Muslim Uighur: Tak Ada Ramadhan Bagi Kami

Ngelmu.co – Di bulan Ramadhan, Muslim Uighur dilarang menjalankan ibadah puasa oleh pemerintah. Tak hanya regulasi pelarangan, tapi di sekolah-sekolah juga disediakan makan siang yang harus mereka makan.

“Kalau ada yang melanggar, konsekuensinya dipenjara. Sekali pun masih anak-anak. Dan untuk menebusnya, orangtua harus mengeluarkan uang yang sangat banyak,” ujar seorang mahasiswa, Shalahuddin, dalam wawancara pribadi melalui email.

“Sehingga bisa dipastikan tak ada lagi anak-anak sekolah yang menjalankan puasa Ramadhan,” imbuhnya.

Lalu, apa yang dilakukan? Apakah selama bulan Ramadhan tidak ada yang berpuasa sama sekali?

“Kami mengqodho-nya di bulan lain. Sehingga tidak terlalu mencolok. Kami juga mengqodho shalat pada kondisi-kondisi tertentu,” ungkapnya.

“Segala upaya dilakukan untuk menjauhkan kami dari Islam,” lanjutnya dengan air muka nan pilu.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un …

Saya jadi teringat saat melakukan perjalanan ke Andalusia tahun 2014 lalu. Ada situasi yang pernah terjadi di sana, yang mirip dengan yang dialami saudara-saudara kita di Uighur saat ini.

Sejarah mencatat, sesaat setelah Granada jatuh ke tangan Isabel dan Ferdinand, segala cara dilakukan untuk memastikan tidak ada Muslim yang tersisa. Isabel dan Ferdinand secara resmi membentuk Dewan Inkuisisi yang tugasnya memburu umat Islam.

Mereka memata-matai seluruh penduduk Andalusia. Bahkan yang sekadar ketahuan berdoa sambil menengadahkan tangan menghadap ke Timur saja, akan dibunuh. Mereka yang memakai pakaian terbaik di hari Jumat, juga dibunuh. Mereka yang ketahuan dikhitan? Dibunuh.

Setelah mengalami penyiksaan berkepanjangan, mereka yang sudah tua dan lemah akan dibiarkan hidup. Namun, harus menyaksikan anak dan cucunya memakan daging babi, meminum arak, hingga mereka meninggal karena nestapa yang berkepanjangan.

Setiap penduduk Andalusia juga diwajibkan menggantung paha babi yang dikenal dengan sebutan jamon, di depan rumahnya. Tradisi menggantung paha babi itu terus berlanjut hingga kini.

Dalam beberapa perspektif, situasi ini mirip dengan yang terjadi di Uighur saat ini. Pemerintah China mencoba memastikan, tak ada lagi syariat Islam yang dijalankan oleh Muslim Uighur.

Bahkan, seperti dilansir dari rfa.org, pemerintah China juga menerapkan aturan, adanya kader Partai Komunis China yang tinggal bersama keluarga Muslim Uighur selama 15 hari di bulan Ramadhan, untuk memastikan mereka tidak shalat dan puasa.

Mereka yang tercatat sebagai pegawai negeri atau pensiunan pegawai pemerintah pun, saat mengambil gaji atau uang pensiun, diharuskan untuk menandatangani dokumen yang isinya janji untuk tidak berpuasa dan shalat selama Ramadhan.

Dari tahun ke tahun, tekanan itu semakin hebat. Kalau sebelumnya kebijakan itu hanya mengikat pegawai negeri atau pensiunan pegawai pemerintah, kini mereka yang menandatangani dokumen juga bertanggung jawab untuk memastikan tidak ada teman dan keluarga yang berpuasa serta shalat.

Dilema ini tak hanya berat, tetapi juga membuat frustrasi. Sering kali mereka harus memaksa Ayah-Ibu atau Kakek-Neneknya untuk tidak shalat dan berpuasa selama Ramadhan. Padahal, Kakek-Neneknya adalah seorang alim yang telah menunaikan ibadah haji.

“Sebelum tahun 2016, kami masih bisa berpuasa Ramadhan meski dalam tekanan. Merasakan Shalat Ied di masjid, walaupun dilarang menggunakan pengeras suara, dan tidak boleh melakukan takbiran. Sama persis dengan peraturan shalat Jumat. Tapi saat ini, kami benar-benar dilarang melakukan semuanya,” tutur Shalahuddin, menumpahkan kegundahan hatinya.

Di Masjid Emin Minaret, seorang local guide di Urumqi dan Turpan, Mr Chang juga menjelaskan hal yang sama, yakni dulu, masjid masih boleh digunakan untuk shalat Ied.

“Namun, sesuai regulasi baru pemerintah, sekarang tidak boleh lagi digunakan untuk shalat,” ujarnya.

Di hari Lebaran, hanya boleh digunakan untuk kumpul keluarga sambil makan bersama di pelataran masjid.

Sementara, di negeri tempat Shalahuddin menempuh studi saat ini, Ramadhan disambut dengan sangat meriah. Seribu lentera dinyalakan. Jamaah shalat Tarawih meluber hingga ke jalan raya. Ifthar jama’i digelar di mana-mana. Termasuk di kampusnya.

Kurma-kurma terbaik dihidangkan. Ta’jil puasa dibagikan pada siapa saja yang mau. Seluruh keluarga berkumpul menikmati momen kebersamaan buka dan sahur.

Saya bisa membayangkan hati Shalahuddin yang masygul (sedih). Membayangkan, apakah Ayah, Ibu, Kakak, saudara dan tetangganya bisa menikmati indahnya Ramadhan kali ini?

Seringkali kita alpa, suka cita menyambut Ramadhan dilakukan dengan menumpuk makanan serta minuman sebanyak-banyaknya. Padahal, di belahan bumi yang lain, ada saudara-saudara kita yang melewati Ramadhan dalam nestapa. Bahkan untuk sekadar menjalankan syariat puasa pun, mereka tak bisa.

Saya deraskan doa, semoga Ramadhan kali ini, Allah izinkan lailatul qadr’ menyinari bumi Uighur. Membebaskan bangsa ini dari penguasa yang lalim.

Syahru ramaḍānallażī unzila fīhil-qur`ānu hudal lin-nāsi wa bayyinātim minal-hudā wal-furqān fa man syahida mingkumusy-syahra falyaṣum-h, wa mang kāna marīḍan au ‘alā safarin fa ‘iddatum min ayyāmin ukhar, yurīdullāhu bikumul-yusra wa lā yurīdu bikumul-‘usra wa litukmilul-‘iddata wa litukabbirullāha ‘alā mā hadākum wa la’allakum tasykurụn.

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang benar dan yang batil).

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur,” (QS. Al-Baqarah: 185).

Doakan saudara kita yang kini tengah teraniaya. Semoga kebahagiaan Ramadhan segera datang ke negeri mereka.

Ditulis Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler, dan Penulis Buku