Operasi Senyap JK Terkait ‘Perebutan’ Kursi PM Malaysia

Operasi Senyap JK

Ngelmu.co – Politik kelabu sedang menyelimuti Malaysia, belakangan ini. Penuh intrik dan intimidasi. Surplus dengan tipu daya dan muslihat. Defisit dalam akhlakul karimah. Sebagaimana disampaikan Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaludin, di laman Kompas, Senin (2/3).

Mahathir Mohamad, menyebut dirinya dikhianati oleh Muhyiddin Yassin, Perdana Menteri yang menggantikan posisinya.

Sedangkan tokoh oposisi lain, Anwar Ibrahim, justru merasa dirinya yang ditipu dan di-khianati oleh Mahathir Mohamad.

Praktik politik di Negeri Jiran, beberapa pekan terakhir merupakan pengukuhan ajaran Machiavelli, menghalalkan segala cara (end justifies the means).

Namun, sebenarnya apa pangkal kekisruhan semua ini? Berawal dari permufakatan antara Mahathir dan Anwar, dua tahun lalu.

Dua seteru itu, tiba-tiba menyatu, mendirikan partai koalisi untuk menggempur Najib Razak dan mendongkelnya.

Sukses gemilang. Mahathir kembali menjadi Perdana Menteri, lalu mengangkat Wan Azizah, istri Anwar, sebagai Timbalan Perdana Menteri.

Mahathir meyakinkan Anwar, jika dirinya hanya akan menduduki jabatan itu dua tahun.

Kemudian, tongkat kepemimpinan Malaysia itu, akan ia serahkan ke Anwar.

“Saya masih ingat, Jusuf Kalla mengingatkan Anwar ketika itu, ‘Apa betul permufakatan Anda dengan Mahathir sudah ditimbang-timbang? Bukankah Mahathir yang mengakhiri karier politik Anda dan memenjarakanmu?’, begitu JK menasihati Anwar,” beber Hamid.

“Itu yang lalu Pak Jusuf. Insya Allah, Mahathir Mohamad akan memenuhi janjinya,” jawab Anwar ke JK saat itu.

Sebelum dua tahun masa kepemimpinan Mahathir berakhir, Anwar sudah melakukan berbagai gerakan tagih janji.

Dengan pengalaman jam terbang yang begitu lama, Mahathir mengambil sebuah gerakan politik spektakuler.

Ia mengundurkan diri dan mendemisionerkan kabinetnya sendiri. Pengunduran diri pun diterima oleh Raja.

Tujuan politik Mahathir sangat jelas. Ia ingin meneruskan kekuasaannya, dan tak ingin ditagih janji oleh Anwar.

Asumsinya, setelah mengundurkan diri, ia kembali dipilih oleh Parlemen Malaysia.

Maka segala hal ihwal yang berkaitan dengan komitmen, janji, atau perikatan politik antara dirinya dengan Anwar, otomatis putus.

Mahathir melanggengkan kekuasaan. Bill tagihan dari Anwar, tinggal disobek begitu saja. Namun, menyaksikan itu, Anwar pun mulai meradang.

“Mahathir Mohamad mengkhianati saya,” ujarnya.

Tetapi kehendak Yang Maha Kuasa berkata lain. Muhyiddin Yassin melakukan gerakan politik, menggembosi suara Mahathir di parlemen.

Ia mengumpulkan suara-suara Mahathir itu, menjadi miliknya. Raja pun menolak mengangkat Mahathir.

Jadilah Muhyiddin, yang resmi menjabat sebagai Perdana Menteri. Mahathir? Gigit jari.

Sementara Anwar, tinggal mengenang harapan-harapan indah.

Di sini berlaku peribahasa, “Siapa yang menabur angin, dia akan menuai badai”. Mahathir dan Anwar, menuai badai itu.

“Menyaksikan politik Malaysia, saya pun teringat kejadian di tahun 2013,” kata Hamid.

“Saat itu, dua seteru, Najib Razak dan Anwar Ibrahim saling berhadap-hadapan untuk memperebutkan kursi Perdana Menteri, yang ketika itu sedang dijabat oleh Najib Razak,” lanjutnya.

Baca Juga: Bela Uighur, Ulama Malaysia: Boikot Produk China

Kampanye hitam kedua belah pihak tak terelakkan. Saling menohok. Membujuk JK, untuk memediasi mereka agar tak saling menghabisi.

Keduanya percaya, JK tak akan memihak kepada salah satu, karena mereka merupakan sahabat dekat JK.

JK pun bergerak cepat—saat itu sedang bulan puasa—ia dan Hamid, bolak-balik Jakarta-Kuala Lumpur.

Tepatnya, mereka meninggalkan Jakarta usai buka puasa, dan kembali setelah makan sahur di Kuala Lumpur.

Semuanya, dilakukan dengan prinsip operasi senyap. Tak ada yang tahu. JK menemukan formula jitu, ‘Harus ada power sharing’.

Siapapun yang menang, maka yang kalah harus mengakuinya. Pemenang akan memilih yang kalah sebagai Timbalan Perdana Menteri.

Di suatu malam, di Hotel Sheraton, Kuala Lumpur, Hamid dan Professor Yusril Ihza Mahendra, membuat draf perjanjian politik tersebut.

Begitu membaca draf perjanjian, Anwar senyum tersipu, dan langsung menerimanya.

Dengan ucapan Bismillah, di depan JK, Hamid, dan Yusril, Anwar menorehkan tanda tangannya. JK pun langsung memeluk Anwar.

Di malam yang sama, JK, Hamid, dan Yusril, membawa draf tersebut ke kediaman Najib.

Begitu membaca, Najib pun langsung akur. Hasil Pemilu, ternyata memihak ke dirinya. Anwar? Kalah. Namun, Anwar menolak hasil Pemilu, dan menganggapnya curang.

JK tak bisa menerima sikap Anwar, karena dianggap lari dari kesepakatan. Tetapi Anwar membangun alibi, “Pendukung saya menolak, Pak,” tuturnya kepada JK.

Dijawab dengan suara tinggi, “Pemimpin itu tidak boleh diatur oleh pendukung. Pemimpin yang mengatur pendukung,” tegas JK ke Anwar.

“Pak Jusuf, pada hari Pemilu berlangsung, ada orang asing dari Bangladesh dan Sri Lanka, masuk sebanyak 50 ribu orang. Mereka di-mobilisasi oleh Najib, untuk mencoblos Najib,” ujar Anwar berkelit.

Tetapi JK merespons Anwar dengan pemikiran logisnya.

“Anda tahu jumlah 50 ribu itu? Bila pesawat Boing 747, mengangkut 500 penumpang, maka harus ada seratus penerbangan Boing 747, hari itu mendarat di Malaysia,” kata JK.

“Logika Anda di mana? Lagian, bagaimana mereka mencoblos bila tidak bisa berbahasa Melayu? Mereka itu ‘kan orang asing,” imbuhnya.

Najib masih memberi waktu beberapa hari, sebelum mengumumkan kabinetnya.

Namun, Anwar tetap menolak, hingga beberapa waktu setelah itu, dirinya kembali masuk bui.

JK hanya mengatakan, “Nah, bila Anwar konsisten dengan kesepakatan, semua itu tidak perlu terjadi. Ia sudah jadi Timbalan Perdana Menteri, dan sebentar lagi jadi Perdana Menteri,” tuturnya.

“Dengan kisruh politik Malaysia kini, saya kira, JK duduk santai menonton televisi sembari diam-diam berkata dalam hati, ‘Anwar, I told you. You pay so much price. I feel sorry for you’,” kata pria yang juga pernah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia, Hamid.