Berita  

Kata Wakil Ketua KPK soal Kepala Desa Ngambil Duit Tak Seberapa

Wakil KPK Kepala Desa

Ngelmu.co – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata, bicara soal kepala desa yang memaling uang tidak seberapa.

Menurutnya, jika pelaku dapat mengembalikan uang hasil malingnya, maka kasus tidak perlu lewat putusan pengadilan.

Selanjutnya, bisa pecat kepala desa tersebut berdasarkan musyawarah yang melibatkan masyarakat setempat.

Kalau ada kepala desa, taruhlah betul terbukti ngambil duit, tapi nilainya enggak seberapa.

Kalau diproses sampai ke pengadilan, biayanya lebih gede. Artinya apa? Enggak efektif, enggak efisien.

Negara lebih banyak keluar duitnya dibandingkan apa yang nanti kita peroleh.

Ya, sudah, suruh kembalikan. Ya, kalau ada ketentuannya, pecat kepala desanya.

Demikian pernyataan Alex pada Peluncuran Desa Antikorupsi di Kampung Mataraman Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta, Rabu (1/12/2021), mengutip CNN Indonesia.

Baca Juga:

Menurut komisioner KPK tersebut, pemecatan kepala desa yang terbukti korupsi, dapat menimbulkan efek jera bagi yang lain.

Lebih lanjut, Alex pun menjelaskan tolok ukur keberhasilan memberantas korupsi.

Bukan dengan ukuran berapa banyak orang yang menjalani hukuman penjara, katanya.

“Kita sudah sepakat, bahwa kalau menyangkut kerugian negara, kerugian daerah, kerugian keuangan desa, ya, bagaimana semaksimal mungkin uang itu bisa kembali ke kas daerah, kas negara, kas desa.”

“Itu saya kira lebih efektif, dibanding kita memenjarakan orang.”

“Lah, ia punya istri, istrinya enggak kerja, anaknya tiga, bisa bubar semua,” jelas Alex, membeberkan cara pandangnya.

“Ini menjadi PR kita bersama, dan desa antikorupsi ini tidak semata-mata menyangkut aparat desanya, tetapi juga masyarakatnya,” imbuhnya.

Warganet Protes

Mendengar hal ini, mereka yang aktif di media sosial–khususnya Twitter–pun protes.

Pemilik akun @godagad0, sepakat jika maling ‘uang tak seberapa’ tidak usah sampai ke pengadilan.

“Iya, enggak usah, tapi digebukin rakyatnya saja tapi, mau?,” kritiknya tajam.

“Mengubah pandangan terhadap korupsi. Memasyarakatkan korupsi, dan mengkorupsikan masyarakat,” sentil @NephiLaxmus.

Akun @hey_damar, pun menyahut. “Mantap betul memang orang-orang KPK yang lulus TWK ini.”

Begitu juga dengan @indiratendi, yang sepakat, “Enggak usah dipenjara.”

“Tapi balikin semua duit yang ia korupsi, dan harus kerja di pelayanan masyarakat, seumur hidup,” imbuhnya.

“Nyapu jalan, angkut sampah di sungai, bersihin got mampet, ngerawat pasien panti werda,” sambungnya lagi.

Sedangkan @Fujipermata68, protes keras. “Yang namanya korupsi, besar atau kecil, tetaplah maling.”

“Seharusnya tetap dikenakan sanksi hukuman penjara, maling sendal atau ayam saja ditangkap, dipenjara,” tegasnya.

Pengguna Twitter @ElfizaEnny, yang hendak bertanya pun menimpali. “Apakah juga berlaku untuk maling ayam, maling jemuran, maling hp, copet, dan lain-lain?”

“Tidak usah dihukum, cukup suruh ngembaliin hasil malingnya, selesai? Begitu, Pak pimpinan KPK?,” lanjutnya, heran.

“Luar biasa pimpinan KPK hasil TWK ini, ya. Hey, Pak, mau gede mau kecil, namanya maling, ya, maling aja!,” tutur @therra_.

Lebih lanjut, soal pernyataan Alex, tentang pelaku yang punya istri, akun @tehkokditarik, menjawab.

“Sudah tahu punya keluarga, kenapa masih korupsi?”

Kekhawatiran ICW

Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mengaku khawatir atas pernyataan Alex di atas, akan berdampak serius.

“Bukan tidak mungkin, kepala desa yang korup semakin terpacu melakukan praktek culas itu.”

Demikian kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, melalui keterangan tertulis, Jumat (3/12/2021).

Ia juga mengkhawatirkan, para pejabat desa itu menjadi tidak takut lagi untuk maling.

Sebab, ketika ketahuan, mereka bisa bebas selama dapat mengembalikan uangnya.

Kurnia juga mengatakan, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 4, menyebutkan.

Bahwa mengembalikan kerugian negara, tidak menghapus pidana seseorang.

Menilai praktek korupsi, jelas Kurnia, tidak bisa hanya dari besar atau kecil jumlahnya.

“Secara nominal mungkin kecil, tapi bagaimana jika dilakukan terhadap sektor esensial yang berdampak pada hajat hidup masyarakat desa?”

Belum lagi ICW, beber Kurnia, menemukan bahwa anggaran desa merupakan sektor paling banyak menjadi bahan bancakan [enam bulan pertama 2021].

Pihaknya mencatat sebanyak 55 kasus, dengan kerugian negara mencapai Rp35,7 miliar.

Belum lagi, sambung Kurnia, kepala desa menjadi aktor ketiga paling banyak–berjumlah 61 orang–yang melakukan korupsi.

“Maka dari itu, korupsi yang dilakukan oleh kepala desa tidak bisa dianggap remeh, seperti yang diutarakan oleh Komisioner KPK,” tegas Kurnia.