Mardani Ali Sera Kecam Penganiayaan Jurnalis Tempo di Surabaya

Jurnalis Tempo Nurhadi Angin Prayitno Aji
Mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Angin Prayitno Aji.

Ngelmu.co – Anggota DPR RI Komisi II Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, mengecam keras penganiayaan terhadap jurnalis Tempo Nurhadi, di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (27/3) lalu.

“Saya mengecam kekerasan yang menimpa jurnalis @tempodotco,” cuitnya, melalui akun Twitter, @MardaniAliSera, Selasa (30/3).

“Beliau mengalami penganiayaan saat melaksanakan tugas pers. Kejadian yang terjadi saat meliput kasus korupsi pejabat,” sambung Mardani, menjelaskan.

Kegiatan Pers Dilindungi

Lebih lanjut Mardani menegaskan, bahwa kegiatan pers dilindungi, “Siapa pun yang menghalangi, dapat dikenakan hukuman.”

Ia juga menilai, peristiwa semacam ini sebagai bentuk menghalangi kegiatan jurnalistik.

Sekaligus melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“[Penghalangan terhadap kegiatan jurnalistik] Baik dalam memperoleh, mencari serta menyebarluaskan informasi,” jelas Mardani.

“Pihak kepolisian harus mengusut tuntas kasus ini,” tegasnya.

Kapolri dan jajarannya, kata Mardani, juga harus melindungi jurnalis yang sedang menjalankan kegiatan jurnalistik.

“Semata agar terjaminnya hak publik untuk tahu serta memperoleh informasi yang akurat, mengenai berbagai isu yang penting bagi masyarakat luas,” tuturnya.

Penganiyaan tersebut, sambung Mardani, telah menambah catatan buruk kekerasan terhadap jurnalis.

“Setidaknya, LBH Pers mencatat, di 2020, terjadi 117 kasus kekerasan terhadap wartawan serta media,” ujarnya.

Angka ini, imbuhnya, meningkat 32 persen, jika dibandingkan pada 2019 yang mencatat 79 kasus.

“Masih di tahun 2020, Indonesia juga mencatat rekor tertinggi angka kekerasan terhadap jurnalis –tercatat oleh @AJIIndonesia,” jelas Mardani.

Di mana ada 83 pelaporan kekerasan, sementara pada Maret 2021, telah terjadi tiga kasus kekerasan, termasuk yang dialami oleh Nurhadi.

LPSK [Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban] hingga Komnas HAM, kata Mardani, perlu melindungi korban dari ancaman kekerasan lebih lanjut.

“Serta mengawal proses hukum atas kasus ini,” pintanya.

“Perlu diingat, Indonesia sudah menyatakan komitmennya untuk terbuka terhadap pers, sejak reformasi,” imbau Mardani.

Mengingat Kembali Kasus Udin

Maka itu, ia menyebut, pentingnya mengedepankan langkah-langkah preventif demi mencegah terulangnya kejadian serupa.

“Sangat mahal harga yang dibayar bangsa ini untuk melahirkan pers yang bebas, melalui reformasi serta demokrasi yang kian terlembaga,” kata Mardani.

“Jangan dirusak, karena tindakan tersebut, jelas membuat kita mundur ke belakang,” tegasnya.

Mardani pun mengingatkan soal kasus yang menimpa Udin, jurnalis surat kabar harian BERNAS, Yogyakarta, yang dibunuh pada 1996 silam.

“Ingat? Udin kehilangan nyawa akibat ‘vokal’ memberitakan rezim saat itu,” bebernya.

“Kebebasan pers masih memiliki pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan, dan Udin, mengingatkan kita akan hal itu,” pungkas Mardani.

Baca Juga: Pemred Suara Kecam Penyeretan Terhadap Jurnalisnya saat Liput Demo Omnibus Law

Sebelumnya diberitakan, jurnalis Tempo Nurhadi, mengalami penganiayaan di Surabaya, saat menjalankan penugasan dari redaksi Majalah Tempo, Sabtu (27/3) malam lalu.

Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Wahyu Dhyatmika, pun menjelaskan.

Saat itu, Nurhadi, sedang mengonfirmasi mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Angin Prayitno Aji.

Sebab, sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Angin, sebagai tersangka dalam kasus suap pajak.

“Penganiayaan terjadi, ketika sejumlah pengawal Angin Prayitno Aji, menuduh Nurhadi, masuk tanpa izin ke acara resepsi pernikahan anak Angin [di Gedung Graha Samudra Bumimoro (GSB), di kompleks Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan laut (Kodiklatal) Surabaya].”

Pada kesempatan itu, lanjut Wahyu, Nurhadi juga telah menjelaskan, dirinya sedang menjalankan tugas jurnalistik sebagai wartawan Tempo.

Namun, pengawal Angin, tetap merampas telepon genggam Nurhadi, dan memaksa untuk memeriksa isinya.

“Nurhadi juga ditampar, dipiting, dipukul di beberapa bagian tubuhnya,” ungkap Wahyu.

“Untuk memastikan Nurhadi, tidak melaporkan hasil reportasenya. Ia juga ditahan selama dua jam, di sebuah hotel, di Surabaya,” jelasnya.

Maka Wahyu pun mengutuk penganiayaan tersebut, dan menyebutnya sebagai serangan terhadap kebebasan pers.

Peristiwa itu juga melanggar KUHP serta Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

“Tempo mengutuk aksi kekerasan tersebut, dan menuntut semua pelakunya diadili, serta dijatuhi hukuman sesuai hukum yang berlaku,” kata Wahyu.

Kekerasan ini, baginya, juga merupakan tindak pidana yang melanggar setidaknya dua aturan.

Pasal 170 KUHP [mengenai penggunaan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang atau barang], dan Pasal 18 ayat 1 UU Pers tentang tindakan yang menghambat atau menghalangi kegiatan jurnalistik.

Di mana ancaman hukuman untuk pelanggaran tersebut seberat-beratnya adalah lima tahun enam bulan penjara.

Korban Langsung Melapor

Nurhadi sendiri, telah melaporkan penganiayaan terhadap dirinya ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Kepolisian Daerah Jawa Timur, Jalan Ahmad Yani Surabaya, Ahad (28/3).

Polisi menerima laporan dengan nomor TBL-B/176/III/RES.1.6./2021/UM/SPKT Polda Jatim.

Adapun terlapor dalam perkara ini merupakan oknum polisi bernama Purwanto dkk.

Pihaknya dilaporkan, melanggar Pasal 170 KUHP dan atau Pasal 351 KUHP dan atau Pasal 335 KUHP dan atau Pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Tim hukum dari LBH Lentera, LBH Surabaya, dan Konstras [Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan] Surabaya juga turut mendampingi Nurhadi, saat melapor.

Sementara AJI Surabaya, organisasi tempat Nurhadi bernaung, juga turut mengadvokasi kasus tersebut.

Setelah di-BAP selama kurang lebih tiga jam, Nurhadi, langsung menjalani visum di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jawa Timur.

Salah satu tim kuasa hukum dari LBH Lentera Beryl Cholif Arrachman, menegaskan bahwa tindak kekerasan pada wartawan yang sedang menjalankan tugas, harus diusut tuntas.

Ia, mendesak atasan terlapor, yakni Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Nico Afinta untuk menindak tegas anak buahnya.

“Agar tidak menjadi preseden buruk, serta tidak membuat polisi arogan,” ujar Beryl.

Kontras dan LBH Lentera juga akan terus memastikan keselamatan Nurhadi dan istrinya, pasca pelaporan, seperti menyediakan rumah aman.

“Kami menyediakan rumah aman, tinggal korban maunya bagaimana,” kata pihak Kontras Surabaya Fatkhul Khoir.

‘Mereka Bilang Tak Gentar…’

Pada Sabtu (27/3) malam itu, Nurhadi mengaku ditangkap dan dibawa ke Musholla–belakang Gedung Graha Samudra Bumimoro.

Di tempat itu, ia menerima tamparan, jambakan, sembari kakinya diinjak. Nurhadi juga dipukul tengkuk serta bibirnya, dan dipiting.

Menurutnya, pelaku penganiayaan itu adalah dua oknum polisi, serta sejumlah pengawal Angin.

Polisi melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) kasus dugaan kekerasan terhadap Jurnalis Tempo Nurhadi yang diduga dilakukan oleh oknum aparat di area Graha Samudera Bumimoro, Surabaya, Jawa Timur, Senin (29/3/2021). Foto: Antara/Didik Suhartono.

“Mereka bilang, tak gentar bila ada serangan balik dari opini kawan-kawan media akibat penganiayaan itu,” tutur Nurhadi.

Pelaku juga merampas ponselnya, kemudian menghapus isi serta mematahkan kartunya.

Bahkan, Nurhadi sempat disekap selama dua jam, di Hotel Arcadia, di kawasan Jembatan Merah.

Keterangan lebih lanjut dari pihak Tempo adalah pelaku memberi Nurhadi, uang Rp600 ribu.

Tujuannya adalah untuk tutup mulut. Namun, jelas ditolak oleh korban.

Pelaku yang mengaku dari Satuan Pembinaan Masyarakat itu juga mengantar Nurhadi pulang ke Sidoarjo.