Ketika PKS Hanya Sendirian Menolak Perppu COVID-19 Jadi UU

PKS Tolak Perppu COVID

Ngelmu.co – Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), menjadi satu-satunya pihak yang menolak Perppu Nomor 1 Tahun 2020 untuk penanganan COVID-19, ditetapkan menjadi undang-undang.

Ada sejumlah hal yang menjadi sorotan PKS. Di antaranya terkait program pemulihan ekonomi nasional, serta batasan defisit, yang dapat melebihi tiga persen.

Namun, karena penolakan hanya muncul dari PKS, maka Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, tetap menerima dan menyetujui pengajuan tersebut.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 untuk penanganan COVID-19, telah disetujui untuk ditetapkan sebagai UU.

Pada Senin (4/5) malam, Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah, telah mengetok palu, dalam rapat kerja secara virtual dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM.

Rapat itu diadakan sejak Senin (4/5) siang, hingga pukul 22.30 WIB.

Dalam rapat tersebut, nampak seluruh fraksi di Banggar DPR RI, menyampaikan pandangannya soal penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan, jadi UU.

Kecuali PKS, fraksi lain yakni PDIP, Partai Golkar, PKB, Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai NasDem, PAN, dan PPP, menerima dan menyetujuinya.

Artinya, setelah resmi diketok palu, hasil keputusan ini akan dibawa ke rapat paripurna, untuk kemudian di-sahkan menjadi UU.

Rencananya, pekerjaan ini akan diselesaikan sebelum masa sidang berakhir, pada 12 Mei mendatang.

Sebelumnya, Banggar DPR RI, mendengarkan pemaparan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, terkait dampak pandemi COVID-19, kepada perekonomian global dan nasional.

Dalam rapat kerja virtual di Jakarta, Senin (4/5) siang itu, Perppu Nomor 1 Tahun 2020, dijadikan landasan hukum bagi pemerintah dalam menangani wabah virus Corona.

Pasalnya, terdapat kekosongan aturan hukum di tengah kondisi genting dan mendesak.

Melalui Perppu ini, pemerintah juga menambah belanja serta pembiayaan penanganan COVID-19, sebesar Rp405,1 triliun.

Hingga defisit dalam APBN 2020 menjadi 5,07 persen.

Dilansir Antara, berikut rincian alokasi belanja tersebut:

  • Rp75 triliun untuk dukungan anggaran kesehatan,
  • Rp110 triliun untuk perluasan jaring pengaman sosial,
  • Rp70,1 triliun untuk dukungan bagi dunia usaha dan industri, dan
  • Rp150 triliun untuk dukungan pembiayaan pemulihan ekonomi nasional.

Bank Indonesia, dalam Perppu itu, juga mendapat kewenangan untuk membeli surat utang yang diterbitkan pemerintah di pasar perdana.

Baca Juga: PKS Nilai Perppu No 1 Tahun 2020 Berpotensi Melanggar UUD NRI 1945

Diketahui, sebelumnya juga banyak pihak yang melakukan Judicial Reciew terhadap Perppu COVID-19.

Sebab, Perppu tersebut, dinilai tak sesuai dengan aturan UUD NRI 1945, dan dapat menimbulkan darurat konstitusi.

Salah satunya disampaikan oleh Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, melalui siaran pers, di Jakarta, Selasa (21/04) lalu.

“Perppu yang semula untuk mengatasi darurat nasional COVID-19 itu, ternyata malah berisikan ketentuan-ketentuan yang justru dinilai menunggangi kondisi dan/atau dengan dalih ‘kegentingan yang memaksa’, untuk melegalisasikan berbagai ketentuan dan tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsi yang ditegaskan dalam UUD atau konstitusi,” tegasnya.

Lebih lanjut HNW menilai, Pasal 27 ayat (1) , (2), dan (3) pada Perppu 1/2020.

Ia menilai, pasal-pasal itu tampak jelas melanggar prinsip negara hukum dan asas persamaan di hadapan hukum, yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945.

“Pasal 27 ayat (1), (2), dan (3) seperti memberikan keistimewaan pejabat tertentu, untuk punya kekebalan hukum dan tak bisa dikenai pasal tindak pidana korupsi maupun untuk diadukan ke PTUN,” bebernya.

“Bahwa apa pun yang mereka putuskan atau lakukan itu, tidak merupakan kerugian negara,” sambung HNW, yang menegaskan jika hal itu merupakan ranah penegak hukum.

Maka diberlakukannya kewenangan penetapan dan atau perubahan APBN melalui ketentuan Perppu dengan tanpa batas itu, jelas tak sesuai UUD.

“Jangan sampai karena Perppu 1/2020 yang bermasalah, dibiarkan dan tidak dikoreksi, atau malah dilegalkan, justru akan hadirkan darurat lain yang lebih serius, yaitu darurat konstitusi,” pungkasnya kala itu.