Luhut Ajak Pengkritik Utang Negara Bertemu, Dosen Senior UI Menyanggupi

Dosen Senior UI Luhut Utang Negara

Ngelmu.co – Menjadi salah satu yang tak setuju dengan ‘utang negara’, dosen senior dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Dr Djamester Simarmata, menerima ajakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, untuk bertemu.

Hal ini disampaikan lewat akun Twitter pribadinya, @DSimarmata, seperti dikutip Ngelmu, Kamis (4/6).

“Caranya gimana? Saya termasuk yang tidak setuju (utang). Tolong ditentukan waktunya, saya persiapkan bahan!” tegasnya.

Dilansir RMOL, Djamester menjelaskan, kritik yang ia sampaikan selama ini, mengarah kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani.

“Saya kasih banyak kritik di Twitter ke Menkeu, saya tidak pernah langsung ke Menko Luhut,” tuturnya.

“Tapi karena Pak Luhut, undang (pengkritik) orang seperti itu, jadi saya anggap, saya masuk yang dimaksud,” sambung Djamester.

Terlepas dari itu, ia memang dikenal sebagai sosok yang kerap mengkritik sejumlah teori ekonomi, yang dinilainya tidak tepat; nasional pun internasional.

Sebelumnya, Djamester juga tegas menentang, wacana cetak uang secara Modern Monetary Theory (MMT) yang disampaikan Mardigu Wowiek.

“MMT Mardigu itu bukan teori yang betul. Itu tidak betul, cetak uang sebesar apa pun bisa. (Sebab) Ada batasnya,” tegasnya.

Djamester juga menolak, sejumlah utang luar negeri, hanya demi membiayai pembangunan.

Mengutip teori pembangunan yang dikembangkan Joseph Schumpeter, ia menyampaikan, jika pembangunan tak perlu harus dengan pinjam uang.

Teori ini, lanjut Djamester, telah berhasil dikembangkan oleh Jerman dan Cina, yang tidak berutang saat kekurangan dana.

Lebih lanjut ia mengaku, telah memberikan paper soal penolakan utang, kepada Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara.

“Saya kirim ke dia, pernah ditanggapi sekali. (Saya bilang) jangan lagi pinjam utang. (Dijawab) terus gimana kalau enggak utang. (Saya balas) cari cara lain,” bebernya.

“Jadi saya ingin angkat teori-teori ekonomi yang sebetul-betulnya. Sasaran awal kritik saya itu, ke Menteri Keuangan,” jelas Djamester.

Ia pun menegaskan, jika dirinya tidak setuju dengan rasio utang yang diperbolehkan hingga 60 persen PDB.

Penolakan itu, ia sampaikan, dengan menerbitkan Jurnal Ekonomi, tahun 2007 lalu.

“Di situ saya hitung, tingkat utang sustainable 29,2 persen PDB, total utang dalam negeri dan luar negeri,” ujarnya.

“Kemkeu anggap itu hanya ULN. Data 2019 total utang DN+LN telah lebih dari 60 persen,” imbuh Djamester.

Rasio utang hingga 60 persen PDB, tuturnya, tidak cocok dengan Indonesia.

Terlebih batas tersebut, diambil dari referensi zona euro, yang tingkat PDB-nya jauh dari Indonesia, serta tingkat ekonominya pun lebih efisien.

“Jadi ini tidak bisa diperbandingkan antara zona euro dengan zona kita,” kata Djamester.

“Intinya, kritik saya ilmiah,” pungkasnya.