Berita  

Menyusul Naiknya Kasus Corona di Indonesia, Layanan RS Terancam Kolaps

Kasus Meningkat Rumah Sakit Kolaps
Petugas yang mengenakan pakaian pelindung bersiap untuk memeriksa WNI yang dievakuasi dari kapal pesiar Diamond Princess, sebelum diangkut ke pulau Sebaru untuk observasi, di bandara Internasional Kertajati di Majalengka, Provinsi Jawa Barat, Indonesia, 1 Maret 2020. Antara Foto/Muhammad Adimaja

Ngelmu.co – Penambahan kasus positif virus Corona terendah selama sepekan, berada di angka 2.880, yakni pada Senin (7/9) lalu. Selebihnya, pada tanggal 2, 3, 4, 5, 6, 8, dan 9, meningkat di atas 3.000 kasus per hari. Dengan rincian:

  • Penambahan 3.075 kasus positif pada Rabu (2/9);
  • Penambahan 3.622 kasus positif pada Kamis (3/9);
  • Penambahan 3.269 kasus positif pada Jumat (4/9);
  • Penambahan 3.128 kasus positif pada Sabtu (5/9);
  • Penambahan 3.444 kasus positif pada Ahad (6/9);
  • Penambahan 3.046 kasus positif pada Selasa (8/9); dan
  • Penambahan 3.307 kasus positif pada hari ini, Rabu (9/9).

Potret ini jelas berkaitan dengan tingkat keterisian tempat tidur–bed occupancy rate (BOR)–di rumah sakit.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, pun mengakuinya.

Ia, tak menampik jika kapasitas tempat tidur di RS, mengalami peningkatan.

Dari yang semula di bawah 40 persen, kini justru melebihi persentase itu.

Salah satu daerah yang tingkat keterisian tempat tidur isolasinya meningkat cukup pesat adalah DKI Jakarta.

Melihat keadaan ini, Epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina, pun mengingatkan pemerintah.

Ia mengimbau, bahwa kasus COVID-19, dapat tak terkendali jika tidak ada perubahan dalam upaya mitigasi wabah.

Masdalina menjelaskan, kondisi ini disebut surge capacity, di mana jumlah kasus melampaui batas kapasitas kemampuan layanan kesehatan yang dimiliki pemerintah.

Bagaimana cara mencegah surge capacity? Dengan batas kasus yang perlu dirawat, tak lebih dari 20 persen batas kapasitas layanan kesehatan.

“Kalau pengendalian kita tetap seperti ini, sangat besar kemungkinan kita bisa surge capacity,” tegasnya, seperti dilansir CNN, Senin (7/9).

“Karena apa? Enam bulan ini, kita seperti tidak melakukan apa-apa,” sambung Masdalina.

Menurutnya, sejauh ini, Satuan Tugas Penanganan COVID-19, belum bekerja maksimal.

Salah satu indikasinya adalah tidak sedikit kepala dinas kesehatan di daerah yang hanya bertugas sebagai juru bicara perkembangan kasus Corona.

Padahal, kata Masdalina, kepala dinkes akan lebih berguna jika dikerahkan sebagai Wakil Ketua Satuan Tugas.

Tetapi terlepas dari itu, ia mengingatkan, agar layanan kesehatan berani memutuskan kondisi kasus mana yang dapat di-isolasi mandiri, dan mana yang perlu perawatan.

Masdalina mengimbau, kasus yang perlu dirawat hanya yang bergejala sedang, berat, dan kritis.

Pengambilan keputusan ini dinilai bisa berguna untuk mencegah surge capacity.

“Yang [gejala] ringan ini tidak butuh bantuan obat, tapi dengan upaya peningkatan daya tahan tubuh,” jelas Masdalina.

“Kalau sedang, butuh bantuan obat. Kalau berat, butuh bantuan alat seperti oksigen, ventilator. Kalau kritis, membutuhkan ICU,” imbuhnya.

Baca Juga: Positivity Rate COVID-19 DKI Tembus 14 Persen, Epidemiolog: Kondisi Sudah Darurat

Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada, Donny Achmad, juga ikut memberikan penilaian.

Menurutnya, peningkatan sumber daya manusia dan logistik pada layanan kesehatan, tak bisa seutuhnya diandalkan dalam penanganan COVID-19.

Pemerintah, lanjutnya, harus mengutamakan upaya penekanan penyebaran virus.

Kondisi wabah bisa dilihat dari tingkat penyebaran virus. Walaupun kasus terus bertambah, jika positivity rate turun, artinya penyebaran kasus berhasil ditekan.

Sayangnya, hal itu, kata Donny, tak terjadi di Indonesia.

Sebab, saat ini positivity rate di Indonesia, masih tinggi. Begitupun dengan penambahan kasus harian.

Penyebaran COVID-19, kata Donny, masih berlangsung dengan masif dan cepat.

Ia menduga, penyebaran ini disebabkan oleh sikap pemerintah yang tak lagi mau mengetatkan pembatasan sosial serta ekonomi, seperti di awal pandemi.

“Padahal yang namanya new normal, seharusnya bukan situasi bagaimana kita melonggarkan, tapi mengencangkan mobilitas penduduk,” tegas Donny.

Surge capacity, lanjutnya, bisa dihitung dengan mempertimbangkan sejumlah kondisi:

  • Jumlah kapasitas layanan kesehatan, dan
  • Kondisi pasien dari keseluruhan kasus aktif.

Layanan kesehatan, kata Donny, dapat dinilai kewalahan, meski jumlah kasus sedikit.

Kondisi itu dapat terjadi jika layanan kesehatan tak didukung kemampuan logistik yang memadai.

Maka Donny mengatakan, pemerintah harus memiliki rencana mitigasi yang efektif, terutama saat terjadi lonjakan kasus yang tiba-tiba.

“Saat ini tersedia sekian banyak bed [di rumah sakit], kalau tiba-tiba ada lonjakan kasus, plan pemerintah seperti apa?” tanyanya.

“Itu akan mempengaruhi overwhelm atau tidak layanan kesehatan,” pungkas Donny.

Beralih ke DKI Jakarta, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat, dr Widyastuti, menyebut laju penularan COVID-19 saat ini luar biasa cepat.

Kapasitas RS, akan terus ditingkatkan guna menghadapi bertambahnya pasien.

Namun, Dinkes DKI Jakarta, memprediksi jika upaya ini tak bisa bertahan lama.

Widyastuti menjelaskan, bahwa pihaknya sudah membuat perhitungan dengan memperhatikan data penambahan kasus COVID-19, dan pasien sembuh harian.

Disebutkan, bahwa tanpa ada intervensi lebih ketat, tidak menutup kemungkinan kapasitas RS, akan 100 persen terisi.

“Memang benar, kalau tanpa intervensi, tidak akan cukup. Perlu intervensi yang lebih masif dan besar,” tegas Widyastuti, Rabu (9/9).

“Kami membuat angka prediksi, sampai Desember, tidak akan cukup,” sambungnya.

Saat ini, DKI Jakarta, berencana kembali menambah sekitar 5.500 tempat tidur, dengan membuka RS Umum Daerah dan RS Swasta.

Tetapi menurut Widyastuti, hal ini cukup sulit, karena peningkatan kapasitas tak cukup hanya dengan menambah tempat tidur.

Sumber dayanya juga harus dipikirkan. Dinkes DKI Jakarta, pun mendukung diterapkannya kembali PSBB yang lebih ketat; berkoordinasi dengan daerah lain.

“Kalau hanya Jakarta (PSBB), tentunya kurang. Perlu lebih tegas dari pihak tim pusat, mengatur Jakarta dan sekitarnya,” tutup Widyastuti.