Berita  

Otoritas Cina Hancurkan Lebih dari 100 Pemakaman Etnis Uighur

Pemakaman Etnis Uighur

Ngelmu.co – Kabar terkait penghancuran pemakaman etnis Uighur oleh otoritas Cina, diungkap oleh seorang penyair, Aziz Isa Elkun. Pria yang tak diterima di negara itu, mengaku harus mengungsi dari Xinjiang, hampir 30 tahun lalu.

Fakta Tentang Pemakaman Etnis Uighur

Cerita berawal dari sulitnya Aziz menghubungi ibunya. Ia mengatakan, setiap kali dirinya menelepon sang ibu, polisi mendatangi rumahnya.

Sampai akhirnya ketika sang ayah meninggal dunia, pada 2017 lalu, Aziz tetap tak bisa kembali ke Cina, meskipun ia ingin menghadiri pemakaman.

Satu-satunya cara yang ia pilih agar lebih dekat dengan keluarganya di saat duka menyelimuti, Aziz memutuskan, memantau pemakaman ayahnya, dari Google Earth.

“Saya tahu persis di mana letak makam ayah saya,” kata Aziz di rumahnya, London Utara, seperti dilansir CNN, 3 Januari lalu.

“Ketika saya masih kecil, kami akan pergi ke sana, beribadah di masjid, mengunjungi sanak saudara. Seluruh masyarakat terhubung dengan pemakaman itu,” lanjutnya.

Baca Juga: Narasi TV Bongkar Kebohongan Cina ke Rombongan Indonesia soal Kamp Uighur

Aziz rutin ‘mengunjungi’ makam ayahnya melalui Google Earth, selama hampir dua tahun.

Namun, pada Juni 2019, ia menemukan perbedaan pada foto satelit. Terdapat pembaruan, di mana pemakaman yang dulu ada, tak lagi terlihat, yang tersisa hanya sebidang tanah rata. Kosong.

“Saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya benar-benar terkejut,” kata Aziz.

Lebih dari 100 Pemakaman Etnis Uighur Dihancurkan

Diinformasikan, Cina telah menghancurkan pemakaman-pemakaman tradisional Uighur, dalam beberapa tahun.

Langkah itu disebut sebagai bagian dari upaya mengendalikan keyakinan Islam, serta kelompok minoritas Muslim Uighur, di perbatasan.

Oliver Darcy, wartawan senior CNN, mengaku telah melakukan penyelidikan panjang selama berbulan-bulan.

Berdasarkan informasi dari mayoritas masyarakat Uighur, serta hasil analisa ratusan gambar satelit, ditemukan lebih dari 100 pemakaman telah dihancurkan.

Sebagian besar dilakukan dalam dua tahun terakhir. Laporan ini didukung oleh berita-berita resmi, yang dirilis oleh pihak pemerintah Cina, dengan pernyataan ‘relokasi’ pemakaman.

Baca Juga: Turis Malaysia Ditahan Aparat Cina Usai Salat di Masjid Uighur

Sebenarnya, penghancuran pemakaman Uighur, pertama kali dilaporkan oleh kantor berita Prancis, AFP dan Analis Citra Satelit (Earthrise Alliance), pada Oktober 2019 lalu.

Pemakaman Etnis Uighur Dihancurkan Sejak 2014

Saat itu, setidaknya ditemukan 45 pemakaman yang telah dihancurkan, tepatnya sejak tahun 2014.

Reporter AFP yang mengunjungi beberapa situs pemakaman pun menemukan fakta serupa.

Ditemukan tulang-tulang di beberapa pemakaman, yang dikonfirmasi oleh para ilmuwan sebagai sisa-sisa tulang manusia.

Sementara CNN mengatakan, pihaknya telah mengidentifikasi lebih dari 60 pemakaman lain, yang kini tak lagi ada.

Mereka memeriksa ulang situs-situs yang diketahui oleh masyarakat Uighur di luar negeri, melalui gambar satelit yang diambil selama beberapa tahun terakhir.

Lewat Juru bicara Kementrian Luar Negeri, Pemerintah Cina pun tidak menyangkal pemberitaan ini (penghancuran pemakaman).

Dalam sebuah pernyataan, mereka mengatakan: Pemerintah di Xinjiang, sepenuhnya bertanggung jawab dan menjamin kebebasan seluruh kelompok etnis, untuk memilih pemakaman, dan metode penguburan.

Sementara pengumuman resmi ‘relokasi’ pemakaman di Kota Aksu Barat mengatakan, pemindahan tersebut dilakukan untuk memenuhi permintaan perencanaan kota, serta mempromosikan pembangunan.

CNN membagikan potret lokasi, sebelum dan sesudah, dengan lima pakar dari Kanada, Amerika Serikat, dan Australia, yang memiliki pengalaman budaya Uighur (citra satelit).

Bersama sejarawan Rian Thum, mereka menggunakan citra satelit sebagai bagian dari penelitiannya tentang Islam di Cina.

Thum menyatakan dengan yakin, jika mayoritas citra satelit yang dibagikan kepadanya merupakan pemakaman yang telah dihancurkan.

Sementara empat pakar lainnya memastikan situs-situs yang belum diteliti.

“Ini merupakan fenomena yang membentang di seluruh wilayah Xinjiang,” kata Thum.

Baca Juga: PBB Curigai Cina Hukum Mati Akademisi Uighur Secara Diam-Diam

Di sisi lain, Juru Bicara Kementrian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, dalam konferensi pers, 16 Desember 2019, mengatakan:

Kebebasan berkeyakinan penduduk sangat dilindungi di Xinjiang, dan penduduk setempat mendukung langkah-langkah pemerintah Cina untuk ‘memerangi terorisme serta menjaga stabilitas.

Krisis Kemanusiaan

Di bawa pengamatan internasional, Cina mendapat kecaman, usai dokumen-dokumen terkait kamp-kamp penahanan etnis Uighur, ‘bocor’.

Berbagai pihak memastikan, negara tersebut sengaja mengubah etnis Uighur, agar serupa dengan etnis Han, yang lebih banyak berbahasa Cina.

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengatakan, lebih dari dua juta orang dari minoritas etnis Muslim—termasuk Uighur—ditahan oleh otoritas Cina, dalam ‘kamp’, sejak tahun 2017.

Namun, pemerintah Cina terus menyangkal, dan menyebut pihaknya tak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Mereka berdalih, kamp-kamp tersebut merupakan pusat pelatihan kejuruan, yang dirancang untuk membasmi ekstrimisme agama, yang telah menyebabkan serangan teror.

Hal itu disampaikan oleh Kepala Wilayah Otonomi Xinjiang Cina, Shohrat Zakir, pada Juli 2019.

“Itu bukan kamp-kamp konsentrasi seperti yang disebut beberapa orang. Orang-orang datang dan pergi terus menerus. Kebanyakan telah kembali ke masyarakat,” tuturnya.

Baca Juga: Bela Uighur, Ulama Malaysia: Boikot Produk Cina

Sayangnya, dokumen bocor yang dirilis oleh media internasional pada November 2019, mengungkap fakta berbeda.

The Wall Street Journal (WSJ), membongkar adanya sebuah program pendidikan ulang ‘ideologi’, yang terkoordinasi, di pusat-pusat penahanan tersebut.

Berita ini jelas tak selaras dengan narasi pemerintah Beijing. Bukti itu juga bukan yang pertama. Sebab, beberapa orang yang pernah ditahan pun menceritakan hal serupa.

Mereka disiksa di dalam kamp, bahkan hingga dipaksa untuk berjanji setia kepada Partai Komunis Cina.

Baca Juga: Sudah Menginjakkan Kaki di Xinjiang, Ustaz Azzam Sodorkan Fakta ke YM

Dari video yang bocor, dengan penjagaan ketat, ditutup matanya dan dirantai, para tahanan terlihat diarahkan dari kereta.

Jika dilihat dari luar kamp, pemerintah Cina, nampak sedang berupaya menghapus unsur-unsur penting dari budaya Uighur.

Lebih dari satu juta pegawai negeri Cina, ditugaskan tinggal bersama keluarga para tahanan kamp, untuk memastikan mereka patriotik.

Baca Juga: Cina Menghancurkan Puluhan Masjid di Xinjiang

Selain pemakaman, gambar satelit dan laporan media juga menunjukkan, banyak masjid di Xinjiang, yang juga dihancurkan oleh otoritas Cina.

“Ini benar-benar sebuah upaya besar-besaran, untuk menghapus budaya Uighur, seperti yang kita ketahui, dan menggantinya dengan budaya yang disetujui Partai Komunis Cina,” kata Thum.

Lenyap dalam Hitungan Bulan

Para pakar dan aktivis mengatakan, pemakaman yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu, lenyap dalam hitungan bulan.

Menurut dokumen, pemakaman Sultanim yang terletak di tengah kota Hotan, telah berdiri lebih dari 1.000 tahun.

Diketahui, tempat yang merupakan salah satu pemakaman paling penting secara spiritual itu, rata sepenuhnya pada April 2019.

Berdasarkan investigasi AFP, beberapa pemakaman yang telah dihancurkan, digantikan dengan gedung-gedung modern.

Sebagian lokasi pemakaman Sultanim, terlihat di-alih-fungsikan menjadi tempat parkir.

Pada Mei 2017, para kerabat diberi waktu sekitar dua pekan, untuk datang dan mendaftarkan makam orang yang mereka cintai, sebelum relokasi dimulai.

“Makam-makam yang tidak didaftarkan selama waktu yang ditentukan, akan dilihat sebagai makam yang tidak diakui,” kata salah satu sumber yang tak menyebut namanya.

Alasan yang resmi penghancuran makam, disebut sebagai upaya pembangunan pemakaman ‘beradab’, demi mempromosikan kemajuan budaya dan ideologi.

Genosida Budaya

Kembali pada Aziz, ia mengaku tak tahu apa yang terjadi dengan jenazah ayahnya.

Tetapi dirinya juga tak bisa menghubungi keluarga yang tersisa di Xinjiang, sebab terlalu berbahaya bagi mereka yang masih tinggal di wilayah itu.

Berhubungan dengan dunia luar, akan membuat pengawasan polisi meningkat kepada mereka.

Seperti dilaporkan oleh Amnesty Internasional, mereka yang menerima panggilan dari luar negeri, bisa ditahan oleh pihak berwenang.

Aziz pun takut, ibunya yang sudah berusia 78 tahun—dalam keadaan tidak sehat—harus terseret kasus, jika ia salah bertindak.

Sebenarnya, Aziz juga khawatir, jika apa yang ia ungkapkan kepada media internasional, bisa berdampak negatif kepada keluarganya di Xinjiang.

Namun, Aziz merasa tak memiliki pilihan lain, selain ‘membongkar’ semua ini. Ia menyebut, apa yang terjadi di Xinjiang adalah sebuah ‘genosida budaya’.

“Kita tidak bisa hidup bersama lagi dengan (pemerintah), mereka telah melewati terlalu banyak garis merah,” pungkasnya.