Melawan Rencana Revisi Peraturan Sektor Minerba Oligarkis

Melawan Rencana Revisi Peraturan Sektor Minerba Oligarkis

Ngelmu.co – Ribuan triliun rupiah aset rakyat akan dicaplok. Konspirasi berbagai pihak untuk mengubah peraturan perundang-undangan di sektor mineral dan batubara (Minerba), dalam beberapa pekan terakhir, semakin intens.

Perubahan berlangsung melalui tiga lini [modus] sekaligus, yakni:

  1. RUU Perubahan UU Minerba No. 4/2009,
  2. RPP Perubabahan ke-6 PP No. 23/2010, dan
  3. RUU Omnibus Law Cipta Kerja (CK) sektor Minerba.

Namun, saat ini perubahan sedang di-fokuskan membahas RUU Perubahan UU No. 4/2009, agar dapat di-undangkan pada April 2020.

Pemerintah dan DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) pembahasan revisi UU Minerba No. 4/2009, untuk menyelesaikan RUU tersebut, pada 13 Februari 2020.

Hanya dalam waktu 10 hari, Panja selesai membahas 938 daftar inventarisasi Masalah (DIM) yang sebelumnya telah disepakati.

Wakil Ketua Tim Panja RUU Minerba Komisi VII DPR, sekaligus Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto mengatakan:

“Sampai hari ini, RUU Minerba merupakan produk UU DPR tercepat. Kami selesai membahas 938 DIM pada Kamis malam,” tuturnya, Jumat (28/2/2020).

Biasanya, pembahasan DIM suatu RUU, bisa berbulan-bulan atau bahkan beberapa tahun.

Disebutkan, memang RUU Perubahan UU Minerba, merupakan RUU prioritas dalam Prolegnas 2015-2019 yang di-carry over dari DPR 2014-2019.

Namun, demikian jika pembahasan dapat diselesaikan dalam waktu super cepat, maka penyelesaian tersebut wajar dipertanyakan.

Dalam hal ini, dapat terjadi pelanggaran berbagai ketentuan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Sikap ugal-ugalan Panja Pemerintah-DPR membahas RUU Minerba, ditengarai tak lepas dari motif bernuansa moral hazard dan perburuan rente.

Oligarki penguasa pengusaha, berada di balik upaya yang melanggar konstitusi dan merugikan rakyat ini.

Target utama oligarki adalah memberi perpanjangan otomatis, dengan luas Wilayah Kerja  (WK) yang sama dengan saat ini, terhadap tujuh kontrak PKP2B generasi pertama, yang kontraknya berakhir dalam 1-3 tahun mendatang.

Padahal, sesuai ketentuan UU Minerba No. 4/2009 yang berlaku saat ini, para pemegang kontrak PKP2B, tidak berhak memperoleh perpanjangan kontrak secara otomatis.

Seluruh WK tambang yang tadinya dikelola kontraktor, harus dikembalikan kepada negara, dan seharusnya diserahkan kepada BUMN.

Di samping itu, seandainya pun para kontraktor memperoleh perpanjangan, setelah melalui proses tertentu, maka luas WK operasi produksinya dibatasi, hanya sampai 15.000 hektar.

Para kontraktror PKP2B, berikut investor dan pihak terkait, berada di belakang upaya gencar perubahan peraturan sektor Minerba.

Kontraktor-kontraktor dimaksud adalah:

  • PT Tanito Harum (kontrak berakhir pada 1/2019),
  • PT Arutmin Indonesia (11/2020),
  • PT Kaltim Prima Coal (12/2021),
  • PT Multi Harapan Utama (4/2022),
  • PT Adaro Indonesia (10/2022),
  • PT Kideco Jaya Agung (3/2022), dan
  • PT Berau Coal (9/2025).

Mereka ingin kembali mengangkangi aset rakyat tersebut, 20-30 tahun ke depan, meskipun selama ini telah menikmati hasilnya [sekitar 30 tahun].

Maka untuk mendukung niat para kontraktor, pemerintah menyatakan perubahan peraturan diperlukan, guna meningkatkan investasi, memberi kepastian berusaha, serta memberikan manfaat optimal bagi kepentingan nasional dan penerimaan negara.

Selain itu, dikemukakan pula pernyataan absurd, bahwa pendapatan negara berpotensi menurun, jika WK tambang tersebut dikelola BUMN. Kebohongan publik dan manipulasi informasi ini perlu diluruskan.

Profil Aset SDA Minerba

Sesuai informasi yang dirilis oleh Ditjen Minerba Kementrian ESDM (14/01/2020), aset SDA batubara nasional pada 2018 yang berstatus ‘sumberdaya’ adalah 151,4 miliar ton, dan berstatus ‘cadangan’ adalah 39,89 miliar ton.

Aset SDA sumberdaya akan berubah dari status menjadi cadangan, jika telah dilakukan kegiatan eksplorasi.

Setelah eksplorasi, umumnya volume cadangan selalu lebih rendah dibanding volume aset sumberdaya.

Dua pulau terbesar penyimpan sumberdaya dan cadangan batubara nasional adalah Kalimantan (63%) dan Sumatera (34%).

Dalam porsi yang kecil, batubara tersimpan di Papua dan Sulawesi.

Cadangan batubara dibedakan sesuai nilai kalorinya, yakni:

  • Kalori rendah (< 5.100 kcal per kilogram Gross As Received, GAR),
  • Kalori sedang ( 5.100 -6.100 kcal/kg GAR),
  • Kalori tinggi (6.100 – 7000 kcal/kg GAR), dan
  • Kalori sangat tinggi  (> 7.100 kcal/kg GAR).

Harga batubara acuan (HBA) Indonesia mengacu pada nilai yang ditetapkan pemerintah setiap bulan, sesuai Permen ESDM No. 7/2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara.

HBA merupakan harga yang diperoleh dari rerata Indeks Bulanan Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt’s 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal per kilogram GAR, total moisture 8%, total sulphur 0,8% as received (ar), dan ash 15% (ar).

Dalam 10 tahun terakhir, HBA berubah dari sekitar US$ 77/ton pada Januari 2010, menjadi sekitar US$ 66/ton pada Desember 2019.

HBA terendah adalah US$ 50/ton, terjadi pada Februari 2016, sedangkan HBA tertinggi US$ 127/ton, terjadi pada Februari 2011.

Adapun dalam lima tahun terakhir, HBA rata-rata setiap tahun adalah sekitar:

  • US$ 60/ton (2015),
  • US$ 61,8/ton (2016),
  • US$  85,9/ton (2017),
  • US$ 99/ton (2018), dan
  • US$ 92,1/ton (2019).

Berdasarkan nilai HBA dalam 10 tahun terakhir di atas, diperoleh nilai HBA rata-rata sekitar US$ 77/ton.

Sedangkan rata-rata nilai HBA dalam lima tahun terakhir, berdasarkan HBA rata-rata tahunan adalah US$ 79.76/ton.

Berdasar kedua nilai HBA ini, dalam rangka menghitung nilai aset SDA batubara nasional, akan di-asumsikan bahwa nilai rata-rata HBA adalah US$ 75/ton.

Produksi Batubara Nasional dalam 5 Tahun Terakhir:

  • 461 juta ton pada 2015,
  • 438 juta ton (2016),
  • 461 juta ton (2017),
  • 558 juta ton (2018), dan
  • 610 juta ton (2019).

Adapun kontribusi produksi kontraktor PKP2B, terhadap produksi nasional tersebut adalah:

  • 276 juta ton pada 2015,
  • 273 juta ton (2016),
  • 278 juta ton (2017),
  • 295 juta ton (2018), dan
  • 331 juta ton (2019).

Sementara untuk tahun 2020, pemerintah menargetkan besar produksi 550 juta ton.

Dengan harga Minerba yang terus berubah, maka total penerimaan negara dari sektor Minerba pun ikut berfluktuasi.

Sesuai informasi dari Kementrian ESDM, penerimaan negara tambang minerba adalah:

  • Rp29 triliun pada 2015,
  • Rp27 triliun (2016),
  • Rp40 triliun (2017),
  • Rp50 triliun (2018), dan
  • Rp44,8 (2019).

Secara rerata, nilai penerimaan negara untuk tambang batubara adalah sekitar 80% dari nilai penerimaan total tambang minerba.

Nilai Aset Tambang PKP2B

Menurut Ditjen Minerba, sumberdaya dan cadangan batubara yang saat ini dikuasai tujuh kontraktor PKP2B, masing-masing adalah 20,7 miliar ton dan 3,17 miliar ton.

Jika di-asumsikan nilai kalori rata-rata sumberdaya batubara adalah:

  • 4000 kcal/kg GAR,
  • Nilai HBA US$ 75/ton, dan
  • Nilai tukar US$/Rp=Rp 14.000.

Maka nilai aset sumberdaya batubara tersebut adalah (4000/6332 x 75 x 20,7 x 14.000), atau sekitar Rp13.73 triliun.

Sedangkan nilai aset cadangan batubara yang dikuasai kontraktor PKP2B adalah (4000/6332 x 75 x 3,17x 14.000), atau sekitar Rp2.102 triliun.

Saat ini luas wilayah tambang batubara yang dikuasai oleh tujuh kontraktor PKP2B, masing-masing adalah:

  • PT Tanito Harum 1869 hektar,
  • PT Arutmin Indonesia 57.107 hektar,
  • PT Kaltim Prima Coal 84.938 hektar,
  • PT Multi Harapan Utama 39.972 hektar,
  • PT Adaro Indonesia 31.380,
  • PT Kideco Jaya Agung 47.500 hektar, dan
  • PT Berau Coal 108.009 hektar.

Total luas wilayah tambang yang dikuasai oleh kontraktor PKP2B adalah 370.775 hektar.

Sesuai batasan maksimum luas wilayah bagi kontraktor yang memperoleh perpanjangan kontrak (dalam bentuk izin), seperti diatur dalam Pasal 83 UU Minerba No. 4/2009, jika seluruh kontraktor PKP2B memperoleh perpanjangan kontrak, maka luas wilayah tambang yang dapat dikuasai adalah 7 x 15.000 = 105.000 hektar.

Adapun wilayah tambang yang harus dikembalikan kepada negara adalah (370.775 – 105.000) = 265.775 hektar.

Jika di-asumsikan sumberdaya batubara tersebar secara merata dalam wilayah tambang, maka volume sumberdaya batubara yang dapat dikuasai negara masing-masing adalah (265.775/370.775) x 20,7 miliar ton = 14,84 miliar ton.

Sedang volume cadangan yang dapat dikuasai negara adalah (265.775/370.775) x 3,17 miliar ton = 2,27 miliar ton.

Jika diterapkan asumsi kalori, HBA dan kurs US$/Rp untuk seluruh aset yang dikuasai seluruh kontraktor PKP2B, saat ini sama seperti yang diuraikan sebelumnya, maka nilai aset sumberdaya yang dapat diperoleh negara sekitar Rp9.843 triliun.

Dengan cara perhitungan yang sama, nilai aset cadangan batubara yang dapat dikuasai negara sekitar Rp1.505 triliun.

Sedangkan nilai aset sumberdaya dan cadangan yang dikuasai kontraktor, jika memperoleh perpanjangan kontrak (izin) hanya dengan luas lahan tambang maksimum 15.000 hektar, masing-masing adalah sekitar Rp3.887 triliun dan sekitar Rp596,67 tiliun.

Baca Juga: Jatam Sebut Omnibus Law ‘Cilaka’ Bukti Demokrasi RI Dibajak Oligarki

Perhitungan di atas memperlihatkan, jika seluruh kontraktor PKP2B, diberi perpanjangan otomatis untuk seluruh wilayah tambang yang saat ini dikuasai, maka pemerintah otomatis menyerahkan pengelolaan aset cadangan batubara nasional bernilai sekitar Rp2.102 triliun.

Jika perhitungan didasarkan pada volume sumberdaya, maka nilai aset negara yang diserahkan (dicaplok) adalah Rp13.730 triliun.

Jika luas wilayah yang dikuasai kontraktor PKP2B terbatas hanya sampai 15.000 hektar, maka nilai aset sumberdaya dan cadangan yang diserahkan tersebut masing-masing sekitar Rp3.887 triliun dan sekitar Rp596,67 triliun.

Disadari bahwa setelah di-eksplorasi, sumberdaya batubara tidak seluruhnya akan berubah menjadi cadangan batubara.

Volume cadangan selalu lebih rendah dari volume sumberdaya.

Jika sumberdaya yang dikuasai kontraktor PKP2B dengan volume 20,7 miliar ton di-eksplorasi, maka diyakini lebih dari setengahnya dapat berubah status menjadi cadangan.

Maka nilai aset cadangan ini dapat di-asumsikan sekitar Rp6500 triliun.

Dengan demikian, berdasarkan asumsi dan perhitungan yang sangat konservatif, potensi aset negara yang akan dicaplok kontraktor PKP2B, jika kontrak diperpanjangan secara otomatis adalah sekitar Rp2102 hingga Rp6500 triliun.

Padahal, sesuai amanat UUD 1945, amanat reformasi TAP MPR No. IX/2001, perintah UU Minerba No. 4/2009, dan rasa keadilan masyarakat, maka seluruh aset sumberdaya dan cadangan batubara negara bernilai hingga Rp6500 tiliun tersebut, yang saat ini dikuasai kontraktor PKP2B, harus dikembalikan kepada negara saat kontrak berakhir.

Selanjutnya, sesuai landasan hukum yang sama, pengelolaan aset tersebut harus diserahkan kepada BUMN.

Jika rencana perubahan UU Minerba No. 4/2009, dan kelak diperkuat dengan UU Omnibus Law, tetap dilanjutkan dengan ketentuan-ketentuan yang saat ini didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang sudah di-siapkan dalam RPP Ke-6 PP No.23/2010.

Maka jangan heran jika akhirnya aset rakyat yang bernilai antara Rp2102 triliun (cadangan) hingga Rp6500 tiliun (sumberdaya), akan kembali dikuasai oleh kontraktor swasta dan asing.

Jika itu terjadi, maka rakyat tidak boleh diam, tetapi melawan, sebab itu artinya aset milik negara, milik rakyat, dicaplok secara zalim.

Kita ingin konstitusi, prinsip-prinsip keadilan, rasa kebersamaan sesama anak bangsa, dan kesamaan di hadapan hukum, benar-benar ditegakkan di Indonesia.

Tampaknya, para kontraktor yang merupakan bagian dari oligarki penguasa pengusaha, akan berupaya menggunakan segala cara untuk terus mengangkangi aset rakyat bernilai ribuan triliun rupiah tersebut.

Mereka sangat confident akan berhasil. Apakah Presiden Jokowi, DPR, dan para Pimpinan Partai, perlu lebih dahulu melihat munculnya gerakan perlawanan rakyat, baru akan berubah sikap?

Mari kita tunggu sikap Presiden Jokowi, DPR, dan para Pimpinan Partai.

 

Oleh: Marwan Batubara, Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS)