New Normal: Old Disease plus New Campaign

New Normal Old Disease New Campaign
Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto mendampingi Presiden Jokowi meninjau kesiapan penerapan prosedur standar New Normal di sarana publik. Lokasi pertama yang dikunjungi Presiden Jokowi di sekitaran Stasiun MRT Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (26/5/2020).

Ngelmu.co – Mengapa penguasa bersikeras segerakan New Normal? Padahal, kurva belum melandai? Padahal, kebijakan yang sekarang saja amburadul?

Padahal, banyak peringatan dari para pakar, bahwa bahaya epidemi gelombang kedua, lebih mengerikan dari gelombang pertama?

Sebab, New Normal, sejatinya adalah tuntutan para kapitalis dan pemilik modal yang tidak mau terus merugi.

Para pemilik mal. Para pemilik jaringan hotel besar. Para pemilik maskapai penerbangan. Para pemilik raksasa migas.

Mereka yang selama ini ‘sakaratul maut’ akibat pandemi, berusaha untuk bangkit kembali.

Tentu saja, mereka tinggal menekan para penguasa beserta kroni mereka.

Toh, mereka dulu jadi penguasa lewat pemilu, yang kemarin di-support penuh oleh para kapitalis tersebut.

Lalu, bagaimana jika nanti rakyat kecil banyak yang sakit terpapar pandemi?

Tenang, penguasa telah menaikkan BPJS, jadi negara tidak akan rugi.

Rakyat dibiarkan berjuang sendiri, seperti dulu kita dibiarkan berjuang sendiri.

Lockdown tanpa bantuan negara, seperti amanat UU Karantina.

Lalu, apa yang harus kita lakukan?

Jangan mau ikut seruan New Normal. Jangan belanja ke mal, jangan bepergian, jangan beri kesempatan para raksasa kapitalis itu bangkit lagi.

Biarkan mereka meneruskan ‘sakaratul maut’ mereka sampai tuntas.

Tetap belanja ke tetangga Anda, tetap beli dagangan teman Anda.

Matikan TV, abaikan iklan. Usahakan beli barang dan jasa secara langsung. Hidupkan peer-to-peer economy.

Kalau Anda kena atau terancam PHK, segera bangkit dan ambil bagian dalam peer-to-peer economy tadi.

Tawarkan produk atau jasa secara langsung, kepada siapa saja.

Baca Juga: Mau Ngapain Silakan, Tapi Kami ‘Lakum Dinukum Waliyadin’

Saya melihat sendiri, tetangga, saudara, dan kerabat yang bisa survive dengan cara seperti ini.

Depan rumah saya misalnya, berhasil membuat Pizza, yang nyaris seenak Pizza Hut, dengan harga seper limanya. Jangan cengeng dan hidup tergantung orang terus. Saatnya mandiri.

Salah satu hikmah pandemi ini adalah hancurnya bisnis-bisnis leisure-lux bermodal dan berbujet iklan besar, dan bertempat di mal besar.

Bangkitnya banyak bisnis kecil dengan sistem direct selling. Hancurnya para pemakan riba, serta suburnya jual beli (al-bai).

Hancurnya pasar modal dan bursa, serta mulai digunakannya crowd funding ala syariah yaitu syirkah.

Tugas Anda hanyalah, membiarkan dan memberikan kesempatan kepada pandemi untuk menuntaskan semua tugasnya tadi.

Jangan terpancing propaganda New Normal.

Jika New Normal ini berhasil, maka kapal-kapal tanker minyak raksasa yang kemarin kebingungan terombang-ambing di lautan—karena semua kilang minyak penuh—mereka akan kembali mengucurkan dengan masif dan deras minyak-minyak mereka.

Harga minyak akan kembali naik. Para kapitalis akan kembali berpesta saling toast wine mahal.

Bumi? Akan kembali tercemar polusi.

Satu lagi, jangan paksaan anak masuk sekolah, jika Anda belum yakin. Mengingat anak-anak yang terdampak pandemi cukup banyak. Tetap pertahankan kelas online, atau lakukan home school sendiri.

Sudah saatnya anak-anak tidak lagi dicekoki dengan beban kurikulum, dan Anda mulai mendesain sendiri kurikulum terbaik buat mereka.

Intinya, biarkan pandemi ini menyelesaikan tugasnya untuk menghabisi peradaban kapitalis sekuler yang sejak awal memang sudah rusak ini.

Pada saat yang sama, kita belajar cara hidup yang baru, yang lebih sesuai dengan Islam.

Sampai terwujudnya bisyarah Baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam; tsumma takunu khilafatan ‘ala minhajin nubuwah.

Oleh: Yudha Pedyanto