Membakar Kitab Suci: Kebebasan atau Pelecehan?

Membakar Kitab Suci

Ngelmu.co – Sabtu, 21 Januari 2023, seorang politikus radikal Swedia, Rasmus Paludan, kembali membakar kitab suci Al-Qur’an.

Ia melakukan aksi biadab tersebut di depan Kedutaan Turki.

Menurut Rasmus, itu adalah bentuk kemarahannya terhadap agama Islam.

Ia menganggap Islam, mengancam masa depan negaranya.

Kejahatan Rasmus ini bukan yang pertama kali. Beberapa waktu lalu, ia juga pernah melakukan hal yang sama.

Namun, aksi biadabnya itu justru dianggap legal oleh pemerintah Swedia; dengan jaminan kebebasan.

Bahkan, secara khusus mendapat izin dari kepolisian, dengan penjagaan keamanan; saat melakukan aksi.

Kejadian demi kejadian, terjadi di berbagai negara Eropa dan Barat.

Secara umum, ini tentu menjadi pemicu terjadinya reaksi keras dari kalangan umat dan dunia Islam.

Di Swedia sendiri, sudah terjadi counter demonstrasi oleh komunitas muslim, khususnya dari komunitas Turki.

Pemimpin-pemimpin negara mayoritas muslim juga telah menyampaikan protes keras serta kutukan mereka, atas pembakaran Al-Qur’an ini.

Selain Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim juga mengutuk keras. Begitu pun dengan Kemlu RI.

Pembakaran ini memang karena kebenciannya kepada Islam yang makin melaju, berkembang di berbagai negara Barat.

Banyak kalangan yang bahkan memprediksi, Islam akan menjadi agama mayoritas di banyak negara; secara global dan di masa yang tidak lama lagi.

Di berbagai negara Eropa seperti Inggris, Jerman, Prancis, dan banyak lagi, Islam makin tampil di mainstream. Bahkan di pemerintahan.

Kebebasan atau Pelecehan?

Salah satu alasan yang selalu dipakai sebagai justifikasi dari berbagai aksi seperti ini [pembakaran kitab suci hingga penghinaan terhadap nabi, khususnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam] adalah kebebasan berekspresi.

Artinya, melakukan hal seperti ini seharusnya dijamin–bahkan dihormati–karena merupakan ekspresi sebuah nilai yang mulia.

Sejujurnya, saya justru makin bingung memahami arti kebebasan dalam pandangan Barat pun Eropa.

Kebingungan saya makin menjadi, karena sering kali pandangan kebebasan itu secara sepihak, dan penuh ketidakjujuran.

Jika berada di pihak yang menguntungkan mereka, maka itu kebebasan.

Namun, jika kebebasan itu berada di pihak lain? Maka serta-merta dipandang terbalik, yakni sebagai ‘kungkungan’.

Contoh yang nyata di hadapan mata kita adalah ketika mereka mengekspresikan diri, secara bebas, dengan pakaian mereka.

Mereka menganggap itu sebagai bagian dari kebebasan yang harus dihormati.

Mereka marah saat negara Islam menuntut wanita Eropa nonmuslim, misalnya, untuk menutup aurat [berjilbab, misalnya] saat berada di negara mayoritas muslim.

Namun, ketika umat muslim ingin mengekspresikan kebebasan mereka–memakai pakaian yang menutup aurat–termasuk berjilbab?

Mereka malah membangun opini, mengatakan jika hal itu adalah pengungkungan terhadap wanita.

Bahkan, menganggapnya bertentangan dengan nilai-nilai universal dunia, termasuk kebebasan dan kemajuan.

Hal lain yang membingungkan adalah sering kali kebebasan itu dipahami sebagai hak yang tidak terbatas, padahal apa pun dalam kehidupan ini, semua ada batasnya.

Satu-satunya yang tidak punya batas hanyalah yang menciptakan dan menentukan keterbatasan itu sendiri, Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dilemanya memang adalah ekspresi kebebasan yang tidak terbatas itu menjadi gaya hidup Barat, dan disebut ‘liberalisme’ [paham kebebasan mutlak].

Maka ketika orang Barat menyebut ‘freedom’ atau kebebasan, sesungguhnya yang mereka maksud adalah liberalisme.

Sebuah konsep yang pastinya tidak imbang, bahkan tidak rasional, karena jelas tidak sejalan dengan pandangan Islam.

Sebab, kebebasan sesungguhnya dibatasi oleh nilai moralitas yang mengikat.

Saat ekspresi kebebasan itu menginjak-injak nilai moralitas, maka itu bukan lagi kebebasan, melainkan ‘oppressi’ atau ‘eksploitasi’.

Baca Juga:

Contoh sederhana, mungkin adalah ketika saya mengekspresikan kebebasan dalam berbicara [freedom of speech].

Saya yakin, jika memang saya bebas untuk berbicara, dan tidak ada satu pun yang bisa membungkam mulut saya [kecuali Allah, tentunya dalam perspektif agama].

Namun, ketika kata-kata yang keluar dari mulut saya menghina orang, maka itu bukan kebebasan lagi.

Perilaku saya itu telah merendahkan nilai moralitas kemanusiaan.

Maka dengan sendirinya akan berubah menjadi kezaliman terhadap orang lain.

Pada tataran inilah, kita menilai bahwa menghina agama, nabi, dan juga kitab suci, bukanlah kebebasan!

Sebab, itu jelas merupakan bentuk ‘immoralitas’ yang menyebabkan terjadi oppressi terhadap orang lain yang memuliakan agamanya [Tuhan, nabi, kitab suci, dan lain sebagainya].

Saya akhiri tulisan ini dengan menegaskan kepada mereka yang melakukan pelecehan agama, Al-Qur’an, nabi, dan Rasul.

“Anda merasa pintar, tapi sesungguhnya Anda bodoh! Anda merasa beradab, tapi realitanya Anda biadab!”

Ketahuilah, pembakaran Anda itu tidak sedikit pun mengurangi kemuliaan Al-Qur’an.

Kami jelas marah, kami tentu marah, karena itu adalah rasa alami sebagai manusia sekaligus kewajiban kami untuk membela!

Ketahuilah, Al-Qur’an itu Kalam Ilahi yang tidak akan pernah dihanguskan.

Maka ketika Anda membakarnya, yakinlah, Al-Qur’an tidak akan bisa terbakar.

Sebab, Al-Qur’an ada dalam penjagaan Allah yang Maha menjaga langit dan bumi.

Pada akhirnya, Anda yang akan menyesal, dan ada masanya, Anda akan sadar juga terkagum-kagum.

Pasalnya, makin Anda berupaya meredam Al-Qur’an, cahayanya justru akan makin menembus jutaan jiwa manusia di negara Anda.

Bahkan di seluruh penjuru dunia.

Kami akan terus jujur dengan nilai-nilai ajaran agama, moralitas, dan nilai-nilai universal itu.

Itu mengapa kami juga akan konsisten dengan ajaran agama dan moralitas kemanusiaan kami.

Sehingga kami tidak pernah, dan tidak akan melecehkan agama serta keyakinan orang lain.

Selain merupakan adab kemanusiaan, itu juga bagian dari ajaran agama kami.

Jika dengan kenyataan itu Anda terus memupuk kemarahan, “… binasalah kamu karena kemarahanmu itu…” (QS. Ali ‘Imran: 119).

Oleh: Imam Shamsi Ali
Editor: Ngelmu.co