Mengenal Situs Liyangan di Temanggung, Jawa Tengah

Situs Liyangan

Ngelmu.co – Mengenal Situs Liyangan di Purbosari, Ngadirejo, Temanggung, Jawa Tengah, yang terkubur lantaran letusan Gunung Sindoro.

Muncul cerita miring tentang keterbelakangan masyarakat Indonesia; pada periode tertentu.

Di mana oleh beberapa pihak, kadang cenderung dikonotasikan masih menyembah pohon dan batu; sebagai makna lain dari kata primitif.

Ternyata? Jauh dari kondisi tersebut.

Pada 2008 lalu, secara tidak sengaja, para penambang batu dan pasir menemukan sekumpulan batu-batu andesit yang tidak terlihat alami.

Batu-batu tersebut justru tampak seperti bagian struktur sebuah bangunan, atau artefak kuno yang tidak diketahui manfaatnya.

Selain itu, di tempat yang tidak terlalu jauh, penduduk juga menemukan sejumlah arca.

Termasuk lampu dari tembikar, dan batu-batu yang diduga kuat merupakan komponen bangunan candi.

Hasil identifikasi para ahli juga menunjukkan jika bangunan, mirip dinding penahan tanah yang sengaja dibuat untuk mencegah longsor.

Biasa disebut ‘talut’, terbuat dari kubus-kubus batu.

Bukan alamiah, karena lebih mirip dengan struktur hasil rekayasa lingkungan yang berkaitan dengan pertanian.

Lalu, dugaan itu makin kuat dengan penemuan beberapa artefak di sekitarnya.

Bukan candi seperti masyarakat menemukan artefak pada umumnya. Namun, ini lebih seperti pemukiman penduduk.

Sebuah kampung atau mungkin koloni, dengan maksud tertentu.

Koloni yang ditemukan itu juga diduga masih utuh, dan kemudian diidentifikasi, pernah tertimbun tanah selama 1.000 tahun.

“Dari mana tahu sudah tertimbun selama 1.000 tahun?”

Sama dengan temuan sarung sebuah keris.

Kira-kira begitu gambaran penemuan sebuah prasasti di Desa Peterongan, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, pada 1975.

Seperti sarung keris yang membutuhkan keris, demi makna lebih lengkap.

Para ahli kesulitan memaknai isi dari prasasti tersebut sebagai makna mencari keris itu sendiri.

Salah satu baris dari kalimat dalam prasasti bernama ‘Prasasti Rukam’ yang bertahun 829 Saka atau 907 M adalah ‘ilang dening guntur’, jelas merujuk pada sebuah desa yang hilang atau hancur akibat letusan gunung.

Menjadi masalah ketika hingga tahun itu, tidak ada bukti pernah ditemukan adanya desa yang benar-benar tertimbun akibat letusan gunung.

Beberapa pendapat ahli membuat analisa, bahwa itu terkait peresmian Desa Rukam.

Sebab, desa tersebut telah terlanda bencana letusan gunung api.

Namun, pada 2008, Situs Liyangan, ditemukan.

Liyangan bukan merupakan situs candi, tetapi sebuah desa yang benar-benar terkubur material sebuah gunung.

Adakah ini bukan tentang makna keris yang dicari demi jodoh pada sarungnya?

Bisa jadi, itulah makna sesungguhnya, atas ditemukannya prasasti rukam di tahun 1975.

Itu juga sangat masuk akal dengan letak keduanya yang tidak saling berjauhan.

Sama-sama berada di Kabupaten Temanggung.

Dugaannya, Gunung Sindoro yang meletus pada tahun 900-an atau lebih dari 1.000 tahun lalu, telah membuat desa itu terkubur.

Memberikan peninggalan utuh atas barang, meski tidak dengan jasad penduduknya.

Perkiraannya, warga Liyangan sudah mengungsi terlebih dahulu, sebelum Gunung Sindoro mengubur material desa itu.

“Dari mana bisa tahu tidak ada korban?”

“Bukankah sudah lebih dari 1.000 tahun? Artinya, jasad itu pun pasti sudah menjadi tanah, bukan?”

Sebab, peninggalan berupa biji-bijian dan berbagai alat rumah tangga–bahkan lukisan–konon, masih utuh.

Apalagi jasad manusia?

Demikian pula di Situs Liyangan. Padi, bumbu dapur, hingga ijuk sebagai atap, masih utuh. Namun, tanpa jasad.

Tidak ada satu pun petunjuk adanya korban manusia.

Tidak ada jasad mengering seperti padi, bumbu dapur, hingga banyak peralatan rumah tangga yang terbuat dari kayu dan mengering.

Maka para ahli, untuk sementara berkesimpulan bahwa rakyat sudah mendapat peringatan akan adanya letusan tersebut.

Itu mengapa mereka memutuskan untuk mengungsi.

“Apa bukti desa itu sudah maju?”

Salah satu ukuran maju adalah dari sisi pergaulan.

Pada Situs Liyungan terdapat banyak keramik yang diyakini ilmuwan asal Cina pada masa Dinasti Tang.

Berbagai guci dari Dinasti Tang, jelas terkait dengan dinasti dari Cina.

Sekaligus menandakan abad 7-9 Masehi; terkait masa jaya Mataram Kuno.

Selain sebagai pemukiman, tempat itu juga terdapat bekas lahan pertanian kuno.

Temuan yang berdasarkan jejak-jejak meliputi bentuk lahan, sistem pengairan, peralatan pertanian, dan tumbuhan serta bahan pangan yang sudah jadi arang.

Selain itu, di sana juga terdapat yoni pipih bundar berdiameter 2 meter.

Di mana itu berperan sebagai jantung pertanian kuno, karena berada di tempat yang paling tinggi.

Dugaannya, yoni tersebut juga sebagai pusat tempat upacara sebelum bertani.

“Berapa usia pemukiman itu?”

Kita ulas berdasarkan penelitian bertahap Tim Penelitian Situs Liyangan Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sejak 2010 hingga November 2018, situs serta peradaban dari manusia, perkiraannya sudah ada sejak abad 2 Masehi.

“Buktinya?”

Bangunan megalitikum berupa formasi pada area pemujaan yang berundak teras atau punden berundak yang ditemukan di sana, jelas tentang ciri khas sebuah masa pra Hindu.

Itu terkait abad 2-5 Masehi, dan kita tahu, bahwa pengaruh India baru ada pada abad 4 Masehi.

Maka hadirnya ‘boulder’ yang menyusun candi dan masih polos, itu bercerita tentang abad 6-7 Masehi.

Sementara pada hadirnya tempat pemujaan yang merupakan lokasi candi petirtaan untuk pemandian dengan bebatuan yang menyusun badan candi, sudah berupa blok-blok batu dan lengkap dengan relief.

Maka itu jelas terkait dengan masa kejayaan Mataram Kuno, abad 9 Masehi.

Bisa jadi, Situs Liyangan merupakan tempat tinggal para saksi mata sekaligus pelaku pembangunan banyak candi.

Mulai dari Dieng, Gedong Songo, Borobudur, hingga Prambanan.

Letak Situs Liyangan juga benar-benar berada di tengah candi-candi tersebut.

Bukti-bukti itu dapat ditemukan pada Situs Liyangan yang terkubur lebih dari 1.000 tahun, dan relatif utuh.

Pompeii

Setelah bicara soal Situs Liyangan, mari kita ulas Pompeii.

‘Kiamat’ mungkin menjadi kata paling sepadan untuk menggambarkan skala luar biasa mengerikannya kondisi Pompeii.

Tepatnya pada 24 Agustus, 79 Masehi; sekitar 2000 tahun lalu.

Kota pelabuhan besar dan modern di Italia pada zaman Romawi kuno itu ‘dipaksa hilang’ dalam seketika.

Kota itu tertimbun material panas; debu Gunung Vesuvius, yang meletus dengan skala luar biasa.

Pada 1748, kota itu digali.

Seperti membebaskan jiwa-jiwa terperangkap, berbagai bangunan berikut segala isinya yang terbebaskan itu, segera bercerita.

Cerita pertama adalah tentang duka. Sekitar 25 ribu penduduk kota yang meninggal.

Mereka terjebak dan tidak punya kesempatan untuk lari menyelamatkan diri.

Cerita lainnya adalah seperti dibekukan, bagai barang yang sengaja disimpan agar tetap utuh; tanpa cacat sedikit pun.

Kota itu juga bercerita tentang siapa dirinya, tanpa bumbu tambahan.

Tidak sedikit pun terlihat makna menua pada kota itu. Hukum waktu seolah tidak berlaku.

Debu panas awan vulkanik Gunung Vesuvius–yang konon menyelimuti kota itu–telah mengusir semua kelembapan udara.

Sekaligus mencegah terjadinya pembusukan.

Namun, tercatat juga bagaimana letusan Gunung Vesuvius di Naples, Italia, tahun 79 sebelum Masehi yang membenamkan kota zaman Romawi Kuno, Pompeii.

Pasalnya, sampai saat ini, ia masih terus menyisakan misteri.

Salah satunya adalah tentang penemuan jasad manusia yang membatu, dengan posisi tangan menyentuh selangkangan.

Meski Parco Archeologico di Pompei [lembaga pengawas khusus untuk memantau warisan arkeologi Naples dan Pompeii] segera mengklarifikasi.

Bahwa jasad itu bukan seperti yang dibicarakan banyak orang [tengah masturbasi]. Namun, jagat maya telanjur mengetahui.

Banyak jasad ditemukan di Pompeii.

Mereka adalah korban ketika kota itu musnah seketika; tertelan awan panas yang menyapu sekaligus mengubur Pompeii di bawah abu vulkanik setebal lima meter.

Tragedi meletusnya Gunung Vesuvius yang membenamkan kota kuno Pompeii–di bawah kota modern Naples–kini selalu membuat penasaran.

Rumor serta spekulasi, berembus seiring riset yang terus berlangsung; sejak 1748.

Tepatnya saat Pompeii digali dari kedalaman perut bumi.

Bencana yang menimpa Pompeii, bahkan diartikan dengan bermacam makna.

Bagi peneliti Romawi, Pompeii juga menjadi situs sejarah bernilai tinggi.

Namun, di sisi lain, Pompeii juga memiliki citra negatif dalam sejarah manusia.

Layaknya cara pikir bahwa bencana selalu merupakan azab langit atas perilaku manusia yang tamak dan ugal-ugalan.

Pompeii juga punya cap buruk tersendiri, yakni sebagai kota yang terkena kutukan akibat perzinaan.

Orang Romawi memang menganggap Pompeii sebagai surga dunia.

Di sana, industri hiburan dan seks berdenyut kencang. Termasuk secara lisan; dari generasi ke generasi.

Fakta, legenda, serta mitos juga bercampur baur.

Dalam tulisan kuno Affairs of the Heart karangan Lucian, tergambar kisah dua orang; Charicles dan Callicratidas, yang melakoni perjalanan.

Mereka yang terobsesi kejantanan, mendapati sebuah taman mewah di tengah jalan.

Keduanya menyusuri taman indah tersebut. Namun, langkahnya terhenti karena sebuah patung.

Pose serta aura patung itu sangat menggoda mereka untuk kemudian melakukan tindakan aneh; yang lebih baik tidak diceritakan.

Charicles dan Callicratidas pun menyesal.

Mereka akhirnya bunuh diri.

Kisah itulah yang kemudian juga menggambarkan Pompeii sebagai kota penggoda iman.

Barang-barang temuan di reruntuhan Pompeii juga menunjukkan bagaimana seks menjadi napas di kota itu.

Bahkan beberapa artefak hasil galian sejak abad ke-18, menunjukkan karya seni Pompeii, kerap berbau berahi.

Penis ereksi mewujud dalam ragam karya seni. Mulai pahatan dinding, hingga patung.

Bahkan, masyarakat Pompeii menganggapnya sebagai simbol keberuntungan.

Film dokumenter Sex in the Ancient World: Prostitution in Pompeii; garapan Kurt Sayenga, juga menunjukkan banyak pahatan ‘phallus’ di reruntuhan Pompeii.

Analisis arkeolog University of Cambridge, Prof Andrew Wallace-Hadrill, menyebut bahwa artefak serta bangunan di sana, mengindikasikan prinsip masyarakat yang begitu menggandrungi seks.

Wallace-Hadrill juga mengatakan, komodifikasi seks sebagai sesuatu yang jamak.

Bahkan menjadi ciri khas Pompeii, di antara kota Romawi lain.

Hal itu terlihat, misalnya, pada beberapa bangunan yang memiliki ukuran besar serta berisi kamar-kamar kecil dengan jumlah banyak.

Kamar-kamar itu adalah ‘cellae meretriciae’, dan sebutan rumah tersebut–secara gamblang–adalah bordil.

Bordil paling terkenal adalah Lupanare Grande di pusat kota Pompeii.

Bangunan dua lantai itu menjadi bordil tertua dalam sejarah dunia.

Di mana pada bagian dalam temboknya, penuh dengan gambar pornografi.

Dalam catatan arkeolog Prof Thomas McGinn, prostitusi di Pompeii juga terstruktur rapi.

Setidaknya, Pompeii punya 41 bordil komersial yang tersebar di seantero kota.

Masing-masingnya punya fasilitas andalan, dengan variasi layanan seks.

Amfiteater Pompeii yang megah, tidak jarang juga menawarkan atraksi tari bugil.

Mengapa Pompeii bisa seperti ini?

Salah satunya lantaran 80 persen penduduk mereka, berasal dari kalangan menengah ke bawah.

Mereka mudah tergiur gelimang uang.

Para tuan pemilik bordil juga mendapat dukungan dari seluruh masyarakat.

Prostitusi Pompeii kesohor di seluruh wilayah Roma.

Selain punya banyak tempat lokalisasi, jasa seks di Pompeii juga terbilang murah; daripada di wilayah lain Romawi.

“Seks adalah mata uang di Romawi kuno,” tulis McGinn.

Masyarakat Romawi yang secara umum patriarki juga tidak begitu menganggap seks sebagai ruang privat.

McGinn mengisahkan, ada sebuah situs yang dahulu menjadi rumah mewah milik golongan kaya.

Tidak ada ciri fisik bangunan layaknya bordil.

Namun, ketika menyusuri lebih dalam, terdapat satu ruangan dengan karikatur serta pahatan layaknya bordil.

Ternyata, tempat itu biasa digunakan pemiliknya untuk pesta seks dengan mengundang pekerja seks komersial atau ‘teman perempuan’.

Pada masa jayanya, Pompeii menjelma kota hiburan yang digandrungi di Mediterania.

Posisi strategisnya sebagai kota penghubung perdagangan komoditas dan jalur transportasi, membuat banyak orang mampir ke sana untuk ‘bersenang-senang’.

Jika dunia mengetahui ‘what happens in Vegas stays in Vegas’ alias ‘segala sesuatu yang menyenangkan hanya terjadi di Vegas’, di mana setelahnya menjadi kenangan, tidak berlebihan jika pada masa Romawi Kuno, slogan itu berbunyi ‘what happens in Pompeii stays in Pompeii’.

Selanjutnya? Abu vulkanik Vesuvius menyapu dan menyekapnya dalam kolam kenangan.