Berita  

Minta Polisi Usut Penyebar Video UAS, MUI: Semua Pihak Tahan Diri

Penyebar Video UAS

Ngelmu.co – Wakil Ketua Umum, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid Sa’adi meminta pada kepolisian untuk mengusut siapa pihak pertama yang menjadi penyebar video UAS, yang kini viral di media sosial.

“MUI meminta kepada aparat kepolisian, untuk mengusut pengunggah pertama video yang diduga mengandung konten SARA tersebut, untuk mengetahui motif, maksud, dan tujuan dari pelakunya,” tutur Zainut secara tertulis, seperti dilansir CNN, Senin (19/8).

Ia menyayangkan, beredarnya video Ustadz Abdul Somad  itu, karena berpotensi menimbulkan polemik, dan mengganggu keharmonisan umat beragama di Tanah Air.

Pertanyakan Motif Penyebar Video UAS, MUI Minta Semua Pihak Tak Terprovokasi

MUI mengimbau kepada semua pihak, agar menahan diri, tidak terpancing dan terprovokasi pihak-pihak yang sengaja ingin mengadu domba antar-umat beragama.

“Semua pihak harus bersikap tenang, hati-hati, dan dewasa dalam menyikapi masalah tersebut, agar tidak menimbulkan kegaduhan dan membuat masalahnya menjadi semakin besar dan melebar kemana-mana,” lanjut Zainut.

Ia juga meminta kepada semua tokoh agama, khususnya umat Islam, untuk bersikap arif dan bijaksana dalam menyampaikan pesan-pesan agama.

Menghindarkan diri dari ucapan yang bernada menghina, melecehkan, serta merendahkan simbol dari agama lain.

Penyampaian pesan-pesan agama yang melecehkan atau menghina agama lain, selain dapat melukai hati umat beragama, disebut Zainut, juga tidak dibenarkan oleh hukum maupun ajaran agama.

“MUI memahami masalah keyakinan terhadap ajaran agama adalah sesuatu yang bersifat sakral, suci, dan sensitif bagi pemeluknya,” kata Zainut.

“Sehingga hendaknya semua pihak menghormati dan menghargai keyakinan agama tersebut sebagai bentuk penghormatan dan toleransi dalam kehidupan beragama,” imbuhnya.

UAS Tak Berniat Mencela Agama Lain

Sementara Wakil Ketua Komisi Dakwah MUI, Fahmi Salim mengatakan, tak sepantasnya masyarakat mempermasalahkan subtansi ceramah yang dilakukan para tokoh agama.

Menurutnya, UAS tak berniat mencela agama lain. Sebab, Alquran pun melarang bagi pemeluk Islam untuk mencela sesembahan agama lain.

Segmentasi subtansi ceramah para pemuka agama, termasuk UAS, pasti ditujukan untuk para penganut agama masing-masing.

“Tidak pada tempatnya memperkarakan tokoh agama yang berceramah agama, ditujukan kepada penganut agamanya sendiri, apalagi disampaikan di tempat khusus, seperti rumah ibadah,” tuturnya, seperti dilansir CNN, Ahad (18/8).

“Ada ayat yang menyatakan jangan kamu mencela sesembahan orang musyrik yang menyembah selain Allah, itu sangat jelas maknanya larangan mencela secara terbuka dan tanpa landasan ilmu pengetahuan, tujuannya semata-mata untuk memperkeruh toleransi umat beragama dan menciptakan situasi chaos dalam masyarakat beragama,” lanjut Fahmi.

Bukti Sejarah Terus Berulang.

Menurutnya, kasus ceramah UAS, serupa dengan peristiwa yang pernah dialami Ketua MUI pertama, H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka).

Buya Hamka, diceritakan Fahmi, pernah berceramah di Masjid Agung Al Azhar sekitar tahun 1960.

Saat itu, Buya Hamka berceramah dengan menyebut Islam di Indonesia sedang dalam bahaya, akibat wabah intoleransi dan tudingan anti-Pancasila.

Ceramah itu pun, akhirnya sampai ke telinga Soekarno, yang sedang menjabat Presiden kala itu.

Soekarno memberikan tanggapan secara tidak langsung dalam pidatonya, untuk membantah tudingan Buya Hamka tersebut.

“Bung Karno bereaksi dan menyatakan dalam sambutan peringatan Maulid Nabi Muhammad di istana negara, ada orang yang mengatakan Islam dalam bahaya di Republik ini,” cerita Fahmi.

“Sebenarnya orang yang berkata itu sendirilah yang sekarang dalam bahaya,” lanjutnya.

Tak lama kemudian, ungkap Fahmi, tepatnya pada tahun 1964, Buya Hamka dijebloskan ke penjara.

Tuduhanannya adalah Buya Hamka hendak menggulingkan pemerintah, berencana membunuh presiden dan menteri agama, hingga kontra-revolusi.

Itulah mengapa, Fahmi mengatakan, tak ada alasan untuk mengharamkan ceramah seorang pemuka agama, yang membandingkan konsep agama lain, jika disampaikan secara internal.

“Tidak dengan tujuan merusak harmoni sosial, maka tidak ada alasan logis dan legal untuk mengharamkannya, karena itu adalah bagian dakwah,” pungkasnya.

Sementara untuk menyelesaikan permasalahan ini, MUI menyarankan agar para pihak-pihak dapat menempuh jalur musyawarah dengan mengedepankan semangat kekeluargaan dan persaudaraan.

Namun, jika jalur musyawarah tidak dapat dicapai kata mufakat, maka jalur hukum adalah pilihan yang paling terhormat.

“Untuk hal tersebut, MUI meminta kepada semua pihak untuk tetap tenang dan menghormati proses hukum yang berlaku, sehingga suasana kehidupan dalam masyarakat tetap kondusif, rukun, aman, dan damai,” pungkas Zainut.