MK Telah Berubah Menjadi ‘The Guardian of Oligarchy’

MK Guardian of Oligarchy

Ngelmu.co – Mahkamah Konstitusi (MK), sudah berulang kali menolak permohonan pengujian terhadap Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu.

Walaupun para pemohon mengajukan pengujian dengan pasal berbeda yang terdapat pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Begitu pun dengan argumentasi konstitusionalnya yang juga berbeda.

Dalam permohonan kali ini, MK, menyatakan bahwa permohonan para anggota DPD, tidak punya legal standing.

Maka pihaknya menyatakan ‘tidak dapat diterima’.

Partai Bulan Bintang (PBB), punya legal standing, tetapi seluruh permohonannya ditolak.

MK tetap kukuh dengan putusan sebelumnya, yang mungkin dianggap sebagai ‘yurisprudensi’, yang menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Saya juga pernah menggabungkan norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), dan Pasal 22E UUD 1945, dengan menggunakan tafsir sistematik, untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu, bertentangan dengan UUD 1945.

Namun, MK malah mempreteli ketiga pasal itu satu demi satu, untuk mendukung pendapatnya sendiri, bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional.

Selain itu, MK juga selalu mengemukakan argumen bahwa norma Pasal 222 itu adalah untuk memperkuat sistem presidensial.

Padahal ‘executive heavy‘ yang ada dalam UUD 1945, sebelum amandemen, sudah sejak lama ditentang.

UUD 1945 pasca-amandemen, justru menciptakan check and balances antarlembaga negara.

Tidak ada hubungan korelatif antara presidential threshold dengan ‘penguatan sistem presidensial’, sebagaimana selama ini di-dalilkan oleh MK.

Politik begitu dinamis, oposisi bisa berubah menjadi partai pemerintah, hanya dalam sekejap.

Pasal 222 itu adalah ‘open legal policy‘ presiden dan DPR, yang tidak dapat dinilai oleh MK.

Saya telah membantah seluruh argumentasi hukum MK tersebut.

Namun, sampai saat ini, MK tetap kukuh dengan pendiriannya, bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstutusional.

Dalam pandangan saya, MK tidak seharusnya kukuh dengan pendapatnya semula, karena zaman terus berubah, dan argumen hukum juga terus berkembang.

Baca Juga:

Dalam fikih, tokoh sekaliber Imam Syafii (767-820 M) saja, bisa mengubah pendapat hukumnya dengan merumuskan ‘qaul jadid‘ atau pendapat baru, dan meninggalkan ‘qaul qadim‘ atau pendapat terdahulu.

Sebab, situasi atau ‘ratio legis’ yang mendasari lahirnya sebuah norma hukum, telah berubah.

MK tidak seharusnya mempertahankan sikapnya yang kaku dan banyak dikritik para akademisi.

Sehingga, MK terkesan ‘jumud’ dengan perubahan hukum yang terjadi begitu cepatnya dalam masyarakat kita.

Dengan ditolaknya permohonan PBB dan para anggota DPD ini, serta juga permohonan-permohonan yang lain yang akan diajukan, maka demokrasi kita kini makin terancam, dengan munculnya oligarki kekuasaan.

Calon presiden dan calon wakil presiden yang muncul, hanya itu-itu saja.

Dari kelompok kekuatan politik besar di DPR, yang baik sendiri atau secara gabungan, mempunyai 20 persen kursi di DPR.

Hal yang paling aneh dalam demokrasi kita akan terjadi.

Calon presiden yang maju adalah calon yang didukung oleh partai politik, berdasarkan threshold hasil pemilihan anggota legislatif lima tahun sebelumnya.

Padahal dalam lima tahun itu, para pemilih dalam pemilu sudah berubah, formasi koalisi dan kekuatan politik juga sudah berubah.

Namun, segala keanehan ini tetap ingin dipertahankan oleh MK.

MK bukan lagi ‘the guardian of the constitution‘ dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi ‘the guardian of oligarchy‘.

Ini adalah sebuah tragedi dalam sejarah konstitusi dan perjalanan politik bangsa kita.

Oleh: Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra