Berita  

Menelusuri Jumlah Muslim di Jepang yang Terus Meningkat Pesat

Muslim Jepang Pemakaman Islam Kaiji Kadir Wada
Foto: Instagram/superkokeji

Ngelmu.co – Meski masih terbilang kecil, dalam satu dekade terakhir, jumlah Muslim di Jepang, terus meningkat pesat.

Jumlah Muslim di Jepang Meningkat Pesat

Pada 2010 lalu, data mencatat keberadaan 110 ribu Muslim di Jepang.

Lalu, di akhir 2019, jumlahnya bertambah menjadi 230 ribu orang.

Di mana 50 ribu di antaranya merupakan warga Jepang yang memutuskan untuk memeluk Islam.

Demikian penuturan Tanada Hirofumi dari Universitas Waseda, mengutip About Islam.

Selain mendorong pembangunan tempat ibadah, meningkatnya jumlah Muslim di Jepang, juga membuat keberadaan restoran makanan halal semakin dicari.

Begitu kata profesor di Ritsumeikan Asia-Pacific University (APU) dan Ketua Beppu Muslim Association (BMA) Muhammad Tahir Abbas Khan.

Saat ini, Jepang memiliki 110 masjid untuk menampung jemaah Muslim.

Namun, bukan berarti perjuangan mereka selesai. Saudara Muslim kita di Jepang, masih harus berjuang untuk menemukan tempat peristirahatan terakhir.

Sebab, sekitar 99 persen warga Jepang, dikremasi, praktik yang jelas dilarang dalam Islam.

“Jika saya mati hari ini, saya tidak tahu di mana saya akan dikuburkan,” ungkap Khan, Sabtu (10/1) lalu.

Hampir satu dekade pula BMA, mencari lahan pemakaman baru.

Pihaknya terus berupaya mengumpulkan 60-70 juta yen atau setara Rp8,2 miliar [sampai Rp9,6 miliar].

Sampai waktu kontruksi akan dimulai, penduduk dusun terdekat justru menolak. Mereka menyuarakan kekhawatiran, atas pasokan air.

“Kami tidak akan bisa minum air dengan nyaman,” kata warga yang memprakarsai petisi menentang pemakaman, Eto Kiyotaka.

Khan dan para Muslim di Jepang masih harus berjuang.

Meski demikian, ia tak menampik jika Jepang adalah tempat yang baik, “Kami menganggap Jepang sebagai negara asal kami.”

Islam mulai masuk Jepang, pada 1920-an, melalui imigrasi beberapa ratus Muslim Turki dari Rusia [pasca revolusi Rusia].

Pada 1930, kurang lebih, jumlah Muslim di Jepang mencapai 1.000 orang, dengan asal yang berbeda-beda.

Gelombang migran kembali meningkatkan populasi Muslim, dan mencapai puncaknya pada 1980; bersama pekerja migran dari Iran, Pakistan, juga Bangladesh.

Kisah Kaiji Kadir Wada

Salah satu pria asal Jepang yang beberapa tahun lalu (2017) memutuskan untuk memeluk agama Islam adalah Kaiji Kadir Wada.

“Tahun ini adalah Ramadan keempat saya. Sebagai Muslim Jepang, saya merasa bangga dengan agama saya.”

“Lewat ibadah, identitas saya sebagai Muslim menjadi lebih kuat,” akuan Kaiji, mengutip BBC News Indonesia.

Kaiji juga mengaku, cara pikirnya berubah, setelah selesai menempuh pendidikan di Brunei Darussalam, dan kembali ke negaranya.

“Saya sering bertemu orang Malaysia, Indonesia, Brunei. Mereka tenang, baik,” ujarnya.

“Saya terinpirasi, karena itu saya tertarik pada Islam, dan ingin tahu apa yang dipelajari dalam Islam,” kenangnya bercerita.

“Tantangan saya adalah harus cari tempat sholat, karena sedikit masjid, dan juga [tak mudah] mencari makanan halal,” kata Kaiji.

Pria yang kini bekerja sebagai CEO Career Diversity [perusahaan konsultan perekrutan tenaga kerja di Tokyo], mengaku jika dahulu, ia tidak beragama.

“Saya cuma pria Jepang biasa yang dahulu sekuler, tak beragama, dan sekarang punya tujuan hidup,” ucap Kaiji.

Ia terus mempelajari Islam, melalui pengajian daring bersama para Ustaz di Jepang.

Kaiji juga bergabung dengan komunitas Muslim Indonesia di Jepang, serta komunitas mualaf.

Hidupnya menjadi lebih tenang, “Biasanya, di masyarakat Jepang, mereka sering tersesat, atau bingung [dalam menentukan] apa yang penting dalam kehidupan mereka.”

“[Mereka bingung] Apa yang benar dan tidak benar. Jadi, mereka hidup untuk bekerja, sampai bunuh diri, karena kelelahan,” ungkap Kaiji.

Tujuan Hidup Menjadi Jelas

Setelah masuk Islam, ia merasa menemukan semua tujuan, serta mendapat jawaban dari Al-Qur’an.

“Sekarang tujuan hidup saya sudah jelas. Alhamdulillah, saya termotivasi untuk kehidupan saya sendiri.”

Demikian tuturnya yang juga bekerja sebagai humas di organisasi Olive, Young Muslim Community [komunitas Muslim untuk anak muda di Jepang].

Angka bunuh diri di Jepang memang termasuk yang tertinggi di dunia.

Persoalan keluarga, perundungan, hingga kekhawatiran terhadap masa depan [diduga] menjadi faktor penyebab.

Kaiji pun berbagi pengalaman spiritual yang tak akan bisa ia lupakan.

Kesempatan berharga, ketika ia dapat berangkat umrah bersama para mualaf dari negara lain, di penghujung 2019.

“Saat saya lihat Kabah, saya [berpikir] saya cuma cowok Jepang biasa yang dulu sekuler, tak beragama,” kata Kaiji.

Kehidupannya saat itu sangat jauh dari ajaran Islam, “Siapa yang bisa bayangkan orang seperti saya berdiri di depan rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala?”

“Tidak ada yang bisa mengatur, kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Satu hal yang tak akan saya lupakan.”

Baca Juga: Video Para Pesepak Bola Buka Puasa di Tengah Pertandingan Curi Perhatian

Kaiji menikah dengan Muslimah Indonesia, Yusanne Pitaloka.

“Kalau orang Indonesia pulang kampung untuk Idulfitri. Saya tak pulang kampung,” tuturnya.

“Dalam keluarga saya, tidak ada yang beragama Islam, selain saya,” imbuhnya.

“[Maka] Saya akan merayakan [Idulfitri] dengan istri saya, insya Allah,” harap Kaiji.

Yusanne sendiri, memandang suaminya sebagai Muslim yang taat beribadah, “[Ia] Mencoba menjalankan [ajaran agama] sesuai syariat.”

“Saya merasa bertanggung jawab untuk menyebarkan kebaikan Islam kepada komunitas Jepang,” tegas Kaiji.

Simak cerita Kaiji di awal hijrahnya, berikut ini:

Pertama kali berjumpa dengan Islam adalah ketika saya pergi ke Brunei Darussalam, tahun 2015 lalu, untuk melanjutkan pendidikan.

Seharusnya saya pergi ke Amerika Serikat, tapi karena beberapa alasan, saya tidak jadi ke sana. Saya memilih Brunei.

Saya tidak mempunyai pengetahuan ataupun informasi tentang Islam, saya hanya mengetahuinya dari media.

Pada 2015, situasi bagi Muslim di Jepang, buruk. Begitu pun gambaran Islam di sana.

Namun, kami tidak serta merta menghakimi mereka. Ketika saya berbincang dengan teman Muslim saya, itu biasa dan normal saja.

Seperti perbincangan antara orang Jepang dan Brunei pada umumnya.

Saya melihat bagaimana kehidupan Muslim, dan bagaimana ajaran Islam yang sebenarnya.

Setiap akhir pekan dan hari Jumat, saya selalu datang ke Masjid Tokyo Camii [masjid bergaya Turki Utsmani yang dibangun di Tokyo, Jepang].

Pada akhir pekan, Masjid itu terbuka untuk umum. Biasanya, orang Jepang berkunjung untuk melihat interior Masjid.

Mereka juga mempelajari apa yang Islam ajarkan. Di sana tersedia Al-Qur’an dengan tulisan Bahasa Arab, tapi terdapat terjemahan bahasa Jepangnya.

Maka, orang Jepang pun bisa mempelajari.

Awal Mula Mempelajari Islam

Bagi saya, pertama kali, sulit rasanya untuk membaca Al-Qur’an. Jadi, kami membaca serta memahaminya lewat terjemahan.

Saya juga punya satu Al-Qur’an di rumah, tidak hanya dilengkapi terjemahan Jepang, tapi juga ada penjelasan secara rinci [tafsir].

Jadi, ketika ada sesuatu yang belum dipahami, saya bisa membaca tafsirnya, dan mempelajari lebih dalam lagi.

Sepulangnya saya dari Brunei, saya mulai mempelajari Islam. Mencari pengetahuan tentangnya, setiap hari.

Saya juga mendapati Islam sebagai agama yang sangat menentramkan.

Ketika kita berhadapan dengan kesulitan, kita datangi Allah. Saat kita merasakan sakit, percayakan hanya pada Allah.

Sekaligus meyakini, bahwa itu hanyalah ujian dari Allah. Kita bisa melewati dan mengatasinya.

Ketika kita mendapatkan kebahagiaan, kita harus tetap rendah hati. Begitulah saya mengontrol emosi, juga kepribadian.

Itu pasti memberikan hasil yang baik untuk saya di masa yang akan datang, insya Allah.

‘Kesempatan Itu Datang’

Saya telah memikirkan matang-matang keputusan untuk menjadi seorang mualaf.

Sudah lama saya ingin masuk Islam, hampir setahun. Tapi saya tidak tahu kapan harus hijrah.

Saya hanya memikirkannya secara terus-menerus. Lalu, kesempatan itu tiba-tiba datang.

Bos saya, waktu itu punya janji untuk mendatangi pertemuan di Masjid, dan mengajak saya.

Saya pun ikut, dan telah mengenal imam di Masjid itu.

Itulah waktu yang tepat bagi saya, karena selama ini merasa masih belum siap.

Saya sudah mempelajari tentang Islam, dan berpikir untuk masuk Islam. Jika lebih cepat, akan lebih baik.

Saya berpikir untuk masa depan, tentang diri saya di masa depan. Maka itulah waktunya.

Saya ikut pertemuan bos di Masjid saat itu, dan setelahnya, langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.

Setelah menjadi Muslim, lebih mudah bagi saya untuk mengontrol hati, emosi, dan pikiran.

Sebelum menjadi Muslim, kadang saya mudah emosi, tapi saat ini saya lebih merasa nyaman ketika melakukan sesuatu, tidak terburu-buru, lebih tenang.

Saya bisa berpikir lebih jernih dan mengetahui mana yang baik serta mana yang buruk berdasarkan Al-Qur’an.

Hidup saya menjadi lebih mudah. Meskipun orang tua saya merasa tidak nyaman dengan agama baru saya.

Mereka tidak suka dengan segala sesuatu yang ada unsur agamanya.

Bagi saya, itu sangat sulit. Namun, mereka menerima keputusan saya ini.

Mereka tidak mendukung agama saya, tapi mereka memutuskan untuk menerima keputusan saya, karena saya adalah putra mereka.

Langkah selanjutnya adalah membuat mereka paham tentang Islam. Apa itu Islam, apa yang Islam ajarkan, apa itu agama, dan tentu, itu cukup sulit.

Sebab, seperti yang kalian ketahui, bahwa orang Jepang, secara umum tidak memiliki budaya yang religius.

Jadi, saya membutuhkan waktu untuk menunjukkan pada mereka seperti apa Islam yang sebenarnya.

Ini adalah tugas atau misi saya untuk membuat mereka tahu dan paham tentang Islam.