Memahami Barat: 577 Tahun Kejatuhan Konstatinopel

577 Tahun Kejatuhan Konstatinopel

Ngelmu.co – Tanpa kita sadari, ternyata sudah 577 tahun berlalu, peristiwa penaklukan Konstantinopel oleh Kekhalifafahan Turki Usmani (Ottoman). Tepatnya ini terjadi pada 29 Mei 1443.

Kala itu, dengan dipimpin oleh anak muda yang sangat belia, yang dijuluki ‘Sang Pembebas’ (Alfatih), yakni Sultan Mehmet II.

Orang barat menyebutnya sebagai “The Conquerer”, karena meski baru berusia 21 tahun, dia menaklukan Konstantinopel, yang kala itu menjadi ibu kota Romawi, yang dia kemudian ubah menjadi Istanbul, seperti kita kenal sekarang.

Soal penaklukan itu, sempat ditulis oleh harian terkemuka Amerika Serikat, ‘The Washington Post’, pada 28 Mei 2016 silam.

Artikel itu ditulis oleh Nick Danforth, berjudul ‘In 1453, This Ottoman Sultan Ended Christian Rule in Constantinople. But was He a Good Muslim?’

‘Pada tahun 1453, Sultan Utsmani Mengakhiri Pemerintahan Kristen di Konstantinopel, Tapi Apakah Ia Seorang Muslim yang Baik?’

Mari kita perhatikan dengan seksama tulisan tersebut:

Pada tanggal 29 Mei 1453, pasukan Ottoman, di bawah Sultan Mehmet II, menerobos tembok Konstantinopel, menaklukkan ibu kota dan pertempuran besar terakhir Kekaisaran Bizantium.

Di sebagian besar dunia, 1453, sejak itu telah diajukan bersama 1066, di jajaran tanggal surat merah dalam sejarah dunia dianggap signifikansi, karenanya banyak yang tidak begitu mengenalnya.

Tetapi di Turki, tidak mengherankan, penaklukan Ottoman atas kota terbesar di negara itu, masih beresonansi.

Bahkan kini, menjadi sedemikian rupa, sehingga argumen ideologis terus membuncah tentang bagaimana, dan apa tepatnya, untuk merayakannya pada 29 Mei itu.

Begitupun soal sosok Mehmet di kalangan Turki, masih terjadi perdebatan soal kesalehannya.

Ini persis sama seperti orang Amerika Serikat, yang karena perbedaan berbagai keyakinan politik, mereka masih berdebat tentang apakah Bapak Pendiri Amerika itu, adalah seorang Kristen yang taat, atau ateis.

Nah, orang-orang di Turki, pun banyak yang telah memproyeksikan identitas, yang bertolak belakang ke tokoh pahlawan Mehmet.

Siapapun yang mengikuti politik Turki, akhir-akhir ini akrab dengan versi Islam Utsmani, yang dipromosikan oleh Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP)—yang berkuasa di negara itu—juga merayakan Sultan Mehmet II, sebagai perwujudan kesalehan Muslim.

Sebuah film terbaru berjudul “Penaklukan 1453”, mencontohkan pandangan ini.

Dibuka dengan kutipan terkenal dari Nabi Muhammad:

“Suatu hari Konstantinopel akan ditaklukkan, yang menaklukan adalah komandan dan tentara yang hebat.”

Kisah ini kemudian dilanjutkan dengan menunjukkan Mehmet dan tentaranya, berdoa bersama sebelum serangan mereka lakukan.

Sementara Imam Bizantium, kala itu berteriak untuk ‘darah Muslim’ (terindikasi cara memahami kalimat Allahu Akbar, red).

Tetapi segalanya sangat berbeda enam dekade yang lalu, pada tahun 1953, ketika orang-orang Turki merayakan peringatan empat puluh tahun penaklukan Konstantinopel.

Pada saat itu, Mehmet dihormati sebagai penguasa yang benar-benar sekuler.

Intelektual dan politisi Turki, memuji pandangannya yang pro-Barat, yang konon diungkapkan oleh ketertarikannya pada seni Renaisans, pengetahuannya tentang bahasa Yunani dan Latin, serta teknologi militer canggih yang ia gunakan.

Bahkan, keputusannya untuk mengubah gereja Hagia Sophia menjadi masjid—alih-alih menghancurkannya—disebut-sebut sebagai bukti pencerahannya.

Maka ini menggambarkan, keputusan Mustafa Kemal Ataturk untuk mengubah bangunan menjadi museum adalah tepat.

Perayaan 10 hari yang diselenggarakan pemerintah untuk menandai 500 tahun Istanbul Turki, kala itu sama sekuler dan Baratnya.

Ada kemeriahan pertandingan sepak bola, pesta kebun, dan acara-acara lainnya.

Ada opera, peragaan busana, dan rokok, khusus pemerintah yang menampilkan sultan.

Di New York, ekspatriat Turki, menciptakan koktail yang dijuluki ‘Sihir Istanbul’.

Namun, bila melihat ke belakang, kontinuitas yang mencolok itu juga terlihat dalam gambar Mehmet, yang terus berkembang.

Dalam beberapa hal, perayaan tahun 1953 di Turki, tampak sangat mirip dengan kontes militer neo-Ottoman, yang diadakan oleh pemerintah Turki hari ini.

Lengkap dengan kostum norak, kumis palsu, dan banyak bendera nasional.

Turki dan kecakapan militer Mehmet, tampaknya, menarik bagi pengagum sekuler dan Islamisnya.

Persisnya bagaimana nasionalis AKP, mengambil sejarah Ottoman, tetap menjadi jelas musim semi, lalu ketika Negara Islam, meluncurkan majalah propaganda berbahasa Turki, yang bertepatan dengan peringatan 29 Mei.

Disebut Konstantiniyye, setelah versi bahasa Arab asli “Konstantinopel”, itu menantang pemerintah Turki, dengan mengklaim bahwa ramalan Muhammad, akan dipenuhi hanya ketika Negara Islam merebut Istanbul dengan ‘tentara baru kekhalifahan’.

Sementara itu, aneh melihat kelompok ekstrimis Islam, memanggil seorang suci Kristen, dalam judul majalah yang benar-benar mengejutkan adalah dengan saran bahwa penaklukan Mehmet atas Konstantinopel, tidak diperhitungkan.

Orang-orang Turki dari semua bujukan, mungkin bertempur memperebutkan citra Mehmet, ketika mereka berusaha mengklaim mantelnya.

Tetapi tidak ada yang membantah bahwa penaklukannya atas Istanbul adalah yang penting, untuk Turki, Muslim, dan dunia.

Baca Juga: Ketika Kesultanan Utsmaniyah Selamatkan Warga Kristen Irlandia dari Kelaparan

Nah, adanya tulisan penalukan Al Fatih dari kacamata orang barat itu, teraba seperti apa perasaan orang barat atas kejadian itu.

Jelas sekali mereka kecewa, terlebih pada akhir-akhir ini, Turki di bawah Presiden Erdogan, tidak sejalan atau tidak bisa diatur dengan barat.

Ini sejalan pula dengan sikap mendiang Paus Yohanes Paulus ke II, dahulu ketika menolak Turki, masuk dalam Uni Eropa.

Dia menolak keikutsertaan Turki, karena berindentitas Islam, padahal menurutnya identitas Eropa adalah Kristen.

Kebetulan, kala kontroversi itu merebak, penulis sempat berada di semenanjung Balkan dan Turki.

Kepada mereka di sana, saya sempat bertanya:

Apakah betul identitas Eropa itu Kristen? Atas pertanyaan ini, sahabat Bosnia saya, Edin Hidzalik, yang kini tinggal dan beristri dengan orang Indonesia, membantahnya dengan keras.

Dia yang sempat sekolah di Serbia, dan kemudian melanjutkan pasca sarjananya di Malaysia, mengatakan:

Guru besar saya di Serbia, mengatakan identitas asli orang Eropa adalah kaum pagan. Jadi bukan seperti yang disebutkan Paus Yohanes II. Kristen itu datang kemudian. Untungnya, setelah itu Erdogan kemudian membalasnya, tak sudi bergabung dengan Eropa!

Kontroversi dari imbas persepsi atas penaklukan Konstantinopel pada 29 Mei 1443 M itu, masehi memang terjejak ketika tinggal di Turki.

Salah satunya adalah pada soal rencana Presiden Erdogan, atas penggunaan Haga Sophia menjadi masjid kembali, setelah dahulu diubah menjadi museum oleh Kemal Attaturk.

Sampai kini, orang Turki terbelah sikapnya tentang nasib mantan gereja kuno Romawi itu.

Orang barat dan orang Turki yang ‘kebarat-baratan’, ingin tetap menjadi seperti itu, minimal posisinya netral seperti komplek Istana Al Hambra di Granada, Spanyol, yang jelas-jelas bangunan dari peninggalan zaman keemasan Islam.

Atas adanya fakta bawah sadar itu, maka wajar bila sejarah dunia seolah melupakan penaklukan Konstantinopel oleh Ottoman.

Jadi jangan salahkan mereka. Cukup mahfum saja.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika