Berita  

Kepala BPIP soal Salam Pancasila: Perbuatan Adat yang Jika Diniati Ibadah dapat Pahala

Ngelmu.co – Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi kembali bicara soal Salam Pancasila yang sempat menjadi perdebatan di tengah masyarakat.

Ia mengingatkan, Salam Pancasila adalah salam yang menjembatani, sekaligus menjadi titik temu bagi rakyat, tanpa melihat latar belakang apa pun.

Pengucapannya di ranah publik, kata Yudian, bertujuan agar bangsa Indonesia tetap bersatu, tidak terpecah, serta mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Salam Pancasila adalah perbuatan adat yang jika diniati ibadah, akan mendapatkan pahala.”

Yudian menyampaikan hal tersebut saat menghadiri acara bedah buku karya dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Khoirul Anam, Sabtu (22/1/2022) kemarin.

Judul buku itu adalah ‘Salam Pancasila: Sebagai Salam Kebangsaan, Memahami Pemikiran Kepala BPIP RI’.

Mengutip Antara, Yudian menekankan, bahwa Salam Pancasila dimaksudkan sebagai salam kebangsaan, bukan pengganti salam keagamaan.

“Salam Pancasila merupakan bentuk jalan tengah kebangsaan yang terbebas dari dampak teologis.”

“Salam Pancasila tidak dimaksudkan sebagai pengganti salam keagamaan,” tutur Yudian dalam keterangan pers di Yogyakarta.

Dalam buku itu, Yudian juga menjelaskan beberapa hal sensitif secara keagamaan.

Di antaranya Salam Pancasila yang bukan untuk mengganti salam umat Islam; Assalamu’alaikum.

“Melainkan salam dalam hubungan kemanusiaan,” kata Yudian.

“Jika kita menyapa pemeluk agama lain dengan salam agama kita, maka itu membebani mereka,” sambungnya.

“Demikian pula mengucapkan salam Om Swastiastu, kita dituduh masuk Hindu,” imbuhnya lagi.

Baca Juga:

Sementara Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Phil Al Makin, mengatakan bahwa Yudian, punya penafsiran yang baik tentang agama dan kebangsaan.

Itu mengapa pihaknya yakin, Salam Pancasila sebagai Salam Kebangsaan, telah melalui laku spiritual Yudian untuk bangsa Indonesia.

Khoirul Anam sebagai penulis juga bilang, buku tersebut merupakan klarifikasi dari Kepala BPIP.

Dalam pertarungan wacana Islam fundamentalis dengan ideologi Pancasila sebagai ideologi yang dianggap paling luhur.

“Saya tidak masuk ke ranah politik, karena yang menyatakan kontra berada di sisi oposisi. Buku ini tidak bisa menghadirkan analisa mendalam soal itu,” kata Khoirul.

Menurutnya, ada beberapa hal yang dapat diungkap dalam buku itu; mengenai pemikiran Kepala BPIP soal Salam Pancasila.

Pertama, kritikan dari berbagai tokoh agama maupun politik tidak melakukan konfirmasi, tidak mencermati konteks, dan substansi materi yang disampaikan Yudian.

Kedua, berita bahwa Yudian, ingin dan akan mengganti salam keagamaan umat Islam dengan Salam Pancasila, sama sekali tidak benar.

Sebab, Yudian cuma mengusulkan perlunya salam kebangsaan, yang dapat menjadi titik temu semua agama, serta bisa diterima masyarakat Indonesia.

Ketiga, ada beberapa alasan, mengapa Yudian, mengusulkan perlunya salam kebangsaan; Salam Pancasila, sebagai salam di ranah publik.

Di antaranya adalah perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum mengucapkan salam lintas agama, dengan memakai redaksi enam agama.

Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Yogyakarta Munawar Ahmad juga menyampaikan pendapatnya.

Ia bilang, Salam Pancasila sebagai ‘greeting’ dari agama, budaya, dan komunitas plural yang ada di Indonesia.

Tujuannya untuk mencapai ketahanan komunikatif berdasarkan teori Habermas.

Begitu pun dengan Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila yang juga Staf Ahli MPR RI Syaiful Arif.

Menurutnya, “Salam Pancasila sebagai Salam Kebangsaan ini perlu terus disosialisasikan.”

“Karena menyerukan persatuan yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,” sebut Syaiful.