Berita  

Naiknya Iuran BPJS Jadi Bukti Pemerintah Lebih Utamakan Kekuasaan daripada Restu Publik

Jokowi Kembali Naikan BPJS

Ngelmu.co – Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan, di tengah pandemi COVID-19, dinilai menjadi bukti pemerintah lebih mengutamakan kekuasaan daripada restu publik.

Sebagaimana disampaikan Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah.

“Dari sini, bisa dilihat bahwa Jokowi, yang selama ini menjunjung perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik, justru melanggar apa yang di-upayakannya sendiri,” tuturnya.

Dilansir CNN, selain dinilai dapat mengangkangi hukum, kebijakan tersebut juga diterbitkan secara tak transparan.

Pasalnya, kebijakan diambil tak lama setelah Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Belum lagi, pemerintah pernah mengatakan, jika pihaknya akan menghormati putusan MA.

“Kebijakan yang seolah dibahas dan dikeluarkan secara diam-diam itu, secara nyata menunjukkan pemerintah tidak melangsungkan pemerintahan yang transparan,” kata Trubus.

“Padahal, transparansi seharusnya dilakukan sejak sebelum kebijakan dikeluarkan, kemudian di-sosialisasikan, dijelaskan, supaya publik tidak kaget, tidak gagap, percaya, dan mau menjalankan atau mendukung,” sambungnya.

Trubus mengaku khawatir, dengan cara pengambilan kebijakan yang seperti ini.

Sebab, bukan tidak mungkin pemerintah akan kehilangan kepercayaan dari publik.

Jika itu sampai terjadi, dampaknya akan membuat pemerintah semakin kewalahan.

Masyarakat akan terus menentang kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga tak bisa dijalankan.

“Kepastian hukum pun akan sulit ditemukan di Indonesia, kalau Jokowi semaunya,” kata Trubus.

“Pemerintah juga akan sulit menjalankan kebijakan, karena tidak ada partisipasi dari masyarakat,” lanjutnya.

“Ada semacam pemaksaan kehendak negara terhadap rakyat, ini akan berdampak jadi public distrust, karena tidak ada kejelasan, berubah-ubah, dan merasa tidak didengar,” sambung Trubus.

Diketahui, ketika iuran BPJS Kesehatan dinaikkan awal tahun 2020, melalui komunitas cuci darah, masyarakat langsung bergerak melawan.

Mereka menggugat kebijakan itu ke MA. Artinya apa? Kembali naiknya iuran BPJS Kesehatan, bukan tidak mungkin membuat hal itu terulang.

Terlebih, penggugat berhasil memenangkan gugatan sebelumnya, karena MA sepakat, kenaikan iuran melanggar konstitusi UUD 1945 dan peraturan perundang-undagan lain.

“Saya yakin, ini akan digugat lagi, apa pemerintah tidak lelah kalau begini?” ujar Trubus.

“Aturannya tidak jalan, terus nanti seperti ‘macan ompong’, dampaknya pun tidak bisa dirasakan,” imbuhnya.

Tak kalah penting, kebijakan yang hanya mengandalkan kekuasaan serta tidak memedulikan restu publik, akan rentan ditunggangi kepentingan politik.

“Ini memungkinkan penunggang bebas masuk untuk memanfaatkan, demi kepentingan politik,” kata Trubus.

Lebih lanjut ia menegaskan, tidak tepat menaikkan iuran BPJS Kesehatan sekarang, karena ekonomi masyarakat sedang tertekan akibat pandemi COVID-19.

“Ini ibarat kado pahit jelang lebaran, waktunya tidak tepat,” tegas Trubus.

Maka menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut.

“Kalaupun mendesak diubah, maka setidaknya berikan solusi lain bagi masyarakat, dan tentunya sosialisasi yang gencar, agar publik mengerti,” lanjut Trubus.

Ia juga menyoroti kebijakan diam-diam pemerintahan Jokowi, karena ini bukan yang pertama kali.

Pada pekan ini saja, pemerintah dan DPR, sudah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menjadi UU.

“Ini juga kebijakan yang terkesan diam-diam, ketika masyarakat fokus dengan hal lain, persoalan minerba ini justru di-sahkan,” kritik Trubus.

“Ini bukan masalah setuju atau tidak, tapi harus transparan,” sambungnya mengingatkan.

Terlebih, pengesahan RUU Minerba, juga dinilai memberi indikasi pemerintah dan DPR, tidak akuntabel.

“Sebab, pengesahan seharusnya disertai dengan pembahasan naskah akademik yang terbuka,” kata Trubus.

Baca Juga: Soal Iuran BPJS Kesehatan yang Kembali Naik, PKS: Pil Pahit Bagi Masyarakat

Demikian pula pendapat Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad.

Ia juga menganggap, kebijakan diam-diam mulai menjadi kebiasaan pemerintahan Jokowi.

Masalahnya bukan hanya transparansi, tetapi Tauhid menduga, pemerintah juga belum sempat berkomunikasi dengan Komisi IX DPR, mitra pemerintah di legislasi bidang kesehatan.

“Semua pihak, seharusnya diajak bicara juga, wacana dilempar dulu. Selain itu, seharusnya ada solusi yang disiapkan,” ujarnya.

Lagi-lagi senada dengan Trubus, menurut Tauhid, kebijakan diam-diam seperti ini, akan membuat pemerintah kewalahan.

Pasalnya, akan banyak peserta yang turun kelas dari Mandiri kelas I dan II, ke kelas III.

Setidaknya, hal ini sudah terjadi saat kebijakan kenaikan iuran kepesertaan perusahaan peralihan PT Asuransi Kesehatan (Alkes), awal tahun 2020.

Masalahnya, jika sampai ini terjadi, peserta di Mandiri kelas III, akan membludak.

Begitupun saat pelayanan kesehatan harus diberikan di fasilitas kesehatan (faskes) dan rumah sakit (RS).

Padahal, layanan kesehatan Mandiri kelas III, jelas belum tentu, dapat memenuhi permintaan peserta yang awalnya terbagi ke Mandiri kelas I dan II.

“Nanti, justru tidak bisa dilayani dengan baik, masyarakat dirugikan,” imbau Tauhid.

Maka Tauhid mengingatkan, pemerintah perlu membatalkan kembali rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Kalaupun kenaikan diperlukan, harus dilakukan dengan bertahap, agar tak membebani masyarakat di tengah pandemi COVID-19.

“Beri waktu dan ruang bagi masyarakat menyesuaikan pengeluarannya,” kata Tauhid.

Pemerintah, lanjutnya, juga perlu melakukan pendataan ulang bagi peserta Mandiri kelas III.

Mencocokkan data dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di Kementerian Sosial, untuk melihat mana yang benar-benar pantas dan tidak.

“Kalau perlu, sesuaikan pula data kepesertaan BPJS Kesehatan, dengan rekening nasabah di perbankan,” imbau Tauhid.

“Tujuannya, agar peserta yang benar-benar pantas berada di Mandiri kelas III, tidak bercampur dengan mereka yang mampu, dan pengambilan kebijakan bisa lebih sesuai dan tepat sasaran,” sambungnya.

Sementara untuk kebijakan lain, Tauhid seirama dengan Trubus.

Menurutnya, harus diterima jika kenyataannya saat ini, banyak kebijakan pemerintah yang terkesan tidak transparan, serta diambil secara sepihak dan diam-diam.

Seperti RUU Minerba yang disahkan jadi UU, dan omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja yang pembahasannya tetap berjalan, meski penentangan terus muncul.

Begitupun dengan kebijakan lain yang memunculkan penolakan hingga mahasiswa berdemo.

Semua ini jadi bukti nyata, jika pemerintah semakin mengandalkan kekuasaan, daripada mendengarkan publik.

“Yang harus dipentingkan bukan hanya investor, pemilik saham, dan kepentingan lainnya, tapi juga dampaknya ke masyarakat, pekerja,” tegas Tauhid.

“Parlemen pun harus terbuka dan menampung aspirasi rakyat,” pungkasnya.

Baca Juga: Sebut Jokowi Hormati Putusan MA, Dirut BPJS: Masih Dalam Koridor

Sebelumnya, MA telah membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, hingga kembali ke angka semula, yakni:

  • Kelas III sebesar Rp25.500,
  • Kelas II sebesar Rp51 ribu, dan
  • Kelas I sebesar Rp80 ribu.

Namun, Presiden Jokowi, kembali menaikkan iuran, dengan menerbitkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Dengan rincian iuran yang akan berlaku mulai 1 Juli 2020, sebagai berikut:

  • Kelas III tahun 2020 masih Rp25.500, tetapi mulai 2021 hingga tahun berikutnya, menjadi Rp35 ribu,
  • Kelas II menjadi Rp100 ribu, dan
  • Kelas I menjadi Rp150 ribu per orang per bulan.