Mengulik Lebih dalam soal Pelabelan Politik ‘Radikal’

Ngelmu.co – Sudah bukan rahasia, jika saat ini, pemerintah Indonesia sedang gencar-gencarnya memperkenalkan kebijakan, dalam rangka membersihkan radikalisme, dari berbagai lingkup pemerintahan, termasuk pelayanan publik, guna menegakkan komitmen terhadap ideologi negara, Pancasila.

Aduan ASN

Seperti yang dilakukan oleh 11 pihak, mulai dari kementerian hingga badan kepengurusan negara lainnya, yang menandatangani keputusan untuk menangani radikalisme, di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Melalui situs resmi, pemerintah memungkinkan masyarakat luas, untuk bisa melaporkan ASN, yang dinilai terpapar radikalisme. Entah dari perilaku, hingga unggahan di media sosial yang bersangkutan.

Tujuan situs tersebut, menurut Menkominfo, Johnny G Plate, adalah untuk menyatukan serta meningkatkan kinerja para pegawai negeri, dan mendorong tingkat nasionalisme mereka.

Sementara gerakan Islamis populis yang disebut anti-liberal dan anti-demokrasi, dinilai sebagai kenyataan dan ancaman bagi demokrasi, karena istilah ‘radikal’ mencakup makna sangat luas.

Digunakan untuk Membungkam?

Namun, tak bisa dipungkiri jika istilah ‘radikal’, telah digunakan untuk membungkam, hingga mendiskreditkan pihak yang bersebrangan dengan pemerintah.

Meskipun politisasi institusi pemerintah bukanlah fenomena baru di Indonesia.

Namun, seperti dilansir situs Indonesia at Melbourne, pola politisasi badan-badan pemerintah Indonesia kali ini bisa dibilang memprihatinkan.

Bukan hanya karena definisi radikalisme yang tidak jelas, tetapi juga karena retorika ini menargetkan ekspresi ‘pandangan anti-nasionalis’, yang tak kalah samarnya.

Subjektivitas yang akrab dengan istilah ‘Islamis’ dan ‘ekstremis’, bisa memberikan ruang bagi pemerintah, untuk membersihkan pasukan keamanan serta layanan sipil sesuka hati.

Menjadi mengkhawatirkan, karena dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah mulai menggunakan label ‘radikal’, untuk mendiskreditkan aktivis, individu, hingga beberapa lembaga.

Baca Juga: Apa Itu Radikalisme?

Seperti pada bulan September lalu, saat pemerintah Indonesia meloloskan revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang isinya justru dinilai melemahkan serta membatasi ruang gerak hingga kekuasaan penyelidikan.

Menjelang pengumuman perubahan legislatif ini, KPK juga terkena imbas, di-cap sebagai sarang radikalisme.

Hingga mengakibatkan agama dari anggota KPK, menjadi sasaran, bahkan gaya berpakaiannya pun turut dinilai, dalam upaya mendiskreditkan mereka.

Seperti penyelidik senior KPK, Novel Baswedan, yang kasus penyiraman air keras terhadap dirinya, hingga hari ini belum terungkap, justru dituding oleh para pakar sebagai anggota sel radikal yang tidur dalam kerahasiaan.

Gaya Berpakaian yang Jadi Sorotan

Gaya berpakaian Novel, dengan celana cingkrang (di atas pergelangan kaki), serta jenggot panjangnya, juga menjadi sorotan.

Namun, KPK terus mempertahankan diri di arena publik, dengan bekerja bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), untuk membuktikan jika memang tidak ada radikalisme dalam ‘tubuh’ mereka.

Novel pun menyampaikan, adanya kekhawatiran label ‘radikal’ akan digunakan dengan cara yang sama, seperti label ‘komunisme’, di era Orde Baru.

Tujuannya? Tak lain untuk membungkam mereka yang berlawanan dengan pemerintah.

Pengaturan Waktu Hingga ‘Bingkai’ yang Dicipta

Pengaturan waktu dugaan radikalisme terhadap KPK menjadi penting, mengingat mereka membingkai institusi, dengan cara tertentu, saat pemerintah berusaha melemahkan kekuasaannya.

Bahkan, ada dugaan jika ini merupakan kampanye kotor, yang sengaja diatur sedemikian rupa, agar masyarakat Indonesia ikut mendukung pelemahan KPK.

Kekhawatiran ini disampaikan oleh Hermawan, yang berpendapat bahwa retorika anti radikal saat ini, lebih mirip dengan ‘perburuan penyihir’, daripada kebijakan yang dirancang dengan hati-hati.

Situasi baru bisa berubah, jika kebijakan pro-nasionalis (anti-radikal) ini diklarifikasi.

Definisinya diperjelas, hingga berdampak pada budaya politik Indonesia yang demokratis, serta kemandirian politik dari lembaga-lembaga pusat demokrasi.