikonversi nantinya dengan saham (ekuitas) atau uang, tergantung kesepakatan.

Tapi intinya: UTANG.

Jadi kalau Ruangguru ambil kue setengahnya saja (‘kan harus dibagi dengan aplikator lain), dan margin 30 persen, dia akan dapat Rp2,8 triliun x 30 persen = Rp840 miliar.

Untung dia.

Ternyata tidak sia-sia saya ikut pelatihan prakerja paket bagaimana cara investasi pemula meraih keuntungan dengan cepat.

Baca Juga: Suratnya ke Camat Bikin Heboh, Stafsus Jokowi Minta Maaf

Baca Juga: Ramai-Ramai Menjawab Pertanyaan Stafsus Presiden soal “Apa yang Bisa Saya Lakukan untuk Negeri?”

Pendaftaran Gelombang I telah ditutup. Hasil seleksi akan di-umumkan. Invoice akan segera meluncur.

Artinya, waktu pencairan uang semakin dekat. Menko Perekonomian, mengklaim, secara statistik, antusiasme masyarakat terhadap program Kartu Prakerja sangat besar.

Hingga Kamis (16/4), sudah 5.923.350 orang mendaftar. ‘Antusias’ artinya bergairah, bersemangat.

Sekarang situasi sedang sulit. Ada orang tua (kita anggap pemerintah adalah orang tua yang melindungi kita), menawarkan program yang nilai manfaatnya Rp3,5 juta/orang untuk 5,6 juta penerima.

Secara manusiawi, tentu kita tersenyum lebar. Jangankan disuruh mendaftar, diminta mengecat langit pun, orang antusias saat ini.

Terbayang ada dana yang bisa dipakai untuk menyambung hidup. Apalagi bagi yang terkena PHK.

Tapi fakta harus disampaikan, meskipun perih.

Antusiasme bisa turun bebas menjadi kekecewaan. Kecewa, kadang dibawa hingga kubur. Banyak contohnya di Diary Misteri Sara.

Kartu Prakerja sudah kita dengar jauh hari sebelum Corona datang. Sejak kampanye Pilpres, sudah ada.

Artinya, ini program yang bukan ‘khusus’ disiapkan untuk mengantisipasi Corona. Di sini kita bicara tentang iktikad kebijakan.

Sejauh mana suatu kebijakan di-niatkan untuk menguntungkan sebanyak-banyaknya kepentingan masyarakat.

Saya kutip wawancara Katadata dengan Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja, Denni Puspa Purbasari.

Oh iya, Mbak Denni ini, juga menjabat sebagai Deputi III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden (KSP).

“Insentif pasca-pelatihan yang awalnya kami desain nilainya cukup kecil, sekarang menjadi besar.”

Artinya, memang sejak awal alokasi dana terbesar adalah untuk pelatihan. Siapa pelaksananya? Platform digital dan lembaga pelatihan.

Apakah dengan demikian masyarakat harus berterima kasih, karena Corona, sehingga alokasinya menjadi di balik? Miris ya.

Jika sudah direncanakan sejak sebelum ada Corona, seharusnya pengadaannya juga dilakukan mengikuti aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Misal, melalui tender dan sejenisnya. Apalagi nilai proyek ini besar: Rp20 triliun.

Tapi Corona datang (contohnya saya di Jakarta ‘di-isolasi’ sejak 16 Maret 2020). Keluar Perppu 1/2020 tanggal 31 Maret 2020.

Apakah dengan adanya Perppu itu, situasi menjadi darurat, dan karena kedaruratan itu di-perbolehkan untuk tidak menggunakan aturan pengadaan barang dan jasa, seperti diatur dalam peraturan perundang-undangan?

Sekilas terdengar masuk akal untuk mengatakan, “Boleh, karena darurat. Ada Perppu-nya.”

Tapi tunggu sejenak. Ada dua peraturan yang nyelonong mendahului Perppu itu:

  • Peraturan Menko Perekonomian 3/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja yang terbit 27 Maret 2020, dan
  • Peraturan Menteri Keuangan 25/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penganggaran, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kartu Prakerja, yang ditetapkan 24 Maret 2020.

Artinya apa? Semua sudah ‘rapi di-susun’ sebelum darurat Corona.

Apa yang sudah ‘rapi disusun’ itu? Salah satunya dan yang paling penting adalah sudah dipilih delapan platform digital:

  1. Tokopedia,
  2. Skill Academy by Ruangguru,
  3. Maubelajarapa,
  4. Bukalapak,
  5. Pintaria,
  6. Sekolahmu,
  7. Pijar Mahir, dan
  8. Sisnaker.

Begitupun 198 lembaga pelatihan, yang akan terlibat dalam program Prakerja.

Jika biaya pelatihan per orang di-alokasikan Rp1 juta dan terdapat 5,6 juta penerima, berarti total biaya pelatihan adalah Rp5,6 triliun, yang jika dibagi delapan platform digital, maka setiap platform akan mendapat Rp700 miliar.

Kemudian dibagi lagi kepada 198 lembaga pelatihan itu. Bagaimana cara baginya? Saya kutip wawancara CNBC dengan Direktur Komunikasi Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja Panji Winanteya Ruky, sebagai berikut:

“Satu juta rupiah untuk bantuan pelatihan dari pemerintah ke lembaga pelatihan. Nah, tapi lembaga pelatihan ini menawarkan jasanya via 8 platform digital,” kata Panji.

“Antara mereka, kalau ada persetujuan KOMERSIL, itu antara mereka, bukan kami. Jadi apakah fee atau apa, kami tidak bayar fee. Kami hanya bayarkan bantuan pelatihan kepada si peserta. Kalau lembaga pelatihan kemudian bayar KOMISI ke marketplace, itu di luar kami,” sambungnya.

Yah, bolehlah kita bersyukur bisa ikut atau sempat dengar ada pembicaraan gurih tentang KOMISI.

Persoalan kecipratan atau tidak, urusan lain. Prinsip kita sebagai kroco mumet adalah partnership: kita berpartner, mereka yang sip!

Lantas, mengapa semua program itu seperti bisa berjalan mulus? Karena ada dasar hukumnya.

Saya rinci berdasarkan aturan dalam Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Menko Perekonomian di atas:

Kubur mimpi Anda untuk pegang uang tunai dari Kartu Prakerja, yang Anda terima adalah dalam bentuk SALDO NONTUNAI pada platform digital (Gopay, OVO, dan kawan-kawan). Tidak dapat di-ubah dalam bentuk uang tunai.

Jika Anda mengikuti pelatihan dan ternyata biayanya lebih besar dari Rp1 juta (misal Anda ternyata kecanduan pelatihan), bisa dilakukan penambahan saldo yang berasal dari DANA PRIBADI, pemerintah daerah, manajemen pelaksana prakerja (dengan syarat ambil pelatihan lagi dengan keahlian khusus), dan donatur (perseorangan, badan usaha, lembaga sosial).

Pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana APBN ini tanpa tender. Dasarnya hanya PERJANJIAN KERJA SAMA antara Manajemen Pelaksana dengan platform digital.

Catat, Manajemen Pelaksana itu, statusnya hanya UNIT (PMK 25/2020). Suatu unit bisa mengeluarkan dana APBN triliunan.

Hanya ditandatangani oleh Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana dan penanggung jawab platform digital.

Perjanjian kerja sama itu jangka waktunya paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan perpanjangan.

Bisa lihat salinan perjanjian kerja samanya? Susah. Cuma pihak-pihak itu yang pegang.

Platform digital itu menyalurkan pembayaran biaya pelatihan kepada Lembaga Pelatihan.

Ini yang sedap: Platform digital diperbolehkan MENGAMBIL KOMISI JASA yang wajar dari lembaga pelatihan, yang melakukan kerja sama.

Itu syarat sebuah lembaga pelatihan bisa ditetapkan sebagai lembaga pelatihan program kartu prakerja.

Besaran KOMISI JASA, di-atur dalam Perjanjian Kerja Sama antara platform digital dan lembaga pelatihan, dan disetujui manajemen pelaksana.

Bisa lihat perjanjiannya? Sulit. Cuma pihak-pihak itu yang pegang.

Dana Kartu Prakerja itu, bukan cuma biaya pelatihan dan insentif. Ada juga pos biaya operasional pendukung Program Kartu Prakerja.

Ada rekening induk untuk menampung dana kartu prakerja (di bank umum yang ditunjuk), dan rekening virtual untuk menampung dana penerima kartu prakerja (di platform digital).

Nanti, dilakukan pemindahbukuan dana biaya pelatihan dari rekening virtual ke REKENING PLATFORM DIGITAL.

Selamat, dananya sudah numpang lewat. Tapi ‘kan Anda bisa nonton video pelatihan.

Jika pada poin sebelumnya Anda dapat nonton video pelatihan, sekarang Anda isi survei evaluasi dulu, baru duit bisa cair.

Namanya dana insentif pengisian survei evaluasi (jadi Anda memberikan rating begitulah kepada platform digital).

Tapi numpang lewat juga, karena langsung dibayarkan atau pindah buku dari rekening virtual atas nama Anda, di platform digital ke rekening platform digital.

Dana berikutnya adalah insentif biaya mencari kerja dicairkan dengan mekanisme overbooking.

Bahasanya tinggi, tapi intinya numpang lewat juga, karena dibayarkan ke platform digital juga, yang kemudian meneruskan ke lembaga pelatihan.

Dana insentif yang Rp600 ribu/bulan selama 4 bulan (dibayarkan bulanan bukan semua di depan) di-parkir di e-wallet.

Providernya sudah ada: Gopay, LinkAja, OVO, dan sebagainya.

Syarat dapat dana insentif ini adalah harus ikut pelatihan. Anda daftar terus sengaja tidak ikut pelatihan? Tahun depan dicoret sebagai penerima.

Duitnya mau dipakai apa saja, terserah: bayar parkir, naik ojek, pesan makanan, belanja online, pijat, potong rambut…

Pendeknya begini: kita daftar, kita seleksi, kita terpilih, kita nonton video pelatihan, kita isi survei/kasih rating, kita dapat Rp600 ribu/bulan di saldo Gopay/OVO, dan lain-lain.

Jadi, total kita dapat Rp2,4 juta (4 bulan), mereka Rp1 juta (kita tutup mata lah bagi-baginya bagaimana).

Terlihat ‘wajar’ ya sekilas? Tapi kita Rp14,2 triliun untuk 5,6 juta orang; mereka Rp5,6 triliun untuk delapan platform digital, dan 198 lembaga pelatihan.

Anggaran Rp14,2 triliun adalah insentif pasca-pelatihan Rp2,4 juta selama 4 bulan x 5,6 juta penerima, ditambah insentif evaluasi dan survei Rp150 ribu x 5,6 juta orang.

Jadi, Rp5,6 triliun adalah biaya pelatihan Rp1 juta x 5,6 juta orang.

RALAT: masukan dari pemirsa yang setelah saya cek dan ricek, benar adanya:

  • Insentif pasca-pelatihan Rp600 ribu di-transfer ke saldo e-wallet (Gopay, OVO, dan sebagainya), setelah selesai pelatihan dan memberikan rating untuk platform digital;
  • Insentif Rp150 ribu ditransfer ke saldo e-wallet juga dalam tiga tahap, yaitu bulan kesatu, bulan ketiga, bulan keenam, masing-masing Rp50 ribu.

Syaratnya? Memberikan masukan dan evaluasi dengan menjawab beberapa pertanyaan tentang keseluruhan program Prakerja.

Hitungan di paragraf atas saya ubah.

Pilihannya cuma dua:

  1. Ikut/tidak ikut;
  2. Batalkan Peraturan Menterinya supaya kartu dikocok ulang dulu, program di-pending, urusan Rp6,4 triliun dibereskan dulu.

Demokrasi 4.0 memang canggih. Bangsa yang besar adalah bangsa yang gemar pelatihan online.

Oleh: Wartawan Senior, Agustinus Edy Kristianto