Keramat Mbah Maimun Zubair

Mbah Maimun Zubair

Ngelmu.co – Keramat Mbah Maimun Zubair, kisah ini diceritakan langsung oleh Dr. KH. Fadlolan Musyaffa’, alumnus Univesitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Perlu diketahui, ia selalu menjadi khadam (pelayan) tiap kali Mbah Moen datang ke Mesir.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI Jawa Tengah dan pengasuh Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan Jawa Tengah itu, punya kenangan bersama ulama kharismatik yang wafat di Mekkah, Arab Saudi, Selasa (6/8) lalu.

Berikut kisah yang ia ceritakan, semoga bisa kita ambil teladan dari sosok Mbah Moen:

Setidaknya tiga kali saya khidmah kepada KH. Maimun Zubair, tiap ke Mesir. Dalam ziarah ketiga, tahun 2005, beliau saya agendakan ziarah wisata ke Luxor dan Aswan, didampingi Ibu Nyai Heni Maryam.

Mbah Maimun Zubair Ingin Ziarah ke Imam Syadzily

Saya bawa ke Airport Cairo. Saat di ruang boarding, tiba-tiba beliau membisiki saya: “Mas Fadlolan, nanti kita ziarah ke Imam Syadzily ya,” Ini permintaan yang sulit saya jawab.

Dalam hati, saya berkata tidak mungkin, karena tiket pesawat sudah saya beli PP Cairo-Luxor-Cairo, berangkat pukul 07.00, kembali pukul 20.00, dan biasanya kalau ziarah ke makam Imam Syadzili, mesti menginap.

Karena perjalanan tidak cukup pulang-pergi sehari semalam. Jarak tempuh Cairo-Luxor, kurang lebih 900 kilometer, dengan pesawat terbang.

Luxor-Humaisarah, perkampungan Imam Syadzili, kurang lebih 400 kilometer dengan jalan darat.

Jalan sepi, tidak begitu baik aspalnya. Maklum, bukan jalur wisata turis. Tapi yang paling aneh, jalur ini tidak ada fasilitas kehidupan (listrik, air, sinyal telepon, pom bensin, toilet, warung, dan lain-lain). Tidak ada sama sekali.

Siapa Imam Syadzili?

Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili, dikenal juga Imam Syadzili, lahir di Ghumarah, Maroko, 1197 Masehi, dan wafat di Humaitsara, Mesir, 1258 M.

Ia adalah pendiri Tarekat Syadziliyah yang merupakan salah satu tarekat sufi terkemuka di dunia.

Ia dipercayai oleh para pengikutnya sebagai salah seorang keturunan Nabi Muhammad SAW, yang lahir di Desa Ghumarah, dekat Kota Sabtah, daerah Maghrib (sekarang termasuk wilayah Maroko, Afrika Utara) pada tahun 593 H/1197 M.

Nasab atau garis keturunan Abul Hasan Asy-Syadzili bersambung sampai dengan Rasulullah SAW.

Saya ingin benar-benar khidmah kepada kiai saya, maka saya harus berkata: “Sendiko dawuh (Njih, siap Kiai),”. Pikiran saya masih terhantui, tidak mungkin!

Lalu saya telepon kawan saya yang orang Mesir, ia siap menjemput kami di bandara Luxor.

“Ya ammi Fauzi, hal mumkin ziarah ila al-Imam Syadzili (Apa mungkin untuk ziarah ke Imam Syadzili)?”

Dia jawab, “Musy mumkin (tidak mungkin),”.

Yang Tak Mungkin Menjadi Mungkin

Tapi saya mencoba meyakinkan dia berulang-ulang, dan dia tetap menjawab tidak mungkin, karena dia sudah hafal ukuran kilometer perjalanan yang mesti nginap, atau kalau langsung balik mesti ketinggalan pesawat, dan ujung-ujungnya nginap di Luxor.

Singkat cerita, saya harus berkata: “Kita coba, jika bisa PP ya alhamdulillah, bila tidak bisa, ya kita nginap di Luxor, dan tiket pesawat kita hangus, gampang nanti beli lagi,”. Akhirnya si Fauzi menyetujui.

Sampai kami tiba di Bandara Luxor pukul 08.00, lalu kami sarapan, minum hangat sambil menunggu pintu gerbang Ma’bad Luxor atau Luxor Temple (Kuil tempat ibadah Fir’aun yang di Luxor) pukul 08.30 mulai masuk.

Beliau sangat mengagumi peninggalan Fir’aun. Beliau sambil mengajari saya supaya senang sejarah peradaban, beliaulah pakarnya.

Saking senangnya, beliau lalui dua lokasi Ma’bad Luxor, sambil cerita ayat-ayat kauniyat, dihubungkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, sambil foto-foto, saya abadikan.

Saya sering mengingatkan beliau: “Jadi ke makam Imam Syadzili, Mbah Yai?” Beliau jawab: “Hiya, jadi”.

Karena sudah pukul 10.30, tetapi saking asyiknya, beliau tidak terasa capek. Saya ingatkan ulang, dan beliau berkata: “Njih, monggo berangkat ke Imam Syadzili”.

Tepat pukul 11.00, beliau saya naikkan ke mobil sedan Daewoo, yang sering saya rental sekalian sopirnya, lalu meluncur cepat menuju Edfo, 100 km perbatasan Luxor, dengan padang pasir yang tidak ada fasilitas kehidupan.

Tiba di Edfo pukul 13.30, kami salat jamak taqdim, lalu makan siang di warung samping mushalla tersebut. Di sinilah kekeramatan Mbah Maimun Zubair mulai dimunculkan.

Seorang Istri Meminta Mbah Maimun Zubair Mendoakan Suaminya yang Sakit

Seorang ibu pemilik warung makan, tiba-tiba keluar membawa air botol aqua besar, seraya berkata: “Ya Syaikh, ud’u li zauji, wahuwa maridh (Ya Syekh, doakan suami saya, ia sedang sakit),”.

Beliau langsung terima botolnya dan didoakan seperti biasa tamu-tamu di ndalem Ponpes Sarang pada minta doa.

Lalu beliau bertanya: “Aina zajak (Di mana suamimu)?” Lalu diajak ke kamarnya, disuwuk dan diolesi air yang di botol tersebut.

Saat kami pamitan, mau bayar warung, sungguh saling menjaga wirai, maunya yang punya warung tidak mau dibayar, tapi si Mbah KH. Maimun Zubair, tetap ingin membayar, harus dibayar.

Di situlah kekeramatan beliau terbaca oleh kami semua, terutama sopir saya, amu/Lik Fauzi, mulai kagum dan semakin percaya membawa seorang alim allamah yang sakti ini.

Kami meninggalkan warung pukul 14.30, menuju Humaisarah yang jaraknya sekiatar 300 km, jalan aspal tidak begitu baik, gurun pasir, tidak ada kehidupan sama sekali.

Saya hanya berdoa, semoga selamat tidak ada gangguan mobil, tidak ada bengkel, bensin pun kita bawa cadangan 2 jeriken di bagasi.

Pukul 17.00, kami tiba, lalu ambil wudhu dan ziarah. Mbah Maimun Zubair membaca Hizb Nasr, tahlil singkat dan berdoa. Tepat pukul 17.45, matahari gelap.

Kami segera meneruskan perjalanan kembali ke Luxor. Kekeramatan Syaikhona KH. Maimun Zubair, tidak bisa ditutupi lagi, semakin jelas.

Beliau duduk sila di jok belakang bersama Ibu Nyai Heni Maryam, wiridan. Saya di jok samping sopir. Melihat jam yang harusnya kami sudah tiba di Bandara Luxoor pukul 18.30, (dulu belum ada check in online) tapi saya hanya berdoa semoga kebagian pesawat.

Dzikir di Sepanjang Perjalanan

Semakin semangat sopir Arab itu, lupa kalau mobilnya itu sedan Daewoo tua, kok diajak lari 150-160/km. Saya merasa ban mobil itu tidak nempel di jalan aspal.

Ditambah jalannya pun tidak begitu baik. Tapi saya yakin yang saya bawa itu seorang waliyullah Syaikhona KH. Maimun Zubair, semakin kencang, wiridan semakin cepat.

Di tengah perjalanan itu, kami hanya dibekali istri saya cemilan ringan dan lemper buatan malam hari, yang dengan panas matahari, sampai sore harinya sudah tidak sehat lagi.

Mencontohkan Agar Bersikap Qonaah

Tapi Syaikhona KH. Maimun Zubair, sangat arif dan mendidik saya untuk qonaah/neriman: “Ayo Mas Fadlolan, kita makan lempernya, buatan neng Fenti itu enak ya, pinter masak ya istri Mas Fadlolan,” katanya.

Padahal, beliau tahu istri saya itu tidak pintar masak.

Lalu, saya bergegas harus menyiapkan makan malam. Beliau pasti butuh kamar kecil untuk bersuci dan makan malam.

Maka saya telepon hotel dekat airport, yang bisa menyiapkan makan malam siap santap, dan bisa ke kamar kecil juga mushalla.

Perjalanan 400 kilometer sungguh terlipat waktunya, hanya 1,5 jam (padahal setiap saya jalan ke sana, bila tidak bersama Syaikhona KH. Maimun Zubair, antara 7-9 jam).

Namun, pukul 19.00 kami tiba di Luxor, di sebuah restoran hotel, lalu kami makan malam seafood dengan cepat.

Beliau memberi saya uang 300 pound Mesir, standar umum makan berempat sudah cukup. Ternyata totalan kasir harganya 750 pound Mesir. Si Mbah Maimun Zubair melihat kalau saya menambahi banyak.

“Mas Fadlolan kok nambah banyak?” tanya beliau.

Saya jawab, “Tidak nambah Mbah,” kata saya.

“Lho saya lihat nambah kok,” katanya.

Karena orang Arab, Mesir biasa menghitung uang dengan diangkat di depan mata dia, maka kelihatan dari jauh jumlah tambahannya lebih banyak.

Ringkas cerita, beliau mendesak pertanyaan: “Berapa itu tadi, Mas?”

Saya jawab, “750 pound Mbah”.

Saking tidak ridhanya harga yang terlalu mahal, terucap kata-kata beliau “Laisa minna (bukan golongan kita)”.

Restoran dan Hotel Terbakar dan Tak bisa Dipadamkan

Maa syaa Allah, kami keluar dari restoran tersebut, tidak lama, malam itu restoran terbakar bersama hotelnya, tidak bisa dipadamkan.

Sopir saya menelepon saya: “Maa syaa Allah, kalumu Syaikh Maimun khothiir, kalamuhu dua (Omongannya Syaikh Maimun bahaya, omongannya itu doa). Al-funduk alladzi na’kul fih mahruq lam yuthfihi (Hotel yang kita buat makan tadi terbakar tidak bisa dipadamkan),”.

Sebelum sampai restoran, saya sempatkan telepon kawan inteligen wilayah Luxor, untuk menunda pesawat terbang yang akan kami tumpangi, saya katakan: “Karena saya membawa seorang ulama besar dari Indonesia, Syaikh Maimun Zubair,”.

Telat sekitar 30-45 menit, kami sudah dekat airport, tetapi mau ke kamar kecil dan makan malam terlebih dahulu.

Perjalanan Dipermudah

Alhamdulillah, pesawat di-delay 30 menit. Perjalanan terlipat jauh lebih cepat, kami masuk airport tidak usah check in, langsung disambut kawan-kawan mabahits dauli (inteligen Negara Mesir), dikasih boarding pass, kami dan masuk pesawat tanpa urusan.

Begitu masuk pesawat, langsung pintu ditutup dan terbang.

Orang Mesir dan turis lain, tertahan 30 menit di dalam pesawat. Begitu melihat kami orang Indonesia yang menyebabkan mereka di-delay, lalu pada nyeletuk: “Ya Andunisi (Hai orang Indonesia),”.

Saking capeknya, saya ngantuk, tapi Mbah Maimun Zubair memegangi tangan saya sepanjang perjalanan, dan sering dilirik wajah saya seraya berkata: “Mas Fadlolan tadi naik apa?

Saya jawab: “Naik Burok, Mbah”. Beliau jawab: “Hiya betul … betul … betul … Mas Fadlolan,”.

Setibanya di Kairo, saya antar beliau istirahat, lalu pagi harinya saya bawakan koran. Terdapat foto berita hotel yang tempat kami makan tadi malam terbakar, tidak bisa dipadamkan, akibat dingendikani “Laisa minna”.

Mbah Maimun adalah Seorang Alim dan Pengasih

Beliau orang alim dan pengasih, menundukkan kepala, bersedih. Saya curi pandang wajah beliau, ternyata air mata mengalir di pipinya, menangis tanda menyesali ucapan beliau yang menjadi doa kesedihan orang lain.

Inilah waliyullah yang arif dan penyayang semua makhluk. Perjalanan ini tidak pernah bisa saya ulang, seumur hidup ini.

Cerita ini sering disampaikan Mbah Moen pada tamu-tamu yang sowan di ndalem Pesantren Sarang, Rembang, dan juga dalam banyak pengajian.

Saat itu saya masih tinggal di Kairo Mesir. Sudah banyak yang mendengar cerita ini, dan baru ketemu saya.

Maka sering ketemu orang yang kenalan, lalu tiba-tiba dia berkata: “Oh ini tah yang namanya Fadlolan, yang sering diceritakan Syaikh Maimun Zubair?

Saya bersyukur bisa khidmah beliau, dan banyak kenangan yang spesial diberikan kepada saya, dari diberikan seorang istri saat saya di Mesir, sering diberikan ijazah khusus, dan sampai dua kali datang mendoakan pesantren “Fadhlul Fadhlan”.

Perintah dan ridha beliau, pesantren ini terwujud, dan berkat doa beliau-lah pesantren ini cepat berkembang.

Ya Syaikhona Maimun Zubair, Engkaulah mahaguru mursyidku dan orangtuaku yang ma’rifat, mengetahui banyak hal yang sedang dan terencana akan saya laksanakan.

Terkadang saya sendiri tidak tahu, dan engkau memberikan isyarat lewat mimpi maupun lewat utusan santri yang selalu membawa pesan amanat langsung datang menghampiri kediamanku.

Mbah Maimun Zubair Senantiasa Memberi Bekal

Dari sinilah beliau selalu membekali ijazah doa-doa untuk bekal berjuang ketika kami telah pulang ke dalam negeri.

Ya Syaikhona Maimun Zubair, cita-citamu ingin wafat di Mekkah, sehingga tiap tahun selalu naik haji. Dan kini Allah kabulkan.

Harapanmu ingin wafat hari Selasa, sebagaimana ulama-ulama besar, kini Engkau wafat hari Selasa.

Saya sedih kau tinggalkan, tapi demi cita-citamu ketemu Allah di hari dan tempat yang dicita-citakan, saya turut bahagia.

Semoga Syaikhona Maimun Zubair, di-tempatkan di sisi Allah SWT, surga Firdaus, dan selalu memberkahi kita, sekalipun semayam di Ma’la Makkah al-Mukarromah, tapi selalu bersama kami.

Setiap waktu, Fatihahku selalu mengiringimu ya Syaikhona Maimun Zubair.

Mbah Maimun Zubair dimakamkan di Ma’la, kompleks 70, Nomor 151, Urutan ke 4, Baris 5. Semoga kita semua bisa menziarahinya. Aamiin.

Oleh: Dr. KH. Fadlolan Musyaffa Mu’thi, Saksi Sejarah