Berita  

Mengaku Tak Pernah Larang Muslimah Bercadar, Menag Minta Polemik Disudahi

Larang Muslimah Bercadar

Ngelmu.co – Menteri Agama, Fachrul Razi kembali menegaskan, dirinya tak pernah larang muslimah bercadar. Maka, ia pun meminta agar semua pihak bisa menyudahi polemik itu, termasuk soal celana cingkrang.

Menag Mengaku Tak Pernah Larang Muslimah Bercadar

Fachrul merasa, tak perlu lagi ada pertanyaan-pertanyaan terhadapnya, mengenai dua hal tersebut.

Soal Celana Cingkrang

“Sudah selesai itu (cadar dan celana cingkrang). Sudah, sudah selesai,” tuturnya, usai mengikuti senam bersama guru madrasah di halaman kantor Kemenag, seperti dilansir Republika, Jumat (1/11).

Sementara dihubungi melalui telepon, dirinya mengklaim, hanya menyampaikan bahwa tak ada ketentuan yang jelas di dalam Alquran dan hadis, mengenai pengunaan cadar.

“Kita tidak melarang, tidak juga menganjurkan,” ujarnya berdalih.

Baca Juga: Kaji Pelarangan Niqab di Instansi Pemerintah, Menag: Demi Keamanan

Namun, lanjut Fachrul, ia ingin beberapa hal yang disampaikannya selama ini menjadi sorotan, yakni penggunaan cadar tak menjadi ukuran keimanan serta ketakwaan seseorang.

Semua berawal, setelah Presiden Joko Widodo, memperkenalkan Fachrul di Istana Negara, sembari berpesan kepada purnawirawan TNI itu.

Baca Juga: Usai Niqab, Menag Bicara soal Celana Cingkrang

Selain diminta mengurus radikalisme, meningkatkan ekonomi keumatan, industri halal, Jokowi menekankan, agar Fachrul membereskan masalah haji.

Dari Radikalisme ke Celana Cingkrang

Mulai dari situ, Menag kerap menekankan pembicaraan soal radikalisme, terutama umat Islam, selama beberapa hari.

Hingga akhirnya, arah pembicaraannya berubah ke penggunaan cadar serta celana cingkrang, di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Hal itu ia sampaikan, saat memberikan pidato dalam salah satu acara kementeriannya.

Namun, lagi-lagi, saat dikonfirmasi soal pernyataannya terkait celana cingkrang, di acara konsolidasi di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Facrul juga mengaku tak pernah menyinggungnya.

“Tentang celana cingkrang, saya gak pernah singgung, gak ada kaitan-kaitannya ngomong di situ,” jawabnya berkelit.

Polemik cadar dan celana cingkrang pun terus menjadi bahan pembicaraan.

Tanggapan Katib Syuriah PBNU

Katib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Asrorun Niam mengatakan, faktor keamanan tidak cukup menjadi pembenaran, untuk melarang penggunaan cadar, seperti yang sempat diwacanakan Menag.

Larang Muslimah Bercadar

“Penyelesaian masalah itu harus berakar dari pemahaman masalah secara utuh, tidak bisa generalisasi,” kata Asrorun, Jumat (1/11).

Maksud baik, lanjut Asrorun, harus dilakukan dengan cara yang baik pula. Namun, ia dapat memahami spirit dari wacana yang disampaikan Menag.

Tetapi demikian, pelarangan penggunaan cadar di kawasan lembaga dan instansi pemerintah, juga dianggap bukan jalan keluar, dalam penanganan terorisme serta radikalisme.

“Harus dilakukan penguraian masalah, sebelum melakukan penanganan, agar tepat sasaran. Jangan hanya sekadar penyederhanaan masalah,” tutur Asrorun.

Karena kasus radikalisme, sambung Asrorun, bisa saja terjadi karena kesalahan cara pandang agama, atau faktor ekonomi, hingga faktor politik.

Maka menurutnya, tak bisa menyederhanakan permasalahan hanya dengan pelarangan cadar atau penggunaan celana cingkrang.

Penggunaan burqa, cadar, atau celana cingkrang adalah persoalan aksesori yang tidak bisa distigmakan dan diasosiasikan sebagai terorisme atau radikalisme.

Apalagi, ketiga hal tersebut memiliki basis keagamaan.

Soal Larang Muslimah Bercadar, Begini Kata Abdul Mu’ti

Di sisi lain, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menilai, wacana pelarangan cadar, tidak bertentangan dengan Islam dan tidak melanggar HAM.

Sebab menurutnya, ada dua hal yang harus dilihat secara saksama, yakni kode etik kepegawaian yang seharusnya dipatuhi oleh seluruh pegawai.

“Kalau dia pegawai, siapapun dia, harus mematuhi kode etik pegawai. Bahkan, dalam konteks pembinaan, kepatuhan kepada kode etik berbusana adalah bagian dari penilaian kinerja dan loyalitas kepada institusi,” ujarnya.

Namun, kepatuhan itu harusnya tak hanya berlaku bagi mereka yang bercadar, tapi juga pegawai yang berpakaian tidak sopan, dan tak sesuai dengan norma agama, susila, serta budaya bangsa Indonesia.

“Yang perlu diluruskan adalah pemahaman yang menganggap mereka yang bercadar sebagai teroris atau radikal. Itu penilaian yang sangat dangkal dan berlebihan,” pungkas Abdul.