Menguji Moral Politik Prabowo

Oleh: Erwyn Kurniawan (Penulis dan Jurnalis)

Bagaimana rasanya dikhianati dalam politik? Tanyakan saja pada Prabowo Subianto. Capres dari Partai Gerindra itu sudah merasakan pahitnya pengkhianatan.

Di Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat, Prabowo membuat kesepakatan tertulis dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada 16 Mei 2009. Keduanya maju dalam pilpres menantang Susilo Bambang Yudhoyono.

Salah satu klausul perjanjian menyatakan bahwa PDIP akan mendukung Prabowo dalam hajatan pilpres 2014 sebagai calon presiden. Tapi apa mau dikata, janji tinggal janji. Megawati meninggalkan Prabowo dan memilih Joko Widodo maju dalam pilpres 2014.

Prabowo kecewa. Ia mengaku sudah meminta waktu bertemu dengan Megawati untuk membahas Perjanjian Batu Tulis. Tujuannya guna mempertanyakan komitmen PDI Perjuangan atas perjanjian yang ditandatangani di atas meterai tersebut.

“Kalau memang harus diakhiri, saya berharap diberi tahu. Saya sudah minta bertemu sejak beberapa bulan lalu,” katanya.

Kekecewaan serupa juga dialami Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo.

“Kami kecewa. Waktu itu saya saksikan sendiri penandatanganannya,” kata Hashim. Pertemuan Batu Tulis dihadiri Hashim, Fadli Zon, serta Muchdi Purwoprandjono dari kubu Gerindra. Sedangkan dari kandang banteng ada Puan Maharani, Pramono Anung, dan Tjahjo Kumolo.

Sebelum tragedi Batu Tulis, Prabowo juga sudah dikhianati oleh pihak yang sama. Jokowi yang dijagokannya dalam Pilgub DKI Jakarta 2012 tiba-tiba saja mencalonkan diri sebagai capres pada 2014. Prabowo pun akhirnya harus head to head dengan sosok yang justru diorbitkannya. Lagi-lagi ada PDIP disini.

Zaman bergulir. Jelang pilpres 2019, kesempatan berkhianat kembali terbuka. Tapi kali ini bukan oleh PDIP dan Mega, melainkan Prabowo sendiri.

Begini ceritanya. PKS dan Gerindra selalu seiring sejalan. Dimulai dari pilpres 2014 saat PKS memproklamirkan diri sebagai pendukung Prabowo dalam barisan Koalisi Merah Putih. Ketika Prabowo takluk dari Jokowi-JK, PKS tetap setia. Sedangkan partai pendukung lain lompat pagar. Hingga kini, hanya PKS dan Gerindra yang tersisa dalam barisan oposisi.

Suka duka dilalui PKS dan Gerindra. Riak-riak kecil sempat menggangu hubungan keduanya. Tapi berhasil dilewati. Di sisi lain, PKS kerap menunjukkan kesetiaannya pada Prabowo.

Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, partai dakwah itu mengikhlaskan kadernya Mardani Ali Sera untuk tidak dicalonkan jadi cawagub. Begitu pula di Pilkada Jawa Barat 2018, saat PKS harus mengikuti keputusan Prabowo yang menduetkan Sudrajat dengan Ahmad Syaikhu. Padahal sebelumnya, PKS sudah mensosialisasikan pasangan Deddy Mizwar-Ahmad Syaikhu.

Tapi PKS rela mengikuti langkah politik Prabowo. Selain tentu saja alasan untuk kepentingan umat dan menyerap aspirasi ulama.

Kesetiaan PKS ini bukannya tak diperhatikan Prabowo. Dalam banyak kesempatan, Prabowo memberikan pujian kepada PKS.

“Saya berterimakasih. Hampir di setiap acara Partai Gerindra, Pak Sohibul selalu menyempatkan hadir,” ungkap Prabowo.

“Sehingga, kalau banyak yang bilang, kalau PKS adalah sekutu Gerindra, sebenarnya tidak demikian. Mereka bukan sekadar sekutu, tapi segajah. Sebab, kedua partai ini sama-sama besar,” seloroh Calon Presiden dari Gerindra itu.

Kini, godaan untuk berkhianat menari-nari di pelupuk mata Prabowo. Pasalnya, ada Partai Demokrat yang masuk dalam barisan koalisi. Dan sudah jadi rahasia umum bahwa partai berlambang mercy itu getol menggolkan anak SBY yakni Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres.

Nama AHY menambah daftar sosok kandidat cawapres Prabowo, setelah sebelumnya ijtima’ ulama sepakat merekomendasikan Ketua Majelis Syuro PKS Habib Salim Segaf Aljufri dan Ustadz Abdul Somad sebagai pendamping Prabowo dalam Pilpres 2019.

Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai Prabowo memiliki tanggungjawab moral politik terkait ijtima’ ulama. Pertama, rekomendasi tersebut merupakan hasil ijtima’ ulama yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dari Sabang sampai Merauke,”katanya.

Sebagian besar dari yang hadir di dalam ijtima’ tersebut adalah para ulama yang turut terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam gerakan 212 pada 2016 silam. Karena itu, menurut Ubeidilah, rekomendasi tersebut sulit untuk diabaikan Prabowo. “Secara jaringan, sebagian dari jaringan Prabowo adalah bagian dari gerakan tersebut,” ujarnya.

Kedua, direkomendasikannya nama Habib Salim Segaf Aljufrie dan penceramah Ustadz Abdul Somad adalah sosok yang memiliki basis massa sosial keagamaan yang kuat. Habib Salim Segaf Aljufrie adalah seorang Doktor, ulama yang memiliki basis sosial keagamaan yang kuat di wilayah Indonesia Tengah dan Timur. Habib Salim juga pernah menjabat sebagai menteri sosial dan duta besar. Sementara itu Abdul Somad adalah ustadz dengan jutaan pengikut di dunia maya dan nyata yang terus bertambah.

“Secara moral politik, Prabowo tidak bisa mengabaikan PKS, apalagi sikap PKS yang pernah legowo menerima Anies Baswedan sebagai calon Gubernur DKI meskipun Cawagub kader PKS Mardani Ali Sera harus mundur dari pencalonannya,” paparnya.

Jika Prabowo mengabaikan ini, maka adagium bahwa dalam politik tidak ada kawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi, akan kian mendapatkan pembenaran. Atau dengan kata lain,

“Sama artinya Prabowo mengajarkan pengabaian moralitas dalam politik,” jelas Ubeidlah.

Akankah Prabowo tak mengkhianati PKS dan mengikuti ijtima’ ulama?