Mengapa Kaum Komunis Tak Gentar Menghadapi Maut?

Ngelmu.co – Mengapa dengan gagahnya Sudisman dan Njoto (tokoh PKI, -pen) berdiri tegak mendengarkan MahMilLuB (Mahkamah Militer Luar Biasa) membacakan vonis hukuman mati bagi dirinya?

Bahkan Njoto sempat melantunkan syair Tagore, “Daun-daun kering berguguran untuk menumbuhkan daun-daun muda yang segar,” lalu dengan gagah berani dan mata tak berkedip, dia menunggu keputusan hukuman mati. Di bibirnya tersungging senyum sinis.

Mengapa demikian berani orang-orang itu menghadapi maut? Padahal pokok kepercayaan mereka adalah tidak mempercayai sama sekali adanya Tuhan dan hari kiamat.

Jawabannya adalah karena mereka mendalami pengertian terhadap cita-cita ideologi. Mereka tidak mempercayai hal ghaib, padahal ideologi itu sendiri adalah ghaib (nisbi).

Mengapa di antara umat Islam di negeri kita ini masih jarang terlihat yang demikian? Kalau kita katakan bahwa umat Islam adalah satu kesatuan, mengapa jarang kita temukan pemimpin yang konsekuen dengan pendiriannya?

Malahan ada yang tidak malu-malu berkawan dengan komunis untuk menghantam sesama Islam.

Mengapa banyak yang mengingkari janji dan bai’at-nya dengan kawan se-agama? Semata-mata untuk kemenangan politik sementara? Karena belum banyak yang membenamkan dirinya kedalam cita-cita, sebagaimana orang-orang komunis itu.

Islam telah kita terima sebagai agama, dan kita marah jika dikatakan tidak Islam. Tetapi Islam itu sendiri belum kita resapkan dalam jiwa. Kita belum merasakan lezatnya iman dan nikmatnya ideologi. Kita masih diperbudak oleh hawa nafsu dan materi.

Pertama dan utama dalam menegakkan suatu ideologi bukanlah mesti bergelar “alim”, bukan ahli fiqih, dan bukan pula titel kesarjanaan.

Semua itu hanya kulit luar, tetapi yang pertama dan utama adalah “quwwatil khulqi” (kekuatan karakter), yaitu kuatnya mental serta moral.

Lantas, di mana letak kesalahan kita?

Selama ini kita hanya bertengkar soal Furu’, soal hukum bersentuhan kulit lelaki dengan perempuan, soal melafalkan niat, dan seterusnya. Namun, intisari agama itu sendiri, tidak pernah dirasakan.

Selalu kita menyebut-nyebut pendapat-pendapat Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafii, dan Imam Hambali, tetapi kurang sekali kita melihat kepada suka-duka pribadi mereka dalam menegakkan kebenaran.

Orang yang dapat menghapal qala ta’ala, qala Rasulullah, menurut Imam Syafi’i demikian, menurut Imam Hanafi begitu, belum tentu dapat mempertahankan agama kalau tidak memiliki kekuatan karakter.

Orang yang demikian mudah saja disuruh membuat fatwa guna “menghalalkan” perbuatan yang haram dari seorang diktator.

Kepada yang di atas (penguasa), orang-orang seperti itu selalu kalah dan mengalah, tetapi kepada kawan sendiri, mereka sanggup menang berpolitik.

Adakah kita yang bersorak-sorai mengaku membela mazhab yang empat, berani meniru, meneladani keempat imam tadi, dalam hal keteguhan pendiriaan?

Tidak ada atau sangat jarang. Karena dalam hal agama, selama ini kita hanya bertengkar tentang “kulit”, tetapi enggan “menelan isi” …

Oleh sebab itu, jika seorang diktator berkuasa, orang yang seperti inilah yang disenangi …

Kamu angkatan muda, jauhilah hal-hal seperti itu. Inilah yang merugikan kita bertahun-tahun lamanya, sehingga cita-cita Islam tidak bisa tegak, karena kita kekurangan manusia yang berkarakter.

Maka, kalau orang komunis seperti Sudisman berdiri tegak dengan wajah tenang menghadapi hukuman mati. Kalau Njoto masih sempat bersyair ketika mendengarkan vonis kematiannya, padahal mereka hendak menghancurkan agamamu.

Mengapa kamu yang mempertahankan Tuhan dan menjaga agama, justru merasa ragu menghadapi segala kemungkinan dalam keyakinan?

Ya, betapa dahsyatnya cita-cita ideologi. Orang-orang komunis bercita-cita mendirikan negara komunis, orang-orang sekuler, wajar mendirikan negara sekuler, tapi lucu kalau umat Islam tidak bercita-cita menegakkan syariat. Di mana cita-cita agama serta ideologimu?

Oleh: Buya Hamka