Melonjaknya Suara Pasangan Asyik Bukti Efektivitas Mesin Politik PKS

pasangan Asyik

Ngelmu.co – Data dari KPU yang masuk sudah lebih dari 90% sampai siang ini. Dari data KPU tersebut, menunjukkan bahwa pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum (pasangan Rindu) berada di puncak. Kemudian diikuti oleh pasangan Sudrajat-Akhmad Syaikhu (pasangan Asyik). Lalu menyusul pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (pasangan 2D), dan yang terakhir pasangan TB Hasanuddin-Anton Charliyan (pasangan Hasanah).

Walaupun berada diurutan kedua, suara yang diperoleh pasangan Sudrajat-Syaikhu (Asyik) mengagetkan banyak pihak. Sebabnya, saat dilakukan survei elektabilitas sebelum Pilkada serentak, pasangan Asyik ini selalu memperoleh suara kecil. Elektabiltas pasangan Asyik masih jauh di bawah pasangan Rindu ataupun 2D.

Maka, saat hasil Pilkada ini diketahui, dan pasangan Asyik memperoleh peningkatan suara yang tajam, membuat banyak pihak terkejut.

Terkait hal itu, peneliti dari lembaga survei Indikator, Mochamad Adam Kamil, mengatakan bahwa fenomena suara pasangan Asyik pada Pilkada Jawa Barat 2018 menunjukkan efektivitas mesin politik PKS.

“Fenomena Asyik di Jawa Barat menurut saya sudah menunjukkan efektivitas mesin parpol pendukungnya, terutama PKS,” kata Adam, dikutip dari Republika.

Baca juga: Resep Melejitnya Suara Sudrajat-Syaikhu Ditanyakan SBY

Adam menilai bahwa tidak adil mengukur efektivitas mesin partai hanya jika calon yang diusung memenangkan pilkada. Hal tersebut dikarenakan, menurut Adam, dalam konteks pilkada, ukuran efektivitas mesin partai politik terlalu luas. Adam menyatakan bahwa ada faktor lain dalam pemilihan kepala daerah, yakni ketokohan calon dan isu nasional.

Isu nasional terutama wilayah Jawa yang ekpos kepada sumber informasinya lebih cepat,” kata Adam.

Adam menambahkan bahwa isu nasional ini sudah terbentuk sehingga kandidat bisa memanfaatkanya pada waktu yang tepat. Menurut Adam, hanya tinggal menunggu waktu saja untuk melihat efeknya dalam memobilisasi dukungan.

Adapun faktor yang tidak terlalu memengaruhi adalah kedekatan pemilih dengan partai. Karena secara umum di Indonesia, kedekatan pemilih dan parpol tertentu sangat rendah. Maka, calon harus lebih memprioritaskan kedekatannya dengan pemilih.

Adam pun tidak lupa untuk menyoroti kiprah partai dengan ideologi Islam pada pilkada serentak 2018. Adam menilai bahwa partai berideologi Islam, seperti PKS, PPP, dan PKB, serta PAN, yang memiliki basis pemilih Muslim, tidak berbeda halnya dengan partai nasionalis. Hal tersebut dikarenakan terlihat dari tidak adanya partai Islam yang berkoalisi dengan partai nasionalis di suatu wilayah untuk mengusung calon.

“(Partai Islam) selalu berkoalisi juga dengan partai nasionalis, jadi di Pilkada 2018 ini, bahkan di pilkada-pilkada sebelumnya juga demikian,” papar Adama.

Adam juga menyebutkan bahwa koalisi di tingkat nasional tidak akan langsung menentukan koalisi di tingkat lokal. Sebab, setiap partai memiliki kepentingan sendiri. Adam menjelaskan bahwa semakin ke bawah maka akan semakin bervariasi karena hubungan koalisi di parlemen, daerah, sangat beragam.