Kesaksian Pasien Suspect COVID-19 yang Sayangkan ‘Kesombongan’ Pemerintah

Pasien Suspect COVID-19

Ngelmu.co – Seorang pria bernama Fachri Muchtar, yang merupakan pasien suspect COVID-19, membagikan kesaksiannya terkait penanganan virus Corona di Indonesia. Menilai pemerintah belum siap menghadapi permasalahan ini, ia pun menyayangkan ‘kesombongan’ yang sempat di-pertontonkan di awal.

Berikut kisah dan penilaian Fachri, yang ia bagikan di media sosial Twitter pribadinya, @fmuchtar_, seperti dikutip Ngelmu, Senin (16/3) kemarin.

Gua resah dengan kondisi saat ini, gua pengin speak up sebagai pasien suspect COVID-19. Gua akan cerita tentang pengalaman gua sebagai pasien di salah satu RS Rujukan di Jakarta, dan keresahan gua terkait corona.

Baru saja semalam gua dinyatakan sama dokter sebagai pasien suspect Corona. Gejala yang gua alamin ya demam, batuk, sesak napas, pilek, sakit tenggorokan sama lemas.

For your information (FYI), gua lagi karantina mandiri di rumah, setelah sebelumnya di rawat di ruang isolasi IGD.

Jadi, gua masuk RS tuh kemarin sore, setelah sakit sesak dan batuk gua ga kunjung membaik, padahal udah minum obat dokter.

Akhirnya gua putuskan buat pergi ke RS Rujukan. Sampai di sana, langsung masuk IGD buat diperiksa, mulai dari ditanya-tanya, cek darah, sampai rontgen paru.

Habis gua rontgent paru, gua dipindahkan-lah ke ruang dekontaminasi, itu isinya orang batuk semua. Pokoknya batuk, mau dia terindikasi Corona atau enggak, digabung di situ.

Satu ruangan bisa berisi 4-5 orang, dengan ukuran ruangan yang gua kira paling 2×3 meter.

Di ruangan itu, ada 3 pasien tidur di ranjang pasien, dan 2 orang duduk di kursi roda, karena ga muat.

Nah, setelah nunggu beberapa jam (mungkin sekitar 1-2 jam), gua dikabarkan kalau gua adalah pasien suspect COVID-19, berdasarkan gejala dan riwayat perjalanan gua.

Akhirnya gua dipindahkan ke ruang khusus isolasi pasien COVID-19.

Selain gua, ada satu lagi seorang bapak yang juga dipindahkan, karena beliau sama kayak gua, pasien suspect COVID-19.

Mau tau gimana kondisi ruangannya? Ruangan isolasi ini di-isi sama 6 orang pasien, dengan kriteria sakit beda-beda.

Mulai dari yang keliatan sehat, sampai yang batuknya sering, tuh ada, dicampur di ruang itu. Selengkapnya lu bisa baca berita Kompas ini.

Oiya, di ruangan itu, cuma ada 3 bed kasur, sedangkan pasiennya ada 6, jadi terpaksa sebagian harus duduk di kursi roda.

Gua sendiri duduk di kursi roda dari di ruang dekontaminasi, sampai baru dapat kasur tadi pagi.

Lanjut ya, dari 6 orang tersebut, 2 di antaranya malam itu langsung dirujuk ke RS Rujukan yang lain.

Sedangkan sisanya, menunggu kamar isolasi rawat inap kosong, atau ada RS Rujukan lain yang mau menerima, sedangkan kondisinya, semua RS Rujukan tuh penuh.

Akhirnya gua dan 3 orang lainnya, cuma bisa saling ngobrol aja sambil nunggu kepastian, kapan kita di tes swab (tes Corona) dan kepastian ruangan.

Akhirnya, sekitar jam 11 siang, kita di tes swab oleh tim dokter. Hasil tes swab baru bisa diketahui paling cepet 3 hari. Lama banget ga tuh?

Makanya ga heran, di Mata Najwa, Gubernur DKI Jakarta sama Gubernur Jabar, pengin tes mandiri. Soalnya kalau nunggu pusat lama banget.

Oiya, setelah tes swab, kita semua dianjurkan untuk pulang dan karantina mandiri di rumah, sambil nunggu hasil.

Kalau positif, ya kita bakal dijemput pake ambulans. Ini juga dilakukan karena jumlah ruang isolasi terbatas, sedangkan jumlah pasien suspect dan positif terus bertambah.

Tadi gua sempat ngobrol juga sama dokternya, dan dia mengakui kalau Indonesia tuh ga siap menghadapi Corona.

Sangat gagap bahkan dalam pelayanan medis. Dengan metode tes swab yang kayak sekarang, ga heran kalau banyak yang underdiagnosed.

Kenapa gua bilang banyak yang underdiagnosed (Jumlah angka official jauh lebih kecil dari jumlah kasus real di lapangan)?

Ya karena ga semua orang bisa ngecek dan mau ngecek. Fasilitas kita masih sangat terbatas, bahkan petugas medis yang menangani pasien aja, ga bisa tes swab.

Kenapa sih ini semua bisa terjadi? Ya, karena Indonesia tuh SOMBONG! Sangat meremehkan virus ini ketika pertama kali muncul di Wuhan.

Alih-alih mempersiapkan dengan serius, kita malah jadikan bahan bercandaan dan menantang riset Harvard, yang bilang virus ini sudah ada di Indonesia.

Pada awal-awal virus ini muncul, kita lebih memilih buat bayar influencer Rp72 M, dan kasih diskon pesawat.

Di saat negara lain serius memandang Corona, negara ini malah meremehkan. Jangan heran kalau sekarang kita gagap menangani ini. Karena kita ga siap!

Bahkan, ketika COVID-19 sudah mulai mewabah di Indonesia, Menkes kita masih sempat-sempatnya mengedepankan hal simbolik, seperti pengangkatan Duta Imunitas Corona Sejati, daripada konkret membenahi masalah pelayanan kesehatan kita.

Sekadar informasi, pelayanan kesehatan kita buat mengatasi COVID-19, masih belum siap.

Di Indonesia, Anda bisa tes Corona adalah sebuah privilege, karena ga semua orang bisa tes! Kenapa sih gua bilang privilege?

Ya, karena kalau lu ga pernah keluar negeri atau kontak dengan pasien positif, besar kemungkinan ga bakal di-cek.

Tapi walaupun begitu, RS Rujukan tetap aja kewalahan menangani jumlah suspect dan pasien positif.

Padahal, mungkin banyak dari kita yang ga tau, apakah pernah berpapasan atau berada di lokasi yang sama dengan pasien positif, karena data yang ga terbuka dengan jelas.

Beda dengan Singapura, yang kita bisa tau riwayat perjalanan si pasien. So far, petanya cuma menerangkan lokasi asal dari pasien dan suspect.

Akhirnya, banyak orang juga yang ga aware buat meriksa, padahal meriksa itu penting, dan semakin banyak sampel, semakin mendekati keakuratan.

Selain itu, juga kemenkes harus mengizinkan daerah buat melakukan pengetesan sendiri, untuk memotong waktu. Malah, kalau bisa kayak di Korea Selatan, bisa ngecek via drive thru.

Dengan pembukaan data dan pengecekan yang lebih massif, justru membuat rakyat lebih siap daripada dengan sikap kayak sekarang, dengan dalih biar rakyat ga panik.

Justru rakyat panik, karena ketidakpastian data.

Setelah gua melihat bagaimana ketidaksiapan pelayanan kesehatan kita yang di-komandoi oleh Kemenkes.

Gua semakin resah, ketika melihat media sosial, isu corona ini ternyata masih belum menjadi isu yang menyatukan kita. Bahkan, kita masih terpolarisasi secara politik!

Bayangin, di isu yang seharusnya kita bersatu untuk melawannya karena terkait dengan kemanusiaan, masih ada akun-akun yang menggunakan isu ini untuk kepentingan politik.

Seharusnya kita mendukung segala bentuk kebijakan yang dilakukan oleh kelompok manapun, dalam rangka melawan Corona dan mengkritisi kebijakan-kebijakan yang ngaco.

Bukan memperdebatkan satu kebijakan yang tepat, dan menyerang dari sisi personal. Bukan pula melindungi kesalahan pemerintah dari kritik-kritik yang ada.

Persoalan tentang Corona tidak berhenti di sana, tapi bagaimana kita mengedukasi masyarakat kelas menengah ke bawah, agar sadar dengan isu ini.

Karena bagi mereka, kepastian untuk hidup di hari esok lebih menakutkan dibandingkan COVID-19.

Padahal, kelompok kelas mengeah ke bawah inilah yang menjadi kelompok paling rentan, apabila positif terinfeksi COVID-19.

Bagi orang kaya, mereka bisa mengisolasi diri di salah satu kamar di rumahnya. Bagaimana dengan keluarga yang makan, tidur, kumpul di ruangan yang sama?

Tentunya lebih berisiko, karena mereka ga ada ruang untuk isolasi mandiri. Apalagi lingkungan pemukiman mereka juga padat penduduk.

Gak jarang mereka juga tinggal di gang senggol. That’s why, gua bilang kelompok menengah ke bawah ini adalah kelompok yang sangat rentan.

Kelompok menengah ke bawah ini juga kadang ga aware dengan kesehatannya dan isu COVID-19 ini.

Kalau mereka merasakan gejala, ya mereka ga bakal periksa, paling cuma bakal bilang ‘Ah, paling masuk angin’.

Bayangin aja, penyebaran virus bakal lebih sulit terdeteksi.

Beda banget dengan kelas menengah yang mungkin akan memeriksakan kesehatan mereka, karena mereka punya kesadaran dan terpapar informasi yang cukup.

Makanya, #GerakanSosialDistancing tuh perlu banget buat mencegah hal begini! Tapi tentu praktiknya ga semudah itu.

#GerakanSosialDistancing dan gerakan #dirumahaja emang bagus banget. Tapi jangan menghakimi mereka yang tetep pergi kerja hari ini.

Karena ada di antara mereka yang dapat penghasilannya harian, kalau ga kerja, artinya ga ada penghasilan. Sebagian lagi terpaksa bekerja karena kapitalisme tidak peduli dengan wabah pandemi seperti Corona, yang penting cuan aman.

Makanya, butuh intervensi lebih dari pemerintah pusat dan daerah, buat mengatasi masalah ini, karena social distance ga bakal berjalan sesuai harapan.

Buktinya, ya membludaknya penumpang MRT dan TJ, ketika pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan armada.

Nah, Kunci untuk memaksimalkan #GerakanSosialDistancing, ya dengan memaksa pemerintah untuk melakukan lockdown atau isolasi.

Kuncinya ada di Pak @jokowi, karena masalah lockdown ini sepenuhnya wewenang pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah.

Hal ini sesuai dengan amanat UU No. 6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan.

Di pasal 55 disebutkan, bahwa pemerintah pusat yang memiliki wewenang untuk melakukan karantina wilayah (lockdown) dan wajib memenuhi kebutuhan penduduknya.

Cuma masalahnya, sampai hari ini, UU tersebut ga punya PP sebagai peraturan turunan.

Ayo, kita colek Pak @jokowi buat segera memutuskan dan membuat PP terkait karantina wilayah. Sudah dua tahun lho, Pak, sejak Bapak tanda tangani. Hehehe.

Akan tetapi, lockdown punya konsekuensi, yakni matinya kegiatan ekonomi. Makanya pemerintah harus memberikan jaminan dan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha.

Tapi ini worth it kok, untuk mencegah menyebarnya COVID-19, sebelum menjadi outbreak.

Selain itu, pemerintah juga harus menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Supply makanan dan bahan pokok jangan sampai putus.

Pemerintah juga harus menangguhkan pembayaran segala bentuk kredit, jika bisa. Tapi ingat, ga semua warga Indonesia itu rumahnya nyicil.

Malah banyak juga rakyat Indonesia yang rumahnya masih ngontrak. Ini juga menjadi PR ketika diberlakukan lockdown.

Kalau pertambahan pasien Corona terus meningkat, dan respons pemerintah masih lamban, serta dunia usaha juga enggak memberlakukan Work From Home, mungkin kita perlu gerakan digital yang lebih massif lagi.

Agar pemerintah lebih serius menangani wabah COVID-19 ini. Gak hanya gimmick!

Thank you buat kalian yang udah mau baca thread gua yang panjang ini. Terima kasih juga atas doa doa baik kalian. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala, membalas doa baik kalian.

Oiya, kalau ada yang mau diskusi soal COVID-19, jangan sungkan yaaa, untuk langsung reply atau DM. GBU!

Gua melakukan pengetesan ini atas inisiatif pribadi, karena bagi gua, di saat respons negara yang lama, kita sebagai warga negara harus pro-aktif.

Gua ga mau tanpa disadari menjadi penyebar virus COVID-19. Kalau gua positif, ya pada akhirnya gua bisa tracing dan melindungi orang-orang di sekitar gua dengan gua isolasi dan menyuruh mereka cek juga.

Akhirnya, makin banyak ‘kan yang di-cek, dan makin bagus. Kalaupun negatif, ya alhamdulillah.

Alasan gua buat thread ini juga ya biar orang-orang waspada sih, dan gua pengin nunjukin, bahwa menjadi suspect COVID-19 bukanlah sebuah aib.

Kita harus melawan stigma. Mungkin next time, kalau gua positif, gua bakal bagiin riwayat perjalanan gua. Biar semakin banyak yang aware, waspada, dan akhirnya mau meriksain dirinya.

Ada hal yang perlu saya garis bawahi, agar tidak salah paham dengan thread saya di atas.

Saya tidak bermaksud untuk menyudutkan pihak RS tempat saya di-isolasi. Saya membeberkan itu, untuk memberikan gambaran bagaimana belum siapnya fasilitas kesehatan kita menghadapi COVID-19.

Sekaligus menunjukan, betapa rentannya tenaga medis kita, karena mereka sendiri belum bisa tes swab. Pihak RS tentu sudah mencapai batasannya, karena sulit menambah ruang isolasi mendadak di saat jumlah pasien meningkat.

Makanya, diperlukan intervensi dari pemerintah pusat dan daerah, untuk sama-sama membangun fasilitas kesehatan yang siap menangani COVID-19 ini. Jangan sampai keterbatasan lapangan ini didiamkan.

Bukan bermaksud untuk menyalahkan Pak Jokowi, tapi memang beberapa kebijakan hanya beliau yang bisa keluarkan, sesuai amanat UU.

Seperti kebijakan lockdown dan tentu ada konsekuensi yang harus dipenuhi, jika lockdown dilaksanakan, seperti yang telah saya jelaskan di atas.

Pemerintah daerah juga bukan berarti pasif. Sudah seharusnya Pemda lebih proaktif dalam beberapa hal, misalnya proaktif untuk mengajukan tes di daerahnya, seperti DKI dan Jabar.

Atau bisa juga proaktif meningkatkan kualitas pelayanan di lapangan dan mengusulkan daftar RS Rujukan tambahan di wilayahnya ke Kemenkes.

Jangan enggan untuk memeriksakan dirimu. Dengan banyak yang ketahuan statusnya, maka akan lebih mudah melakukan tracing penyebaran COVID-19 di masyarakat.