Ketika Pengkhianatan akan Berakhir dengan Pengkhianatan Pula

 

Paska mengkhianati Mursi sebagai presiden terpilih dalam sebuah pemilihan presiden paling demokratis di Mesir, dan memilih mendukung militer untuk mengambil alih kekuasan, Ketua Umum Partai Salafi An Nur, Dr. Yunus Makhyun, menyesali kebobrokan yang terjadi setelah negara itu dikelola junta militer pimpinan Jenderal Asisi.

Dalam pidatonya seperti dilansir Islamiyun, Makhyun menyebutkan sedikitnya tujuh kerugian bagi umat Islam dan rakyat Mesir akibat kudeta.
_“Apa yang dulu kita jadikan celaan kepada Presiden Mursi, itulah yang terjadi sekarang dan lebih buruk,”_ sesal Makhyun dalam pidatonya.

Tujuh hal yang ia nilai sebagai kebobrokan dan kerugian saat itu adalah pengangkatan Adly Mansour sebagai presiden sementara melalui penunjukan, bukan pemilihan. Kedua, perdana menteri juga ditunjuk, bukan melalui dipilih. Tim perumus konstitusi yang berjumlah 10 orang juga ditunjuk.

_“Ini serius. ‘Perjanjian’ kita dengan militer (saat kudeta) adalah mempercepat pemilu parlemen lalu mengubah konstitusi melalui parlemen yang terpilih nanti yang mencerminkan kehendak rakyat,”_ tambah Makhyun.

Lebih dari itu, yang terburuk menurut Makhyun adalah pelanggaran berat hak asasi manusia, penangkapan tokoh-tokoh politik dan Ikhwan, peliputan langsung proses penangkapan dan
publikasi secara meluas foto-foto penangkapan.

Seperti diketahui, Partai An Nur mendukung penggulingan Presiden Mursi yang dilakukan oleh militer Mesir awal Juli tahun 2013. Partai An Nur yang sebelumnya berkoalisi dengan Presiden Mursi tiba-tiba berbalik setelah bertemu dengan tamarud dan militer yang berencana mengkudeta Mursi. Sayangnya, kesepakatan itu dikhianati militer pimpinan Jenderal As Sisi.

Begitulah jalan cerita sebuah pengkhianatan, akan berakhir dengan pengkhianatan pula. Pelajaran mahal yang harus dibayar partai An-nur Salafy seumur hidupnya, dan akan terus mendapat stigma *”PENGKHIANAT”* sepanjang partai itu masih berdiri.

Bayangan indah partai pimpinan Yunus Makhyun itu saat berkolaborasi dengan militer untuk melengserkan Moursyi tak ada satupun yang terbukti. Pengkhianatan itu sendiri dipicu persoalan pembagian kekuasaan dengan FJP yang dianggapnya belum mewakili semangat koalisi.

Walaupun sempat melakukan intrik terhadap FJP pada pemilu putaran pertama dengan bergabung ke partai wasath dan mendukung Abdul Mun’im abu Futuh sebagai presiden, toh Ikhwan tetap menerima partai An-nur saat mereka mengajak koalisi diputaran kedua.

Problem kekuasaan memang sering memakan korban. Keinginan berkuasa mudah menghalalkan segala cara. Termasuk sikap-sikap yang tak seharusnya dilakukan. Dunia politik bagi sebagian orang seolah wilayah yang Tuhan tak memiliki kuasa.

Semoga aksi segelintir orang yang memilih berpisah jalan karena ambisi kekuasaan akan tersadarkan sebelum “butterfly effect” mendatanginya. Berbeda dengan mereka yang memilih berpisah baik-baik dan tidak menjadi parasit, maka sekumpulan orang yang berpisah dengan amarah karena hasratnya ingin berkuasa berpotensi menjadi parasit dan meninggalkan debu dibelakang.

Pelajaran mahal bagi siapa saja dan menjadi perhatian kita semua, bahwa sekecil apapun keputusan yang kita ambil terhadap masa depan pribadi dan kelompok, akan berdampak terhadap diri dan kelompok. Yang artinya harus siap menanggung resikonya dikemudian hari. Demikian halnya dengan pragmatisme politik yang mengabaikan nilai-nilai dan dibungkus wacana strategi pun akan berpulang akibatnya bagi siapa saja yang melakukannya.