Berita  

Min Aung Hlaing, Sosok Kontroversial yang Pimpin Kudeta di Myanmar

Min Aung Hlaing Tindas Muslim Rohingya

Ngelmu.co – Panglima tertinggi Myanmar–satu dekade terakhir–Jenderal Min Aung Hlaing adalah sosok kontroversial yang ada di balik kudeta negara tersebut, Senin (1/2) kemarin.

Pimpin Kudeta Myanmar

Jelang masa pensiunnya, Aung Hlaing, memegang pengaruh politik yang signifikan.

Ia, berhasil mempertahankan pengaruhnya pada jajaran militer di Myanmar, Tatmadaw [sekalipun pasca transisi menjadi negara demokrasi].

Sebelum ini, Aung Hlaing, mendapat kecaman serta sanksi internasional, atas dugaan perannya dalam serangan militer.

Ia, memimpin penindasan terhadap populasi Rohingya tanpa kewarganegaraan Myanmar, pada 2017 silam.

Setelah Myanmar, kembali ke bawah kepemimpinannya–pemerintahan militer–Aung Hlaing pun tampak akan memperluas kekuasaan.

Ia, juga terlihat hendak membentuk ‘masa depan’ negara, dalam waktu dekat.

Perjalanan Karier

Berusia 64 tahun, Aung Hlaing, telah menjalani seluruh kariernya di militer–bergabung sebagai seorang kadet.

Aung Hlaing merupakan pernah menjadi mahasiswa hukum di Universitas Yangon, serta masuk ke Akademi Layanan Pertahanan [merupakan upaya ketiga, berhasil di tahun 1974].

Aung Hlaing terus mendapat promosi reguler. Karier terus menanjak, sampai akhirnya ia, menjadi komandan Biro Operasi Khusus-2, pada 2009.

Jabatan itu membuat Aung Hlaing, harus mengawasi operasi militer di Timur Laut Myanmar [penyebab puluhan ribu pengungsi etnis minoritas melarikan diri dari provinsi Shan bagian timur, dan wilayah Kokang, di sepanjang perbatasan Tiongkok].

Meski pasukannya dituding melakukan pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran, karier Aung Hlaing, tetap menanjak, hingga pada Agustus 2010, menjabat kepala staf gabungan.

Tidak sampai satu tahun, ia kembali dipercaya menjabat panglima tertinggi, di depan jenderal senior.

Aung Hlaing, menggantikan pemimpin lama, Than Shwe, pada Maret 2011 lalu.

Di saat yang sama, penulis Hla Oo [mengaku saling kenal di masa kanak-kanak], menggambarkan yang bersangkutan sebagai pejuang tangguh dari tentara Myanmar yang ‘brutal’.

‘Genosida’ dan Pengaruh Politik

Aung Hlaing, memulai masa jabatannya sebagai panglima militer ketika Myanmar transisi ke demokrasi, tahun 2011 [sebelumnya di bawah pemerintahan militer].

Pengaruh politik serta kehadirannya di media sosial naik drastis, saat Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan (USDP) [yang didukung militer] memimpin pemerintahan.

Sementara di tahun 2016, ketika Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) [yang dipimpin Aung San Suu Kyi] berkuasa, Aung Hlaing, nampak beradaptasi.

Dengan bekerja serta tampil di acara publik, bersama pemimpin de facto Myanmar itu, Suu Kyi.

Meski ada perubahan dalam peta politik Myanmar, Tatmadaw, mempertahankan 25 persen kursi di parlemen dan jabatan penting di kabinet, terkait keamanan.

Seraya menolak upaya NLD untuk mengubah konstitusi, serta membatasi kekuatan militer.

Baca Juga: Militer Myanmar Tahan Aung San Suu Kyi Hingga Presiden Win Myint

Di tahun 2016-2017, militer mengintensifkan tindakan represi terhadap etnis minoritas Rohingya, di negara bagian Rakhine Utara [menyebabkan banyak Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar].

Maka itu dunia mengutuk Aung Hlaing, atas tuduhan ‘genosida’, hingga pada Agustus 2018, Dewan Hak Asasi Manusia PBB, mengatakan:

“Para jenderal militer tertinggi Myanmar, termasuk Panglima Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing, harus diselidiki dan dituntut atas genosida di Negara Bagian Rakhine utara, serta kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di Negara Bagian Rakhine, Kachin dan Shan.”

Mengutip BBC, tak lama setelah pernyataan Dewan HAM PBB, Facebook, juga menghapus akun Aung Hlaing.

Bersama dengan individu serta organisasi lain yang dinilai telah melakukan atau memungkinkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serius di Myanmar.

Amerika Serikat (AS) bahkan menjatuhkan sanksi sebanyak dua kali, pada 2019, atas dugaan perannya dalam ‘pembersihan etnis’, dan pelanggaran HAM.

Sementara pada Juli 2020, Inggris, juga menjatuhkan sanksi untuk Aung Hlaing.

Merebut Kekuasaan

Pemilu Myanmar, November 2020, mencatat kemenangan besar bagi NLD–berdasarkan data resmi pemerintah.

Namun, beberapa bulan setelahnya, Tatmadaw dan USDP [yang didukung militer berulang kali], menolak hasil tersebut.

USDP, menuding adanya kecurangan Pemilu yang meluas. Klaim yang kemudian ditampik oleh komisi pemilihan umum, sebelum sidang parlemen–untuk memastikan pemerintahan baru.

Tetapi spekulasi adanya kudeta, terus berkembang, di tengah perseteruan antara pemerintah dan militer.

Pada 27 Januari, Aung Hlaing, mengingatkan bahwa, “Konstitusi akan dihapuskan, jika tidak diikuti”, mengutip contoh kudeta militer di tahun 1962 dan 1988.

Tampaknya, militer membalikkan sikap ini pada 30 Januari, dengan mengatakan bahwa media telah salah menafsirkan kata-kata pejabatnya tentang penghapusan konstitusi.

Namun, pada Senin (01/02) dini hari, Tatmadaw justru menahan Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan para pemimpin senior lainnya.

Mereka, kemudian memberlakukan keadaan darurat selama setahun.

Aung Hlaing? Mengambil alih semua kekuasaan negara untuk periode ini, dalam kapasitasnya sebagai panglima tertinggi–sekaligus memprioritaskan dugaan kecurangan Pemilu.

Penyelidikan

Pertemuan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional yang Aung Hlaing pimpin, mengaku akan menyelidiki klaim kecurangan Pemilu dan mengulangnya [secara efektif membatalkan kemenangan NLD].

Awalnya, Aung Hlaing, akan mundur sebagai panglima tertinggi setelah mencapai usia pensiun, 65 tahun, pada Juli 2021.

Namun, ia justru mendapat waktu, setidaknya satu tahun, untuk memegang tampuk kekuasaan. Bahkan, berpotensi lebih lama, dengan kembalinya Myanmar ke pemerintahan militer.

Pasalnya, saat Myanmar menghadapi masa depan yang tidak pasti dengan keadaan darurat ini, Aung Hlaing, telah memperkuat kekuasaannya, sekaligus mengambil alih negara.