Korupsi Bansos, Dua Politikus PDIP Diduga dapat Kuota Terbesar

Politikus PDIP Korupsi Bansos
Koran Tempo edisi Senin, 18 Januari 2021

Ngelmu.co – Dua politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), diduga mendapat kuota paling besar dari ‘proyek’ bantuan sosial (bansos) untuk wilayah Jabodetabek, di mana angkanya mencapai Rp3,4 triliun.

Diduga Memperoleh Jatah Terbesar

Keduanya adalah Herman Hery dan Ihsan Yunus, sebagaimana terlampir dalam laporan investigasi Koran Tempo, edisi Senin (18/1) kemarin.

“Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelidiki keterlibatan Herman Hery dan Ihsan Yunus, dalam kasus korupsi bansos 2020.”

“Dua politikus PDIP itu diduga memperoleh jatah terbesar dalam proyek pengadaan barang bantuan untuk masyarakat yang terdampak pandemi.”

“Sejumlah sumber yang mengetahui proses pengadaan bantuan, menyebutkan, Ketua Komisi Hukum DPR RI, Herman Hery, melalui sejumlah perusahaan, menguasai 7,6 juta paket [senilai Rp2,1 triliun].”

“Sedangkan Wakil Ketua Komisi VIII DPR [sebelum dicopot, kini menjabat anggota Komisi II DPR] Ihsan, memperoleh 4,6 juta paket [senilai Rp1,3 triliun].”

Keduanya Membantah

Sepanjang pekan lalu, KPK pun menyelidiki keterlibatan Herman dan Ihsan, dalam kasus korupsi bansos 2020 ini.

Pihaknya menggeledah kantor perusahaan yang terafiliasi dengan keduanya, seperti kantor milik keluarga Herman, di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan.

Begitu juga dengan rumah keluarga Ihsan, di Jalan Hankam Raya, Jakarta Timur.

Namun, sejauh ini, keduanya tegas membantah tudingan keterlibatan mereka dalam korupsi bansos.

“Omong kosong,” kata Herman, mengenai nilai kuota Rp2,3 triliun yang didapat perusahaannya.

Tetapi jika melihat penelusuran Tempo, untuk peran keduanya dalam pengadaan bansos, secara garis besar, Herman dan Ihsan, diduga berhubungan dengan Juliari Peter Batubara [Menteri Sosial, 2019-2020].

Sebagai informasi, Juliari resmi menjadi tersangka, usai anak buahnya ditangkap pada awal Desember 2020.

Berbagai Perusahaan yang Diduga Terlibat

Kembali ke Herman dan Ihsan. Di level operasional, kedua politikus itu diwakili ‘orang-orang’ mereka.

Pada Mei 2020, Teddy Munawar mewakili Herman, menemui Kepala Biro Umum Kemensos, Adi Wahyono; dan Sekretaris Direktorat Jenderal Perlindungan Jaminan Sosial Kemensos.

Ia, mengaku mewakili Grup Anomali, yang juga diutus oleh Herman, membicarakan pendistribusian kuota bantuan tahap ketiga.

Saat itu, Anomali, meminta 350 ribu paket [senilai Rp165 miliar], atas nama Hery [disetujui dan segera dibuatkan surat perjanjian jual-beli].

Adi, di bulan berikutnya, kembali memberikan kuota kepada Anomali, kali ini sebanyak 500 ribu paket.

Jatah perusahaan kembali meningkat untuk bantuan tahap 7-12, menjadi 1 juta paket per tahap [bantuan disalurkan ke Bodetabek].

Bukan hanya Anomali, perusahaan lain yang juga diduga terafiliasi dengan Herman adalah PT Integra Padma Mandiri.

Integra, pada Oktober 2020, diduga mendapat proyek ‘receh’, pengadaan masker dan cairan pembersih tangan yang nilainya mencapai Rp8 miliar.

KPK Menggeledah

Ada juga dua perusahaan di bawah Grup Anomali yang memasok barang bansos.

PT Anomali Lumbung Artha dan PT Famindo Meta Komunika.

Teddy, tercatat sebagai pemilik saham Anomali Lumbung Artha, sekaligus komisaris Famindo, dan juga tercantum pada akta PT Mesail Cahaya Berkat.

Anomali Lumbung Artha mendapat 1,5 juta paket, sementara Famindo memperoleh 1,23 juta paket, dan Mesail kebagian jatah 250 ribu paket.

Imbasnya, KPK menggeledah ketiga kantor perusahaan itu, dan memeriksa Teddy, pekan lalu.

Meski Tempo, telah berusaha mengonfirmasi terkait hal ini kepada Teddy, tetapi yang bersangkutan belum membalas.

Selain Anomali, masih ada beberapa perusahaan lain yang juga diduga terhubung dengan Herman.

Menurut seorang sumber, perusahaan-perusahaan tersebut kemudian terhubung dengan perusahaan milik Hery, PT Dwimukti Graha Elektrindo.

Perusahaan itulah yang kemudian diduga menjadi penyedia utama barang.

Pada Jumat (8/1) lalu, KPK, pun menggeledah kantor Dwimukti, di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan, dan mendapatinya dalam keadaan kosong.

Herman Mengaku Tak Kenal Teddy

Menurut beberapa sumber, kantor itu memang dikosongkan sehari pasca operasi penangkapan KPK terhadap pejabat pembuat komitmen, Matheus Joko Santoso, awal Desember 2020.

Di sisi lain, Herman, membantah pernah mengutus Teddy, menemui kedua pejabat Kemensos.

Ia juga mengaku, tidak mengenal Teddy, “Saya enggak kenal. Urusan pengusaha, ya, dengan pengusaha.”

Meskipun demikian, Herman, mengakui Dwimukti berhubungan dengan Anomali.

Ia mengatakan, perusahaannya menjadi penyedia bantuan, setelah mengikat kontrak dengan Grup Anomali [ia menunjukkan bukti kontrak kepada Tempo saat wawancara, tapi meminta untuk tidak dipublikasikan].

“Hubungan Dwimukti dan Anomali, murni urusan bisnis. Mereka mengajukan surat penawaran pada 24 Juli, lalu keluar kontrak,” kata Herman.

Ia juga membantah, telah mengatur proyek bansos. Herman, hanya mengaku Juliari, pernah mengajaknya berdiskusi soal bantuan yang berjalan lambat, sehingga Presiden Joko Widodo, menegur.

“Jangan lupa harga barang di pasar naik, karena ada permintaan besar,” ujarnya.

Baca Juga: Menilik Total Rupiah dari Isi Tas Bansos Kemensos yang Dikorupsi Juliari

Sementara pengacara Adi Wahyono, Sirra Prayuna, mengatakan, “Saya belum bisa menjawab pertanyaan, karena justru baru mendengar dari Anda soal ini.”

Ihsan Sebut Berita Ini Fitnah

Bagaimana dengan Ihsan? Ia, disebut-sebut mendapat kuota jumbo, dan berhubungan dengan para pejabat Kemensos, melalui dua perwakilannya [Yogas dan Muhammad Rakyan Ikram–adik Ihsan].

Ihsan, memang sudah biasa terlibat dalam proyek di Kemensos, seperti proyek pengadaan tenda untuk keperluan pertolongan bencana alam.

Namun, proyek dalam bendera ‘Kemensos Hadir’, dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Sosial.

Perusahaan Ihsan, disebut mendapat proyek 200 ribu tenda [senilai Rp40 miliar].

Melalui sejumlah perusahaan, Ihsan, mendapat 4,6 juta paket untuk bantuan sosial [nilainya mencapai Rp1,3 triliun].

Ia, melibatkan beberapa perusahaan, antara lain PT Andalan Pesik Internasional, PT Bumi Pangan Digdaya, PT Mandala Harmoni, dan PT Pertani.

Perusahaan-perusahaan itu merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan diduga hanya memperoleh fee dari pemakaian bendera.

“Sebagian tidak memiliki modal cukup untuk menggarap kuota dalam jumlah besar,” kata seorang sumber yang mengetahui proyek pengadaan bantuan ini.

Tetapi lagi-lagi, Ihsan, membantah terlibat dalam proyek bansos, “Enggak benar. Itu fitnah,” jawabnya.

KPK Belum Mau Berkomentar Banyak

Bagaimana dengan KPK? Lembaga anti rasuah itu telah menggeledah rumah sang adik, Ikram, di kawasan Cipayung, Jakarta Timur.

Begitu pun dengan kediaman Yogas, di Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat, dan kantor perusahaan yang terafiliasi dengannya.

Tempo, sudah menghubungi nomor kontak PT Mandala dan PT Bumi Pangan Digdana, tetapi tidak ada jawaban.

Sedangkan Komisaris Utama Pertani sekaligus Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial, Asep Sasa Purnama, tidak merespons panggilan telepon Tempo.

Soal ini, Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri, belum mau berkomentar banyak.

Tetapi ia memastikan, akan memeriksa pihak-pihak yang diduga berkaitan dengan kasus suap bansos.

“Kami memastikan siapa pun yang diduga mengetahui rangkaian peristiwa perkara ini, tentu akan kami panggil sebagai saksi,” kata Ali, mengutip IDN Times, Senin (18/1).

“Pemanggilan seseorang sebagai saksi dalam penyelesaian perkara tentu karena ada kebutuhan penyidikan,” imbuhnya.

Segala informasi yang berkembang saat ini, lanjut Ali, pasti akan dikonfirmasi kepada para saksi, tetapi ia, tidak mau membeberkan lebih jauh apa yang penyidik KPK dalami.

“Terkait materi penyidikan, tidak bisa kami sampaikan kepada masyarakat secara detail. Nanti pada waktunya akan dibuka di depan persidangan,” jelas Ali.

Sejauh Ini Sudah Ada 5 Tersangka

KPK telah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus.

Sebagai pihak terduga penerima, Juliari Batubara dan [dua pejabat PPK Kemensos] Matheus Joko Santoso serta Adi Wahyono.

Ada juga pihak swasta sebagai terduga pemberi, Ardian Iskandar Maddanatja dan Harry Sidabuke.

Ketika operasi tangkap tangan (OTT), KPK, mengamankan barang bukti uang Rp14,5 miliar dengan pecahan mata uang rupiah dan asing.

Uang itu tersimpan di dalam tujuh koper, tiga tas ransel, dan amplop kecil.

Kasus ini berawal dari adanya pengadaan bansos penanganan COVID-19 berupa paket sembako di Kemensos, pada 2020 [senilai Rp5,9 triliun].

Kemudian terdapat 272 kontrak yang dilaksanakan dengan dua periode.

Juliari, menunjuk Matheus dan Adi Wahyono, sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk melaksanakan proyek tersebut.

Lalu, mereka menunjuk langsung para pihak yang menjadi rekanan.

“Dan diduga, disepakati, ditetapkan, adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kemensos, melalui MJS (Matheus).”

“Untuk fee tiap paket bansos, disepakati oleh MJS, dan AW (Adi), sebesar Rp10 ribu per paket sembako, dari nilai Rp300 ribu per paket bansos.”

Demikian jelas Ketua KPK, Firli Bahuri, dalam konferensi pers di kanal YouTube KPK, Ahad (6/12/2020) lalu.

Perlu diketahui, sejak Mei-November 2020, Matheus dan Adi, membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa pemasok sebagai rekanan.

Di antaranya Ardian, Harry, dan juga PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) [diduga milik Matheus].

Penunjukkan PT RPI–sebagai salah satu rekanan–juga diduga diketahui oleh Juliari, dan disetujui Adi Wahyono.

Selain itu, Juliari, juga diduga menerima suap sebesar Rp17 miliar.

Ia, diduga menerima uang sebesar Rp8,2 miliar pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama.

Sedangkan pada periode kedua, Juliari, diduga menerima uang sebesar Rp8,8 miliar.