Kata Bersayap SBY Menuju Koalisi Prabowo

bersayap

Ngelmu.co – Pertemuan antara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Selasa (24/7) malam, menghasilkan kata bersayap SBY.

Momen pertemuan itu menjadi momen penting dalam menyambut Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Penting dikarenakan hingga kini Demokrat belum menentukan arah koalisi untuk pesta demokrasi tahun depan. SBY hanya melemparkan kata bersayap setelah pertemuan itu.

Dilansir dari CNNIndonesia, pengamat komunikasi politik Universitas Bunda Mulia Silvanus Alvin menanggapi hasil dari pertemuan antara SBY dengan Prabowo. Silvanus Alvin menilai bahwa sosok SBY sebagai the silent and the wise general, yaitu ketika SBY sudah melakukan gerakan politik, artinya dia sudah mempertimbangkan baik dan buruknya. Bahkan bisa dikatakan SBY telah memperkirakan hasil seperti apa yang akan diperolehnya.

Baca juga: Hasil Pertemuan Prabowo-SBY: Koalisi Terbuka Lebar

Silvanus Alvin mencontohkan seperti pada waktu Pilpres 2014 lalu. Silvanus Alvin menilai bahwa SBY dan Demokrat seakan berada di posisi netral dengan tidak mendukung Joko Widodo ataupun Prabowo sebagai calon RI 1 saat itu.

Dikatakan Alvin, sikap SBY itu berbeda dengan sikap SBY pada malam kemarin yang secara terang-benderang menyebut bahwa jalan koalisi antara Demokrat dan Gerindra terbuka lebar.

“Saya harus mengatakan jalan membangun koalisi terbuka lebar, apalagi setelah kami berdua sepakat atas apa yang menjadi persoalan bangsa lima tahun ke depan,” kata SBY malam itu setelah pertemuan.

Jika menilik dalam penggunaan kalimat ‘jalan membangun koalisi yang terbuka lebar’ oleh SBY dalam mengungkap peluang koalisi itu, Alvin menilai ada sebuah kesepahaman antara dua pihak untuk bersama-sama dalam proses pilpres mendatang. AKan tetapi, belum ada kata final dari SBY.

Hal itu, menurut Alvin, dikarenakan SBY seringkali menggunakan kata bersayap seperti ‘kemungkinan’, ‘ada peluang’, dan sebagainya. Alvin menuturkan, bisa saja kata bersayap itu dialamatkan pada kubu Prabowo dan Gerindra untuk memberi penawaran-penawaran politik pada kubu SBY. Misalnya, menawarkan posisi cawapres bagi Ketua Kogasma Demokrat sekaligus putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Mengingat batas pendaftaran capres dan cawapres (4-10 Agustus 2018) semakin dekat, Alvin meyakini komunikasi politik SBY akan lebih intensif tiap harinya, terutama komunikasi dengan Prabowo. SBY dipastikan juga akan mengkalkulasi keuntungan-keuntungan politik apa yang bisa didapat jika merapat ke koalisi Jokowi atau kubu Prabowo.

Alvin menilai, Demokrat akan lebih untung jika berkoalisi dengan Gerindra, bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Selain isyarat verbal, Alvin juga menyoroti bentuk isyarat dari komunikasi non verbal dari konferensi pers di kediaman SBY kemarin malam. Terlihat pada konferensi pers itu, posisi AHY ada di tengah, bagian belakang. Sementara SBY dan Prabowo berdiri di depannya. Alvin memandang posisi itu sebagai semiotika politik.

“Posisi tengah itu, posisi yang mendapat sorotan banyak. Memang AHY berdiri di bagian belakang, tapi itu seakan menandakan pada waktunya nanti ia akan maju dan tampil ke publik,” jelas Alvin.

Selain ALvin, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Wawan Masudi memandang peluang AHY sebagai cawapres Prabowo masih 50-50 dan ditentukan oleh tiga faktor.

Adapun faktor pertama, seberapa rela calon koalisi Gerindra, yaitu PKS dan PAN bisa menerima negosiasi itu. Seandainya mereka sepakat AHY jadi cawapres, pembagian kekuasaan atau sharing of power yang diminta PKS dan PAN bisa jadi lebih besar. Itu artinya, kedua partai tersebut menghendaki pembagian kekuasaan yang lebih besar dalam kursi eksekutif.

Faktor kedua, peluang AHY sangat ditentukan oleh jumlah pembiayaan kampanye yang nanti akan bisa dinegosiasi. Pasalnya, Wawan menyebut negosiasi koalisi bukan hanya sekedar program-program normatif yang disampaikan dalam konferensi pers. Akan tetapi, negosiasi koalisi juga terkait strategi kemenangan yang berhubungan dengan pembiayaan kampanye politik.

“Jika Partai Demokrat itu bisa menawarkan pembiayaan untuk kampanye, bisa jadi itu peluang AHY akan sangat besar. Diambil atau tidaknya AHY akan sangat ditentukan dari seberapa besar kontribusi Demokrat dalam proses dan strategi kemenangan,” jelas Wawan.

Selanjutnya, faktor ketiga, penetapan AHY sebagai cawapres juga harus dilihat dari target pemilih. Jika ingin membidik kelompok pemilih muda dan pemula, maka AHY tepat ditempatkan sebagai cawapres. Lantaran citra diri AHY bukanlah terkait kesuksesan militer atau pemerintahan, tetapi sebagai representasi generasi milenial. Namun, jika voters yang ingin dibidik adalah kelompok Islam, menurut Wawan, AHY bukan pilihan yang tepat.