Opini  

Neo Baru

Ngelmu.co“Horeee… kita naik pesawat Brompton.” Itulah ucap seorang penumpang Garuda pada temannya. Kemarin sore, saat mereka antre naik pesawat jurusan Surabaya-Denpasar. Saya ada di antara mereka.

“Pesawat Brompton”, ternyata sudah jadi nickname untuk A330-900 Neo pertama milik Garuda. Padahal itu pesawat Garuda terbaru. Padahal itu pesawat jenis Airbus A330-900 Neo.

Itulah pesawat yang kedatangannya ke Indonesia disambut dengan heboh. Itulah pesawat yang sampai Dirut Garuda dipecat, lantaran membawa sepeda Brompton dan motor besar Harley Davidson. Secara gelap.

Kemarin, para penumpang merasa bangga-bangga-sedih.

Bangga lantaran merasakan naik pesawat baru, yang bakal mengalahkan Boeing 787 dan Boeing 767, juga bangga karena Garuda sudah mampu membeli pesawat jenis ini, yang kini paling bisa diajak bersaing, konsumsi BBM-nya hemat 14 persen.

Sejak kedatangan “Pesawat Brompton” itu sebenarnya sudah dua lagi A330-900 Neo tiba di Jakarta.

Berarti Garuda kini sudah punya tiga. Masih akan datang lagi enam buah. Tahun depan, yang milik Citilink—anak Garuda—juga sudah datang. Satu buah.

Saya menyesal tidak naik kelas bisnis. Agar bisa membedakan dengan kelas bisnis pesaing Garuda, Cathay, Emirates, Qatar, dan seterusnya.

Kali ini saya naik ekonomi. Dengan logika: untuk apa jarak pendek naik bisnis.

Saya tidak mengira jurusan sependek Surabaya-Denpasar kemarin itu menggunakan pesawat berbadan lebar.

Teorinya, untuk jarak sedekat itu cukup dilayani dengan Boeing 737 atau A320. Bahkan cukup dengan pesawat baling-baling seperti ATR.

Maka begitu tahu ini adalah “Pesawat Brompton” saya bertekad untuk mampir ke kelas bisnisnya.

Sekedar tahu. Ternyata bagus sekali. Tidak kalah dengan milik perusahaan penerbangan negara maju.

Lalu saya mencari kursi saya di kelas ekonomi. Duduk di 38E. Sambil melongok fasilitas yang tersedia.

Tempat duduknya nyaman. Tidak ada cela sama sekali. Jarak antar kursi pun sangat longgar, biar pun ini kelas ekonomi.

Jarak antar kursi yang nyaman

Setelah take off, ada pengumuman menarik: pesawat ini dilengkapi wifi. Gratis! Bisa dilihat di ponsel masing-masing.

Saya langsung buka ponsel. Demikian juga dua penumpang seberang saya.

Penumpang bisa mendaftar dalam dua kategori. Sebagai pelanggan atau tamu.

Saya coba yang pelanggan. Ternyata harus isi banyak pertanyaan. Saya gagal untuk pertanyaan ke-5: apakah binatang peliharaan Anda.

Saya pun pindah ke pilihan lain: sebagai tamu. Cukup mengisi alamat email. Langsung connect.

Ada banyak pilihan: yang bayar USD 20, USD 16, USD 11, atau yang gratis.

Perbedaan harga itu berdasar besar kecilnya megabyte. Sedangkan yang gratis itu, hanya bisa untuk kirim teks. Cukuplah.

Saya bisa kirim WhatsApp ke teman, untuk membanggakan Garuda, bahwa saya bisa kirim WhatsApp dari pesawat Garuda terbaru.

Memang ada kiriman link berita ke ponsel saya. Umumnya soal perkembangan Jiwasraya. Tapi saya tidak bisa membukanya. Kecuali harus memilih yang membayar tadi.

Maka saya coba kirim WhatsApp ke teman tadi, yang saya anggap lebih tahu soal Jiwasraya.

“WA ini saya kirim dari pesawat Brompton yang terbang dari Surabaya ke Denpasar,” tulis saya.

“Hahaha… Top,” jawabnya.

Lalu ia bercerita tentang pertemuannya dengan seseorang yang tahu banyak tentang Jiwasraya.

‘Alhamdulillah’, kata saya dalam hati, tanpa saya tanya, teman itu akan bercerita tentang Jiwasraya.

“Infografis di medsos itu salah total,” katanya.

Memang, saya ingin bertanya itu. Apakah benar saya pernah menyetujui injeksi modal ke Jiwasraya pada 2012.

“Waktu itu memang ada usulan dari staf. Agar Jiwasraya disuntik modal. Tapi Pak Menterinya menolak usulan itu,” tulisnya.

Saya sendiri yakin tidak mungkin melakukan itu. Saya anti PMN, kecuali untuk industri strategis di bawah Kemenhan.

Tapi saya juga ragu, jangan-jangan saya benar menyetujuinya. Saya sudah banyak lupa. Sejak tidak jadi menteri lagi saya ingin cepat move on ke dunia lama, meski kenyataannya saya justru move in.

Muncul juga perasaan bersalah. Jangan-jangan saya dulu juga tertipu oleh direksi Jiwasraya. ‘Kan personalnya masih yang sama.

Saya mencoba menghubungi Dirut lama itu, yang pernah saya puji habis-habisan pada 2012 itu, yang saat itu mampu mencari jalan keluar yang brilian, selain injeksi modal yang saya pasti tidak setuju.

Ternyata ditemukan jalan lain. Alhamdulillah. Jiwasraya keluar dari kesulitan.

Sampai-sampai saya menyebutnya “Jiwasraya telah merdeka”. Merdeka dari beban triliunan.

Kebetulan saat itu menjelang 17 Agustus. Kata “merdeka” lagi menggema di mana-mana. Tapi yang benar-benar merasakan arti merdeka adalah Jiwasraya.

Maka teman itu saya kirim WA lagi. Mumpung ada internet gratis dari pesawat Brompton.

“Apakah tidak mungkin saat itu saya pun tertipu oleh angka-angka yang dipaparkan direksi Jiwasraya?“

Saya begitu ingin tahu jawabnya. Saya siap menerima kabar buruk, bahwa saya pun tertipu.

Saya juga ingin tahu: apakah dulu pun sudah dipraktekkan membeli saham-saham perusahaan yang lampu kuning?

Ataukah itu baru dilakukan belakangan, seperti yang tersiar di berita media dan di medsos?

“Setahu saya baru belakangan. Sejak tiga orang itu main-main di pasar modal,” tulisnya.

Ia menyebut nama tiga orang itu. Semuanya di luar direksi Jiwasraya. Semuanya jagoan goreng-goreng saham di pasar modal.

Saya berharap penerbangan ini tidak segera sampai. Agar lebih banyak lagi tahu soal Jiwasraya. Tapi Bali terlalu dekat. Sesaat kemudian sudah terdengar pengumuman terakhir: pesawat akan mendarat.

Tanda sinyal wifi pun hilang dari ponsel. Pesawat ini penuh sekali. Ini memang musim liburan. Manusia seperti air bah menuju Bali. Saya hanya mampir di Bali, untuk terus ke arah Tenggara.

Saya memuji Garuda, yang menggunakan pesawat besar di musim liburan ke Bali. Daripada menambah extra flight. Satu pesawat ini saja sama dengan menambah tiga extra flight.

Ujung sayap A330 Neo di atas Bromo

Di musim mudik lebaran pun baiknya ditempuh cara ini: masukkan pesawat besar ke jalur Jakarta-Surabaya, atau Jakarta-Medan. Jakarta-Makassar.

Pesawat Brompton yang saya naik ini pun baru tiba dari Amsterdam. Besoknya harus terbang ke Amsterdam lagi.

Di sela-sela waktunya itu masih bisa “mencangkul” dua kali: Denpasar-Surabaya-Denpasar. Balik lagi Denpasar-Surabaya-Denpasar.

Dulu, menggunakan pesawat besar untuk jarak pendek dianggap bunuh diri. Kini, dengan pesawat seefisien A330-900 Neo, teori itu perlu direvisi.

Kapten pilot A330 – 900 Neo Surabaya-Denpasar

Kini Airbus punya dua gacoan. Untuk pesawat kelas Boeing 737, Airbus punya A320 Neo, yang lebih efisien dari B737, untuk kelas Boeing 777, B787 dan B767, Airbus punya gacoan A330-900 Neo ini.

Garuda menjadi salah satu pembeli awalnya. Armada Garuda pun kian kuat, sudah bisa mengalahkan Malaysia Airlines.

Garuda memang terpuruk oleh Brompton, tapi semua orang harus segera move on.

Oleh: Dahlan Iskan

Baca Juga: Dahlan Iskan: Kecopetan Sebelum ke Amerika