Berita  

Ketum Aprindo Kaget 70 Ribu Ton Stok Gula Hilang dalam 2 Hari

Stok Gula Kemendag

Ngelmu.co – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey, mengaku kaget atas hilangnya 70 ribu ton stok gula rafinasi, yang sebelumnya masih tersedia di tangan para produsen, yakni Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI).

Sebelumnya, ia mengungkapkan, peritel modern diwajibkan menjual gula dengan harga tak lebih dari Rp12.500 per kilogram (Kg).

Meskipun harga gula di Indonesia, secara keseluruhan, mengalami kenaikan yang signifikan. Pihaknya pun mengaku kesulitan mendapatkan pasokan gula.

Padahal, pemerintah telah menetapkan impor gula kristal mentah (raw sugar), hingga ratusan ribu ton, untuk diolah menjadi gula kristal putih (GKP).

Begitupun dengan impor GKP, yang ditugaskan kepada tiga BUMN, yakni sebanyak 150 ribu ton.

Pemerintah, juga telah menetapkan kebijakan pengalihan 250 ribu ton gula rafinasi, untuk dikonsumsi.

Namun, menurut Roy, realisasi di lapangan jauh dari rencana.

Ketika Aprindo, berupaya mendapatkan pasokan gula rafinasi, pada Rabu (22/4) lalu, Kementerian Perdagangan (Kemendag), menemukan 160ribu ton masih tersedia di tangan AGRI.

“Akhirnya ada satu jalan, bahwa ada kelebihan proses gula rafinasi, itu yang buat industri makanan dan minuman, itu ada alokasi kelebihan 160 ribu ton,” kata Roy, dalam webinar pangan BPKN, Kamis (14/5).

Tetapi ketika pihaknya berupaya mendapatkan 160 ton gula itu, AGRI mengatakan, stok yang tersisa hanya 93 ribu ton.

Roy pun mengaku terkejut, pasalnya dalam dua hari, 70 ribu ton gula rafinasi, bisa menghilang.

“Nah, prosesnya ternyata, dari 160 ribu ton itu, ternyata hanya tinggal 93 ribu ton. Dalam waktu dua hari, hilang gulanya hampir sekitar 70 ribu ton, tidak tahu ke mana,” bebernya.

Setelah itu, pihaknya berusaha mendapatkan 93 ribu ton stok gula rafinasi di AGRI.

Namun, Aprindo kembali gagal, karena hanya memperoleh kesepakatan 30 ribu ton.

“Dengan 93 ribu ton, akhirnya kami coba untuk melakukan kerja sama, dan kenyataannya itu tidak bisa di-suplai secara total, akhirnya kita hanya minta 30 ribu ton, untuk kebutuhan satu bulan ini,” jelas Roy.

Inilah yang kemudian menyebabkan gula-gula di ritel modern, seperti di minimarket, masih sulit ditemukan.

“Artinya, guyuran gula cuma 20-25 persen, dari total yang kita harapkan,” kata Roy.

“Ini yang membuat gerai-gerai ritel modern kami untuk melayani kebutuhan masyarakat di tengah pandemi ini, sulit sekali untuk menyediakan gula,” sambungnya.

“Indomaret, Alfamart, dan sebagainya. Nah, sementara kelebihan gula tadi itu (70 ribu ton), kita tidak tahu ke mana gulanya,” lanjut Roy.

Lebih lanjut pihaknya sudah mengajukan pembelian stok GKP dari para produsen atau pabrik gula (PG), dan juga importir, selain gula rafinasi.

Namun, menurut Roy, para ‘pelaku’ lebih memilih menjual ke pasar tradisional, karena alasan harga yang masih bisa dijual, di atas harga acuan Rp12.500/kg.

“Mereka lebih menguntungkan menjual ke pasar tradisional, dengan harga jual di sana itu Rp18.000-22.000/kg sekarang,” tutur Roy.

“Sementara kami, hanya Rp12.500/kg, harga kesepakatan kami sudah jelas, membeli dari pabrik gula sesuai dengan Permendag 58 adalah Rp11.900/kg, mereka jual ke kita Rp13.000-14.000/kg,” pungkas Roy.

Lantas, benarkah ada permainan harga?

Sebelumnya, tingginya harga gula juga menjadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Ia bahkan mengaku curiga, ada oknum yang memainkan harga.

Sebab, untuk gula sendiri, menurut pusat informasi harga pangan strategis (PIHPS), harga rata-rata nasional Rp17.650/kg.

Padahal, harga acuan yang ditetapkan pemerintah di konsumen adalah Rp12.500/kg.

Menjawab hilangnya 70 ribu ton stok gula dan kecurigaan permainan harga, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag, Kasan Muhri, angkat bicara.

Ia menjelaskan apa yang terjadi, soal ketersediaan gula saat ini. Masalahnya, kata Kasan, terletak pada distribusi.

Kemendag, telah memberi dua skema distribusi:

  • Dari produsen langsung ke ritel modern, dan
  • Dari produsen langsung ke distributor di pasar tradisional.

Distribusi di pasar tradisional inilah, yang menurut Kasan, memakan waktu cukup lama, hingga menjadi sulit ditemukan oleh masyarakat.

“Untuk distribusi sampai ke pengecer misalnya, dari distributor yang memperoleh gula, mereka perlu waktu untuk mengemas ke kemasan yang lebih kecil, dalam 1-2 Kg,” ujarnya.

“Nah, itu juga perlu waktu. Sehingga itu juga menjadi salah satu persoalan yang dikemukakan,” sambung Kasan, seperti dilansir Detik, Jumat(15/5).

Sementara perihal stok, Kasan menyampaikan, pemerintah telah mengupayakan agar memenuhi.

Hingga saat ini, lanjutnya, Kemendag telah menerbitkan izin impor untuk 533.972 ton raw sugar, yang akan diolah menjadi gula konsumsi.

Volume itu pun termasuk dengan impor raw sugar yang diolah menjadi gula rafinasi, serta di-alih fungsikan menjadi gula konsumsi.

“Tapi yang jelas, gula yang sudah di-impor dan yang ada, pertama yang sudah dikeluarkan izin impornya 533.972 ton, itu yang raw sugar,” kata Kasan.

“Lalu relokasi dari AGRI, yang termasuk dalam 533.972 ton itu,” imbuhnya.

Begitupun dengan impor GKP—gula siap konsumsi—sebanyak 150 ribu ton oleh tiga BUMN.

Perum Bulog, yang mendapatkan penugasan impor sebanyak 50 ribu ton GKP, saat ini telah merealisasikan 22 ribu ton di antaranya.

Sedangkan pada pekan depan, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero), juga akan merealisasikan impor tersebut.

“Nah, sehingga yang 150 ribu ton penugasan ke-3 BUMN itu, akan segera menjadi bagian dari pasokan gula untuk masyarakat,” jelas Kasan.

Terlepas dari itu, menurut Kasan, konsumsi gula di bulan Ramadhan dan menjelang Lebaran, memang selalu meningkat.

“Tapi juga ‘kan puasa lebaran, biasanya ada kenaikan konsumsi, yang juga menjadi perhatian kita,” tuturnya.

Meski demikian, Kasan memastikan, stok gula akan terus dipasok ke masyarakat, baik melalui ritel modern, pun pasar tradisional.

“Jadi, saya kira poinnya tidak semata-mata melalui ritel modern, dari produsen sudah disepakati langsung ke distributor dan pedagang pasar, yang ada di beberapa lokasi,” pungkasnya.

Baca Juga: Iuran BPJS Naik di Tengah Pandemi, Din Syamsuddin: Kezaliman yang Nyata

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Suhanto, pun ikut memberikan penjelasan.

Ia mengatakan, pihaknya melakukan evaluasi terkait volume gula rafinasi yang akan dipasok AGRI ke Aprindo.

“Jadi pemerintah, sesuai dengan rapat bersama, memutuskan, sudahlah, penugasan 160 ribu ton itu, kita gelontorkan saja ke ritel modern, dan harapannya juga distributor yang memasok ritel modern, memasok ke pasar tradisional, dua jalur,” kata Suhanto.

“Ternyata, di dalam perjalanannya, kita ‘kan evaluasi satu pekan setelah itu, kenapa kok ini belum bergerak? Rupanya packer atau distributor yang menyuplai ke ritel modern pun punya keterbatasan,” sambungnya, Jumat (15/5).

Maka dengan kondisi itu, Kemendag, mempertanyakan kemampuan Aprindo, menyerap gula rafinasi dalam sebulan.

Angka terakhir yang didapat, kemampuan dari peritel modern itu hanya 20 ribu ton per bulan.

“Setelah dihitung, kami mendapatkan angka dari Aprindo, bahwa ritel modern untuk bulan Mei, hanya mampu 20 ribu ton,” beber Suhanto.

Dengan perhitungan itu, Kemendag memutuskan, agar AGRI (dan juga Pabrik Gula PT Kebun Tebu Manis), memasok gula rafinasi ke ritel-ritel modern sebanyak 30 ribu ton.

“Kami untuk meyakinkan ritel modern, kalau komitmennya hanya 20 ribu ton, sudah, kita kesepakatan baru dengan para anggota AGRI, Anda kita kasih 30 ribu ton,” jelas Suhanto.

Keputusan diambil, karena pemerintah tak ingin ada stok berlebih di gudang distributor, jika kemampuan serap peritel hanya 20 ribu ton.

Maka sisa dari 30 ribu ton, di-arahkan Kemendag, untuk dipasok ke pasar tradisional.

“Sisanya kami minta lagi kepada AGRI, disalurkan melalui dua cara, pertama tetap bekerja sama dengan pedagang pasar melalui jaringannya, tetapi langsung ke pedagang pasar,” kata Suhanto.

“Cara kedua, AGRI kerja sama dengan para pengelola dan dinas-dinas seluruh Indonesia, melakukan operasi pasar,” sambungnya.

“Jadi bukan berarti Aprindo enggak dipenuhi, tapi enggak mampu untuk menyerap sebanyak itu (160 ribu ton),” jelas Suhanto.

Ia juga menegaskan, perubahan volume pendistribusian gula rafinasi dari AGRI ke Aprindo, bukan berarti stok gula hilang begitu saja.

Melainkan pemerintah, memang menyesuaikan dengan kemampuan dari peritel modern itu sendiri.

“Bukan menghilang, ada. Aprindo sendiri enggak akan mampu menjual segitu,” pungkas Suhanto.

Ketua AGRI, Bernardi Dharmawan, juga membantah apa yang disampaikan Aprindo.

Ia menegaskan, sejak awal tak ada kesepakatan agar AGRI memasok 160 ribu ton gula untuk Aprindo.

“Ada MoU-nya, ini untuk saya klarifikasi, bahwa tidak pernah ada kata-kata 160 ribu ton perjanjian AGRI dengan Aprindo, itu tidak benar,” tegas Bernardi, Jumat (15/5).

Soal 160 ribu ton gula rafinasi, lanjutnya, merupakan angka yang belum terdistribusi, masih ada di dalam gudang para produsen.

Dari angka tersebut, AGRI sendiri, juga hanya ada 145 ribu ton, karena 15 ribu ton lainnya, milik Pabrik Gula (PG) PT Kebun Tebu Mas (KTM).

Tetapi dari 145 ribu ton, 52 ribu ton di antaranya, sudah dibeli oleh para distributor, meski memang belum keluar dari gudang.

“Di rapat selanjutnya, saya klarifikasi setelah bahwa 145 ribu ton itu, bukan aslinya ada semua, sudah ada delivery order (DO),” kata Bernardi.

“Sudah ada 52 ribu ton yang sudah deal dengan distributor, itu ‘kan kita enggak boleh alihkan ke mana-mana dong,” jelasnya.

Ia menyatakan, masih ada 93 ribu ton gula rafinasi yang bisa dipasok untuk ritel modern.

Di mana dari stok tersebut, AGRI dan Aprindo, menandatangani kesepakatan distribusi atas 92.900 ton.

Namun, di akhir kesepakatan, AGRI, ditugaskan memasok gula rafinasi ke ritel-ritel modern hanya 25 ribu ton, dan KTM 5 ribu ton.

Angka itu disesuaikan dengan penugasan yang diberikan oleh Kemendag.

“Tanggal 4 Mei, diubah jadi 30 ribu, untuk disuplai AGRI dan KTM,” kata Bernardi.

Di akhir, ia kembali menegaskan, bahwa stok gula rafinasi yang ada di AGRI, tidak hilang.

Perubahan posisi stok terjadi, karena distribusi terus dilakukan, dalam upaya memenuhi kebutuhan pasar-pasar tradisional.

“Pada prinsipnya, kita mengikuti penugasan pemerintah,” pungkas Bernardi.