Opini  

Maju Kotanya, Terancam Warganya

 

Ya, itu plesetan dari tagline Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan: “Maju Kotanya Bahagia Warganya”. Mudah dipahami frasa “Maju Kotanya”. Memang Jakarta merupakan kota termaju di Indonesia. Kecuali di mata pendukung Ahok yang belum move on, bagi mereka Jakarta sekarang mendadak suram dan terpencil.

Bagaimana dengan “Bahagia Warganya”? Tentu maksudnya adalah harapan-harapan warga Jakarta terpenuhi akan hunian yang nyaman, infrastruktur yang terawat dan berkembang, dan sebagainya. Jangan lupa, warga juga berharap pemimpin yang sholeh dan berintegritas baik.

Lalu bagaimana bila tiba-tiba rakyat Jakarta disodorkan pemimpin yang mantan terpidana kasus korupsi? Maka frasa “Bahagia Warganya” bisa berganti menjadi “Kecewa Warganya”.

Belum lama ini warga antusias untuk mengganti pemimpin yang punya kasus Sumber Waras. Hanya memang, di tangan aparat, kasus itu ada keajaiban. Dalih “tak ada niat buruk” menjadi penyelamat bagi orang yang harusnya bertanggung jawab.

Warga menginginkan pemimpin yang bersih dan berintegritas. Punya rekam jejak yang baik. Makanya mereka memilih pasangan Anies-Sandi. Berharap tak ada lagi kasus korupsi. Eh, tiba-tiba setelah kursi wakil Gubernur kosong ditinggal Sandi yang maju menjadi kandidat wakil presiden RI, masyarakat Jakarta disodorkan orang yang punya rekam jejak merugikan uang negara.

Anies Baswedan terkenal sebagai seorang pegiat anti korupsi. Ia pernah menjabat Ketua Komite Etik KPK. Diangkat pada tahun 2013 lalu. Pada 3 Januari 2018, ia membentuk Komite Pencegahan Korupsi DKI Jakarta. Bisa dibayangkan bila ia bersanding dengan seorang koruptor?

Para pemilih di Jakarta kemarin juga menginginkan pemimpin muslim yang sholeh. Terserah dibilang SARA, tapi itulah preferensi politik yang sebenarnya sah-sah saja.

Namun kini, selain terancam mendapat pemimpin koruptor, pemilih Anies-Sandi juga ada kemungkinan mendapat pemimpin non muslim. Lalu bagaimana bisa bahagia bila harapan di kotak suara kemarin tak terpenuhi?

Ya, ancaman kekecewaan masyarakat Jakarta itu ada di tangan Prabowo. Kalau mantan Danjen Kopassus tersebut menyodorkan koruptor atau politisi non muslim kepada warga Jakarta, tentu itu hal yang mengecewakan.

Seharusnya pengalaman Jokowi & Ahok bisa memberi pelajaran kepadanya. Tentang bagaimana memilih orang yang akan “dibesarkan”. Ia yang pernah berkhianat kepada rakyat, mengapa masih diberi kepercayaan? Padahal sudah ada yang menjadi partner politik setia dan berintegritas, dan Prabowo sudah bahwa mereka adalah sekutu, mengapa bukan dari kalangan itu ia memilih orang untuk Jakarta?

Zico Alviandri