Berita  

Nadiem Sebut 3 Dosa Besar Pendidikan, Warganet Berikan Jawaban Ini

Dosa Besar Nadiem

Ngelmu.co – Mendikbud Nadiem Makarim menyebut masih ada tiga dosa besar yang membayang-bayangi dunia pendidikan di Indonesia, sampai hari ini.

“Sampai hari ini kita masih dibayang-bayangi dengan tiga dosa besar dalam pendidikan, yakni intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan.”

Demikian kata Nadiem, dalam webinar ‘Perempuan Pemimpin dan Kesetaraan Gender‘ yang disiarkan melalui kanal YouTube Kemendikbud RI, di Hari Perempuan Internasional, Senin (8/3) kemarin.

Warganet Menjawab

Mendengar hal tersebut, mayoritas warganet yang merespons [khususnya pengguna media sosial Twitter] tidak sepakat dengan pernyataan Nadiem.

“Menurut saya hal yang lebih krusial: 1. Perbaiki fasilitas pendidikan, 2. Perbaiki gaji guru, 3. Kurikulum yang paten atau tidak berubah-ubah,” kata @DedyPrastyoID.

“Dosa besar pendidikan Indonesia adalah dikelola menteri yang bukan background profesional dunia pendidikan atau akademisi,” saut @graham_associat.

Pemilik akun @Irawan0713 juga menyampaikan pandangannya, “Dosa besar pendidikan yang sebenarnya ada pada pemerintah.”

“1. Kesejahteraan guru yang diabaikan, 2. Fasilitas pendidikan tidak merata,” imbuhnya.

“3. Memaksakan semua pelajaran pada semua siswa, 4. Menerapkan sistem rekruitmen sekolah terbaik,” sambungnya lagi.

Sementara @ronavioleta bertanya, “Jualan intoleransi juga, Dim @nadiemmakarim. Terus agama yang disalahin?”

“Tuh kesejahteraan guru honorer dan pendidikan yang tidak merata, apa bukan dosa besar bidang pendidikan?” lanjutnya.

Apa yang disampaikan @masTenky pun senada, “Jualan intoleransi masih laku untuk orang-orang yang anti Islam, karena memang pada intinya ‘Islamophobia’.”

“Padahal, Islam agama yang mengajarkan toleransi dalam Kitab Suci-nya,” imbuhnya.

Sedangkan soal ketiga dosa besar itu, menurut pemilik akun @gusfaniie, “Tiga-tiganya Anda lakukan terhadap Islam.”

Ada pula yang menanyakan, seperti apa contoh intoleransi dalam dunia pendidikan Indonesia.

“Coba saya pengin lihat statistiknya, dan analisanya… yang intoleran itu kalian-lah. Orang menerapkan agama yang diyakini kok dibilang intoleran,” ujar @kurdiyAttubany.

Baca Juga: Kiai Cholil Nafis Pertanyakan Tak Ada Frasa Agama dalam Peta Jalan Pendidikan

Dr Indra Kusumah, melalui akun Twitter dan Instagram pribadinya, @aindraku, juga ikut berkomentar.

“Yang digunakan istilah dalam agama –> dosa. Yang disalahkan urusan agama –> intoleransi. Terus, frase agama ditiadakan dari Peta Jalan Pendidikan?” tuturnya bertanya.

“Harusnya jadi solusi. Logika sekuler ini bahaya jika terus menyebar di negara yang berdasar Ketuhanan yang Maha Esa (Pasal 29 UUD 1945),” sambungnya.

Ustaz Abdullah Haidir, juga mengingatkan Nadiem, “Dosa yang lebih besar lagi dan tak terampuni kalau agama dicampakkan dari Peta Pendidikan Nasional, Pak Menteri. Sadarlah!” cuit @abdullahhaidir1.

Sedangkan menurut @PutraWadapi, “Pendidikan Indonesia selama ini baik-baik saja, rezim ini baru kita dengar intoleransi.”

“Kualitas pengajaran dan bahan ajaran gak disebut,” saut @AngrySipelebegu, tertawa.

Warganet lainnya juga ada yang justru menyinggung soal dosa besar pemerintah, “Tidak mampu menyelenggarakan pendidikan yang tepat sasaran dan dibutuhkan rakyat,” tulis @ImanTaufiq_13.

“Kirain cuma satu dosa pendidikan di Indonesia, yakni salah menempatkan orang jadi Menteri Pendidikan, sehingga melahirkan dosa turunan,” kritik @andi_amru_.

Sementara @aim_revolt2 dengan tegas mengatakan, “Dosa besar pendidikan Indonesia itu dilanggengkannya sekulerisme yang memisahkan pendidikan agama dan pendidikan umum.”

Pernyataan Nadiem juga tak lepas dari sorotan dr Andi Khomeini Takdir.

Baginya, dosa besar di dunia pendidikan Indonesia menyangkut, “Kesejahteraan Guru. Keteladanan dan Akhlak. Kesamaan Kesempatan,” demikian kicaunya lewat akun @dr_koko28.

Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengadakan webinar bertajuk, ‘Perempuan Pemimpin dan Kesetaraan Gender’.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ke-29 RI pun menyinggung awal mula diperingatinya Hari Perempuan Internasional, pada 8 Maret.

Peristiwa berawal pada 8 Maret 1857, ketika serikat buruh garmen perempuan di New York, Amerika Serikat (AS), menyuarakan aspirasi untuk mendapat upah yang layak.

“Semangat perjuangan serupa telah ditunjukkan perempuan Indonesia, dalam menggugat ketimpangan dan ketidakadilan gender di sekitar mereka,” kata Nadiem.

Berikut pernyataan yang bersangkutan, selengkapnya:

Perempuan Indonesia, kini dapat bersekolah sampai jenjang pendidikan tinggi, berkarier di ranah publik, dan menjadi pemimpin bagi keluarga atau rekan kerjanya.

Lalu, dengan demikian, bukanlah perjuangan telah usai, tidak.

Sebaliknya, perjalanan kita masih panjang. Sampai hari ini, kita masih dibayang-bayangi dengan tiga dosa besar dalam pendidikan, yakni intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan.

Ketiga hal tersebut sudah semestinya tidak lagi terjadi di semua jenjang pendidikan dan dialami oleh peserta didik kita.

Khususnya perempuan, karena siswa perempuan secara umum lebih rentan terhadap tindak kekerasan.

Tiga dosa besar dalam pendidikan tersebut sangat memengaruhi tumbuh kembang peserta didik, dan menentukan keputusan-keputusan yang akan mereka ambil untuk menggapai cita-citanya.

Kemendikbud telah berupaya mendorong terciptanya lingkungan belajar yang aman bagi peserta didik perempuan.

Melalui diterapkannya Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan [untuk tingkat PAUD, Sekolah Dasar dan Menengah].

Selain itu, saat ini kami sedang mendiskusikan rancangan Permendikbud Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

Mekanisme terbaik untuk menerima dan menindaklanjuti laporan tiga dosa besar pendidikan di PAUD, Sekolah Dasar, Menengah, yang datang dari guru, siswa, atau masyarakat.

Dan mekanisme terbaik untuk mendorong sekolah dan Perguruan Tinggi untuk membentuk satuan kerja pencegahan kekerasan.

Peraturan Menteri untuk Perguruan Tinggi dan mekanisme tersebut, kami rancang dengan penuh kehati-hatian dan pertimbangan.

Agar pelaksanaannya nanti dapat berjalan secara tepat dan sesuai dengan harapan, tetapi satu hal yang perlu diingat.

Kami hanya akan menjadi satu ombak kecil di tengah upaya menciptakan lingkungan yang mendukung bagi perempuan.

Hanya dengan kesadaran dan kemauan semua lapisan masyarakat untuk bersama-sama menebus dosa-lah, kita dapat memantik gelombang perjuangan.

Lingkungan belajar yang kondusif dan mendukung bagi perempuan.

Mulai dari rumah, sekolah, perguruan tinggi, sampai tempat kerja, akan mendorong lebih banyak kemunculan perempuan pemimpin di masa depan dengan kecerdasan dan karakter unggul.

Momentum Hari Perempuan Internasional ini menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa perjuangan menuju kesetaraan gender masih-lah panjang.

Dan membutuhkan gotong-royong semua golongan untuk mewujudkannya.

Mari terus pertahankan semangat Hari Perempuan yang telah hidup selama lebih dari satu abad ini untuk Indonesia setara bersama.