Berita  

Ormas Keagamaan Kompak Tolak RUU HIP

Ormas Keagamaan Kompak Tolak RUU HIP

Ngelmu.co – Sejumlah Organisasi Masyarakat (Ormas) keagamaan menyampaikan pernyataan bersama, terkait Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang sedang dalam proses pembahasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Mereka tergabung dari beberapa ormas keagamaan, di antaranya adalah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), PersekutuanGereja-gereja Indonesia (PGI), Komisi HAK Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), mereka dengan kompak menuntut dihentikannya proses pembahasan RUU HIP.

Empat Poin Penolakan RUU HIP

Pernyataan bersama yang disampaikan langsung oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, berisikan empat poin yang intinya menolak RUU HIP.

Adapun pernyataan yang pertama, dikatakan bahwa Pancasila merupakan dasar negara dan sumber segala sumber hukum negara Republik Indonesia. Terlebih kedudukan serta fungsi Pancasila sudah sangat kuat. Sehingga, tak lagi memerlukan aturan yang justru berpotensi melemahkan Pancasila.

“Kedua, bahwa rumusan Pancasila sebagai dasar negara adalah sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,” kata Abdul Mu’ti.

Kemudian, ia juga menyampaikan, bahwasanya rumusan-rumusan lain yang disampaikan oleh individu atau dokumen lain yang berbeda dengan Pembukaan Undang-Undang Daar 1945, merupakan bagian dari sejarah bangsa. Dan seharusnya hal tersebut tidak perlu menjadi perdebatan. Sebab, hanya akan berpotensi menghidupkan kembali perdebatan ideologis yang kontra produktif.

Pengamalan Pancasila

Saat ini, yang diperlukan bangsa ini adalah internalisasi serta pengamalan Pancasila, baik dalam diri maupun kepribadian bangsa Indonesia. Serta implementasi Pancasila dan Perundang-Undangan, kebijakan, dan penyelenggaraan negara.

“Ketiga, bahwa pemerintah menyatakan menunda pembahasan RUU HIP oleh karena itu DPR hendaknya menunjukkan sikap dan karakter negarawan dengan lebih memahami arus aspirasi masyarakat dan lebih mementingkan bangsa dan negara di atas kepentingan partai politik dan golongan,” ujarnya.

Dan pernyataan yang keempat, Mu’ti mengatakan melihat kondisi saat ini, bangsa Indonesia tengah menghadapi wabah pandemi Covid-19 dengan berbagai dampak yang ditimbulkan, terutama dalam hal sosial dan ekonomi.

Oleh karena itu, semua pihak diharapkan bisa saling memperkuat persatuan dan bekerja sama untuk mengatasi wabah Covid-19, dampak yang ditimbulkan, serta menjaga situasi kehidupan bangsa agar lebih aman, damai, dan kondusif.

Dalam penyampaian pernyataan tersebut, turut dihadiri oleh beberapa pihak terkait. Di antaranya yakni Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KWI Romo Agustinus Heri Wibowo, dan Sekretaris Umum PGI Pendeta Jacky Manuputty.

Selain itu, dihadiri juga oleh tokoh PHDI KS Arsana, tokoh Permabudhi Pandita Citra Surya, dan Ketua Umum Matakin, Xs Budi S Tanuwibowo.

Menurut PBNU, penyebutan RUU HIP sama halnya seperti membongkar kembali falsafah bangsa yang telah usai. Oleh karenanya, PBNU mengusulkan agar RUU HIP segera ditarik.

Pancasila dan NKRI adalah Bentuk Final

Sebagaimana yang disampaikan oleh Sekretaris PBNU, Helmy Faishal Zaini, bahwa perumusan Pancasila dilakukan melalui proses yang panjang. Dan menurut NU, Pancasila merupakan titik temu adanya berbagai macam perbedaan pendapat, ras, dan golongan. Pada Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo menyatakan konsepsi kebangsaan kenegaraan bahwa Pancasila dan NKRI adalah bentuk final.

“Maka dalam konteks itu kita semua dikagetkan dengan munculnya perdebatan tentang RUU HIP, menurut hemat kami kalau ini (RUU HIP) diteruskan maka akan melahirkan satu keadaan yang kontraproduktif di tengah situasi kita sedang menghadapi Covid-19,” kata Helmy.

Dalam gelaran rapat bersama Badan Legislasi (Bales) DPR, pada Kamis (2/7/2020), Menkumham Yasona Laoly mengatakan, menurut UU, pemerintah memiliki waktu 60 hari guna merespons. Karena menurutnya, pemerintah akan terus mengkaji, serta menindaklanjuti masukkan melalui penghapusan pasal maupun rapat pembahasan bersama.

Baca Juga: Terkait RUU HIP, Politikus dan Sekjen PDIP Rieke-Hasto Diadukan ke Polisi

“Pemerintah masih punya jangka waktu panjang sejak diserahkan DPR,” kata Yasonna.

Pada rapat tersebut, ia juga memaparkan sejumlah opsi yang dapat dilakukan pemerintah. Antara lain bisa melalui mekanisme daftar penghapusan pasal-pasal tertentu. Atau bisa dengan menyurati DPR dalam bentuk rapat bersama untuk melakukan pembahasan kelanjutan RUU HIP.

“Nanti kita lihat perkembangannya. Pemerintah masih mempunyai jangka waktu yang panjang, masih ada waktu sejak diserahkan oleh DPR,” ujarnya.