Kontrasnya Nasib Stafsus Presiden dengan Guru

Ngelmu.co – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menunjuk tujuh orang staf khusus (Stafsus)-nya, untuk periode 2019-2024. Namun, penghasilan mereka yang disebut-sebut akan menyentuh angka Rp51 juta per bulan, justru mengontraskan nasib para guru, terutama guru honorer.

Sebab rasanya, bukan rahasia lagi, jika begitu banyak guru, yang penghasilan jauh dari kata layak.

Apakah ini karena para guru menyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa?

Kemudian, mereka benar-benar tak di-upayakan mendapat hasil dari jerih payahnya?

Begini, peran Stafsus, yang disebut tidak definitif saja, bisa mengantongi gaji puluhan juta rupiah.

Mengapa guru, terlebih guru honorer, di pelosok-pelosok daerah Indonesia, masih ada yang sudah belasan tahun mengajar, tak jua mendapatkan hak-nya?

Seperti soal pengangkatan, hingga pembayaran gaji yang memakan waktu, meski nominalnya sangat kecil.

Penghasilan guru honorer, jauh di bawah angka Upah Minimum Regional (UMR).

Sudah sering diungkapkan, jika di antara mereka, ada yang hanya dibayar Rp150.000-Rp300.000 per bulan.

Sementara untuk gaji guru yang sudah berstatus PNS saja, untuk golongan III, dimulai dari terendah (III/a), yakni Rp2.579.400, hingga tertinggi (III/d), Rp4.797.000.

Sedangkan gaji PNS golongan IV terendah (IV/a) sebesar Rp3.044.300, dan tertinggi (IV/e) sebesar Rp5.901.200.

Salah satu contoh nyata adalah Nining Suryani.

Guru honorer SD Negeri Karyabuana 3, Pandeglang itu, terpaksa memanfaatkan toilet sekolah, untuk dijadikan tempat tinggal, karena tak rumah lamanya hancur.

Pendapatannya sebagai guru honorer sejak 2004 di sekolah itu, hanya sekitar Rp350 ribu, yang dibayarkan per tiga bulan.

Jelas, tak ada harapan untuk membetulkan rumah hancurnya. Maka, Ningsih, mau tak mau, tinggal di lingkup toilet sekolah.

Kebutuhan sehari-hari? Ia coba penuhi dengan berjualan makanan kecil ke murid-murid. Sementara suaminya, bekerja serabutan.

Baca Juga: Guru Tewas di Tangan Muridnya Sendiri yang Ditegur saat Merokok

Kisah guru honorer lainnya datang dari salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Fristy namanya. Ia mengaku berpenghasilan jauh di bawah UMR Kabupaten Bekasi.

Penghasilannya sebagai guru honorer, tergantung dari jumlah jam mengajar di sekolah tersebut.

Setiap jam pelajaran, pihak sekolah membayar Rp50 ribu, tapi Fristy tak boleh mengajar lebih dari 24 jam pelajaran, dalam sebulan.

Maka, upah rata-rata per bulan, Fristy hanya mendapatkan Rp1-1,2 juta.

Sedangkan Stafsus presiden?

Tak aneh rasanya, jika masyarakat akhirnya mengusulkan, agar ketujuh Stafsus milenial Jokowi, cukup digaji sesuai UMR.

Sementara angka Rp51 juta tadi, bisa dialokasikan untuk keperluan lain, yang lebih penting.

Seperti beberapa komentar warganet berikut ini:

Mbah Liem: Ilmu manajemen organisasi wis gak laku lagi. Tanpa tugas, tanpa ngantor, udah bisa dapat gaji Rp51 juta per bulan. Sungguh hebat nan kaya para pejabat negeri Wakanda.

Rahmat Putra: Mari memikirkan nasib guru honorer yang bisa mencerdaskan, daripada kita gila lihat Stafsus milenial di sebuah negeri dongeng, dengan gaji fantastis. yang tidak memiliki fungsi sama sekali.

Hanna Liza: Saya ingin tanya, apa sih pertimbangan pak Jokowi, mengangkat Stafsus tanpa bidang kerja, paruh waktu alias freelance, serta gaji fantastis mencapai Rp51 juta? Sementara banyak guru honorer dengan gaji minim, pekerjaan mereka sangat berat. Yakin mereka bisa menyelesaikan masalah negara?