Kritik dari Senator Sumbar untuk Puan Maharani

Sumbar Kritik Puan Maharani

Ngelmu.co – Anggota DPD RI asal Sumbar, Emma Yohanna, mengkritik Puan Maharani, atas pernyataan, ‘Semoga Sumatra Barat jadi provinsi pendukung negara Pancasila’. Ia mengaku, tak nyaman dengan apa yang disampaikan Ketua DPP PDIP itu.

“Secara pribadi maupun sebagai anggota DPD RI asal Sumatra Barat, tentu saja, saya tidak nyaman dengan pernyataan itu,” tuturnya.

“Karena terkesan masih meragukan komitmen Sumatra Barat, terhadap negara Pancasila,” sambung Emma, di Padang, seperti dilansir Detik, Kamis (3/9).

Ia juga merasa, pernyataan Puan, telah memosisikan Sumbar, sebagai pendatang baru di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

“Pernyataan itu telah memosisikan Sumbar, sebagai komunitas baru di Indonesia,” ujarnya.

“Pertanyaan saya, Bung Hatta, yang selalu bahu-membahu dengan Bung Karno, untuk memerdekakan negeri ini, sesungguhnya siapa?” tanya Emma.

Ia pun menegaskan, Pancasila di Sumbar, bukan sekadar komoditas politik.

Sebab, keseharian masyarakat Sumbar yang dihuni oleh mayoritas etnis Minang, sudah mengimplementasikannya dengan sungguh-sungguh.

“Kami di Sumbar ini, tidak ada yang merasa lebih Pancasilais. Kenapa? Ya, karena Pancasila itu sudah ibarat pakaian harian kami,” jelas Emma.

“Bahkan, sebelum Pancasila ini dirumuskan oleh Bung Karno, etnis Minang, sudah mengamalkan Pancasila itu dalam kehidupan sehari-hari,” imbuhnya.

Baca Juga: Politikus PDIP Sebut Sumbar Berubah Total Setelah 10 Tahun Dipimpin PKS

Maka itu, Emma mengingatkan Puan, agar lebih komprehensif dalam melihat posisi Sumbar pada perspektif sejarah Indonesia, saat ini, pun masa depan.

“Pelajari sejarah, apa dan bagaimana peran para tokoh nasional asal Sumbar, untuk memerdekakan Negeri ini,” pesannya.

“Sehingga akan lebih bijak menilai daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Ingat, Bukittinggi, sebagai salah satu kota di Sumbar, pernah jadi Ibu Kota Negara Pancasila ini,” kata Emma.

Dalam konteks reformasi bahkan, Emma, punya catatan sendiri soal sejumlah bupati di wilayah provinsi Sumbar, yang bukan putra asli daerah.

“Pada era reformasi sekarang, hal biasa bagi kami ada pemenang pilkada bupati yang bukan asli daerah,” akuannya.

“Apa itu tidak Pancasilais? Pertanyaan saya, apa itu pernah terjadi di daerah pemilihannya?” pungkas Emma.