Kritik Langkah Jokowi Pindahkan Ibu Kota, Sherly Annavita Jadi Sorotan

Sherly Annavita Jadi Sorotan

Ngelmu.co – Sosok milenial Sherly Annavita jadi sorotan, usai menjadi salah satu pembicara di acara Indonesia Lawyers Club (ILC), TVOne, Selasa (20/8) malam.

Membahas tema, ‘Perlukah Ibu Kota Dipindahkan’, Sherly berani mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sebelumnya, Jokowi menyampaikan rencana pemindahan ibu kota ke wilayah Kalimantan, saat Sidang Bersama DPD-DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8) lalu.

Malam itu, acara yang dipandu oleh Karni Ilyas, menghadirkan:

Penulis, Prof Salim Said; Budayawan, Ridwan Saidi; Pengamat, Rocky Gerung; Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor; Politisi PDIP, Maruarar Sirait; Politisi Gerindra, Fadli Zon; Politisi PKS, Fahri Hamzah, Politisi PSI, Tsamara Amany; Politisi Nasdem, Teuku Taufiqulhadi; Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP), Eko Sulistyo; dan Pengamat Tata Kota, Yayat Supriatna.

Berani Sampaikan Kritik, Sherly Annavita Jadi Sorotan

Sherly Annavita jadi sorotan, karena influencer muda itu, berani menyampaikan kritik kepada Jokowi, terkait rencana pemindahan ibu kota tadi.

Di awal pemaparannya, Sherly menyampaikan pandangannya terkait rencana pemindahan ibu kota, dari perspektif kalangan milenial.

“Boleh dong, milenial ikut memberikan pendapat dan pandangannya?” tutur Sherly.

“Kami sebagai milenial mencoba untuk terlibat aktif dalam isu-isu terkini, termasuk pembangunan. Karena mau tidak mau, suka tidak suka, pada akhirnya kebijakan presiden ini akan berpengaruh kepada kami nanti,” lanjutnya.

Meski pemindahan ibu kota bukan wacana baru, tetapi empat alasan utama yang disampaikan Jokowi, mendapat perhatian tersendiri dari Sherly.

“Alasan utama Presiden yang sama-sama kita saksikan di awal program ini, setidaknya ada empat hal yang ingin saya highligt Pak Karni, yang pertama alasannya terkait banjir, macet, polusi, dan perataan tanah,” ujarnya.

Menurut Sherly, alasan yang disampaikan Jokowi itu, justru menohok kapasitasnya sebagai pemimpin.

“Alasan ini, sebenarnya sedikit besarnya, menohok kapasitas Pak Jokowi sendiri dalam memerintah,” kata Sherly.

“Karena bukankah salah satu program besar Pak Jokowi saat itu, mencalonkan diri menjadi Gubernur dan Presiden adalah tentang penanganan semua keruwetan Jakarta, yang di dalamnya termasuk macet, banjir, polusi, dan lain-lain,” sambungnya.

Pindah Ibu Kota adalah Bentuk Konfirmasi Kegagalan Jokowi

Maka alasan tersebut, dinilai Sherly, secara tidak langsung menjadi pembenaran, jika presiden telah gagal memenuhi janji kampanyenya.

“Maka seolah beliau sedang mengonfirmasi kegagalannya dalam memenuhi janji kampanye beliau saat Pilgub dan Pilpres,” ucap Sherly.

“Atau kegagalan beliau sebagai seorang gubernur dan presiden?” imbuhnya yang disambut tepuk tangan.

Pemerataan pembangunan yang juga dijadikan alasan Jokowi memindahkan ibu kota, juga mendapat kritik dari Sherly.

“Kedua, alasan pemerataan pembangunan. Jangan sampai alasan ini justru memicu konflik baru, kecemburuan sosial, dari provinsi-provinsi lainnya,” jelasnya.

“Karena saya pikir kalau alasan ini yang digunakan, seharusnya akan lebih bermanfaat, warga Aceh atau warga Papua yang merasakan pemindahan ibu kota tersebut,” lanjut Sherly.

Pemindahan Ibu Kota Butuh Dana yang Tak Sedikit

Sherly Annavita jadi sorotan, juga karena ia menyuarakan, pemindahan ibu kota bukanlah hal yang mendesak.

“Dana Rp466 triliun (untuk memindahkan ibu kota) itu bukan dana yang kecil, kalau berdasarkan kami milenial membaca, sumber-sumbernya kurang lebih dari jual aset, kemudian kemungkinan utang lagi,” ungkapnya.

“Sementara di sisi lain, ada banyak sekali pekerjaan lain yang sangat mendesak untuk dilakukan. Lapangan kerja untuk pengangguran misalnya, atau masalah BPJS, BUMN yang terancam bangkrut seperti Garuda, PLN, Krakatau Steel, dan lain-lain,” tegas Sherly.

Ia tak ingin, pemindahan ibu kota justru mengesampingkan sesuatu yang justru seharusnya menjadi poin utama.

“Kemudian yang keempat sekaligus yang terakhir, alasan kondisi keuangan negara kita yang cukup mengkhawatirkan,” kata Sherly.

“Meskipun milenial masih harus banyak belajar dari para senior kami di sini, tapi kita tahu dan sadar, bahwa kita (Indonesia) tidak sedang baik-baik saja,” tuturnya.

Sherly pun menjabarkan, di tahun 2019 ini, diperkirakan utang Indonesia (bunganya saja) telah mencapai Rp275 triliun.

“Artinya, Pak Jokowi, dalam lima tahun ini, berutang sangat banyak, kalau kita kalkulasikan, ini mendekati satu hari (berutang) Rp1 triliun, jika ini terus bertambah dan bertambah,” tuturnya.

“Bayangkan, dalam satu hari Indonesia harus membayar bunga utang Rp1 triliun?” lanjut Sherly bertanya.

Menurutnya, uang Rp1 triliun, akan menjadi sangat bermanfaat, jika bisa di-alokasikan untuk kesehatan, pendidikan, kepastian kesejahteraan honorer, dan lain-lain, yang sifatnya jauh lebih menguntungkan masyarakat.

“Sehingga dengan semua argumen tadi, saya pikir, kesimpulannya, memindahkan ibu kota, membangun ibu kota baru, rasanya itu belum perlu Pak Karni,” tegasnya.

“Solusinya adalah tetap kembali pada asas efektivitas, efisiensi, ciptakan lapangan kerja, berantas KKN sampai ke akar-akarnya. Dan yang paling penting adalah kembali tegakan Undang-Undang Pasal 33 itu, dengan murni dan konsekuen,” tambah Sherly.

Meski mengkritik kinerja Jokowi, di akhir pembicaraannya, Sherly tak lupa melayangkan doa untuk Presiden ke-7 RI itu.

“Sungguh indah burung yang terbang, hinggap lah ia di atas batu. Kalau ucap pemimpin tak lagi bisa kita pegang, kepada siapa kita harus mengadu?” ujarnya berpantun.

“Saya doakan Pak Jokowi, bisa lebih baik, lebih peka lagi dengan kebutuhan rakyat, dimampukan oleh Tuhan yang Maha Kuasa, untuk melunasi janji-janji kampanyenya selama ini,” pungkas Sherly.

https://youtu.be/ctm9BLjq7xo