Pandangan Utrecht Affair dan Darmono, Tentang Pendidikan Agama di Sekolah

Ngelmu.co – Belum lama berselang, jagad pendidikan dihebohkan oleh usul seseorang yang mengaku praktisi pendidikan, Setyono Djuandi Darmono atau S.D. Darmono. Menurutnya, pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan orang tua masing-masing, atau lewat guru agama di luar sekolah.

Setyono Djuandi Darmono

“Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda,” kata Darmono usai bedah bukunya yang ke-6 berjudul ‘Bringing Civilizations Together’ di Jakarta, Kamis (4/7/2019).

Chairman Jababeka itu menganggap, pendidikan agama di sekolah memicu lahirnya radikalisme, dan menyarankan Presiden Joko Widodo untuk meniadakan pendidikan agama di sekolah.

Pendidikan agama harus jadi tanggung jawab orang tua serta guru agama masing-masing (bukan guru di sekolah). Pendidikannya cukup diberikan di luar sekolah, misalnya masjid, gereja, pura, vihara, dan lainnya.

Utrecht Affair

Meskipun beberapa hari kemudian, usul yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku itu “diluruskan”, pendapat Darmono itu segera mengingatkan kita kepada suasana menjelang meletus pemberontakan berdarah Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia.

Ketika itu, serangan terhadap Islam –baik ajaran, organisasi, maupun penganutnya–meningkat. Pelatihan Pelajar Islam Indonesia (PII) di Kanigoro diserang, Alquran dibakar, dan sebagainya.

Di Universitas Brawijaya Cabang Jember, kelak menjadi Universitas Jember, pada 12 Mei 1964, Sekretaris Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Cabang Jember, Prof. Drs. Ernest Utrecht, S.H, mengeluarkan Surat Keputusan No. 2/64 yang menetapkan bahwa,

“Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi mahasiswa yang terlarang di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Cabang Jember.”

“HMI terlibat dalam PRRI/Permesta, Andi Sele, DI/TII Kartosuwirjo, percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno, agen CIA, dan subversif,” kata Utrecht.

Tuduhan yang sungguh-sungguh tidak punya dasar. Sejak datang di Jember pada 1962, melalui kuliah-kuliahnya di Fakultas Hukum, Utrecht telah gencar mendiskreditkan ajaran Islam, pendidikan agama Islam, dan HMI.

Dalam salah satu kuliahnya, dosen keturunan Belanda yang menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung dan MPR Sementara RI itu mengatakan:

“Dalam mencapai masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur, segala yang berbau agama harus disingkirkan. Saya sangat menyesal kuliah Pendidikan Agama diwajibkan di perguruan tinggi, karena menjadi alat propaganda saja,” tuturnya.

Tidak ada beda antara pendapat Darmono di tahun 2019, dengan pendapat Utrecht di awal tahun 1960-an. Sejarah berulang. Aktornya yang berubah.

Mahasiswa Melawan

Sebelum mengeluarkan keputusan melarang HMI, dalam kuliahnya, Utrecht melarang mahasiswanya masuk HMI.

Sedangkan untuk yang sudah telanjur masuk, diminta segera keluar. Jika tidak keluar, mahasiswa anggota HMI tidak akan diluluskan dalam mata kuliahnya.

Sikap arogan Utrech itu pun mendapat protes keras dari para mahasiswa yang diwakili oleh Dewan Mahasiswa Universitas Brawijaya (DM-UB).

DM-UB menilai, kuliah dan tindakan Utrecht telah merusak ketenangan, keutuhan, dan persatuan mahasiswa, sivitas akademika umumnya, yang selama ini telah terbina dengan baik.

Tetap dengan sikap arogan, Utrecht mengeluarkan surat terbuka kepada DM-UB, seraya mengatakan tidak lagi mengakui wewenang DM-UB terhadap mahasiswa FH Universitas Brawijaya Cabang Jember. Utrech juga memprovokasi Senat Mahasiswa FH untuk segera merombak DM-UB.

Merespons sikap arogan Utrecht, pada 16 November 1963 DM-UB mengeluarkan resolusi menuntut agar Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) melarang Utrecht mengajar di Universitas Brawijaya Cabang Jember.

Tentu saja, Utrecht menolak resolusi DM-UB. Penyelesaian dicari. Pimpinan Universitas, Dewan Penyantun, dan Pimpinan Yayasan berkumpul.

Sayangnya, pertemuan para pimpinan yang tidak dihadiri unsur lembaga kemahasiswaan itu cenderung menyalahkan DM-UB.

Di Tengah Hegemoni

Di tengah hegemoni, kekuasaan yang mencekam, masih ada dua orang pimpinan fakultas yang memiliki hati nurani. Keduanya adalah Dekan dan Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Drs. Sudarpo Mas’udi dan Drs. Amir Hamzah Wirjosukarto.

Sudarpo dan Amir Hamzah pernah menjadi aktivis HMI Cabang Yogyakarta. Amir Hamzah tercatat pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar PII.

Dalam rapat, Sudarpo dan Amir Hamzah meminta penilaian pimpinan universitas, diberikan setelah mendengar keterangan DM-UB.

Karena usulnya itu, Sudarpo dan Amir Hamzah dikeluarkan dari Universitas Brawijaya Cabang Jember. Tidak hanya dikeluarkan, Sudarpo dan Amir Hamzah dituduh anti Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno.

Di masa itu, tuduhan ini adalah tuduhan yang sangat berat dan mematikan. Mereka juga dituduh antek-Masyumi dan antek-GPII, dua organisasi politik dan pemuda Islam yang dipaksa membubarkan diri oleh rezim Sukarno.

Belajar dari Roem

Sesudah dikeluarkan dari Universitas Brawijaya, Amir Hamzah praktis tidak punya penghasilan tetap. Akan tetapi, karena matang oleh tempaan PII dan HMI, Amir Hamzah tidak lantas duduk bertopang dagu meratapi nasib.

Ia melanjutkan hidupnya. Dia pulang ke kampung halaman istrinya di Singosari, Malang, dan aktif di Muhammadiyah Singosari.

Beruntunglah Amir Hamzah punya mertua cukup berada. Secara rutin mertuanya mengirim beras. Kiriman beras juga diterima Amir Hamzah secara rutin dari Ustadz A. Kadir Hassan Bangil. Sedang sayuran, bisa dipetik di kebun mertua yang luas.

Setelah lama tidak punya pekerjaan tetap, mertuanya yang baik hati memberi toko agar Amir Hamzah bisa berjualan, sebagai sumber penghasilan.

Sambil menyerahkan toko, sang mertua berpesan kepada sang menantu agar menunggu “itungan weton” sebelum memulai berdagang.

Beberapa hari kemudian, sore menjelang maghrib, melalui istri, Amir Hamzah mendapat perintah dari mertuanya. Perintah itu cukup unik, “Besok toko harus mulai dibuka. Berangkat dari rumah sebelum jam 8 pagi. Keluar harus menghadap utara, dan datang ke tokonya dari arah utara.”

Mendapat perintah itu, istri Amir Hamzah bingung. Rumahnya menghadap ke selatan, bagaimana keluar harus menghadap utara? Datang ke toko harus dari utara, padahal posisi pasar tempat tokonya ada di utara rumah.

Dan yang tidak kurang penting, apa yang mau dijual? Modal tidak ada. Mendapat laporan dari istrinya, Amir Hamzah tersenyum.

“Ya sudah. Bapak sudah ngendiko, ojo digawe atine gelo, (Ya sudah. Bapak sudah memberi perintah. Jangan bikin hatinya menjadi risau)”.

Dan untuk membesarkan hati istrinya, Amir Hamzah bercerita tentang bagaimana Mr. Mohamad Roem menghormati orang tua yang masih percaya dengan hal-hal semacam yang dipercayai mertuanya.

Keesokan hari, pagi-pagi sekali, mertuanya sudah datang ke rumah mengingatkan Amir Hamzah agar jangan terlambat membuka toko.

Sang menantu pun pagi-pagi sudah siap. Apa yang dijual? Buku-buku dan koran bekas milik pribadi. Di-packing dan dibawa pakai sepeda.

Sementara untuk memenuhi perintah mertua, Amir Hamzah keluar rumah dengan menuntun mundur sepedanya dari rumah sampai jalan.

Berboncengan dengan istri, mengayuh sepeda ke arah utara yang cukup memungkinkan, agar saat masuk jalan raya, posisinya berada di utara pasar tempat tokonya akan dibuka.

Beres sudah. Mertua pun puas, dan profesi sebagai pedagang buku mulai dilakoninya.

Amanat Pak Natsir

Setiap hari ada saja yang membeli buku dan koran-koran lama, sehingga setiap hari ada uang masuk.

Namun, beberapa pekan kemudian Amir Hamzah mulai kebingungan, karena persediaan buku dan koran menipis, sedangkan uang hasil menjual buku habis untuk makan dan keperluan rumah tangga.

Di tengah kebingungan, sekitar satu bulan sesudah toko dibuka, suatu hari datang mobil penuh bermacam-macam judul dan jenis buku. Tamu yang tidak diundang itu mengaku pemilik toko buku “Kurnia”, toko buku besar di Surabaya.

Pemilik TB “Kurnia” itu bercerita kepada Amir Hamzah, bahwa dia hendak menyampaikan “amanat bapak” untuk membantunya berjualan buku. Semua buku satu mobil penuh tadi, boleh dijual oleh Amir dan dibayar belakangan.

Antara senang, bingung, dan terkejut, Amir Hamzah pun bertanya, “Siapa bapak yang amanatnya mau Saudara sampaikan itu?”

Pemilik TB “Kurnia” menjawab singkat, “Pak Natsir”.

Amir Hamzah tersadar, ia beberapa kali mengunjungi M. Natsir di Rumah Tahanan, di Batu, Malang, dan sempat bercerita tentang usahanya membuka toko buku.

Rupanya karena cerita itu, Natsir meminta pemilik TB “Kurnia” yang juga kader Masyumi, untuk membantu usaha yang sedang dirintis olehnya.

Permintaan itu pun ditunaikan dengan suka cita. Belakangan, Amir Hamzah mengetahui kiriman beras yang rutin dia terima dari Ustadz Abdul Qadir Hassan Bangil, juga lantaran amanat Pak Natsir.

Demikianlah Natsir. Dari dalam rumah tahanan, dia tidak pernah berhenti memikirkan nasib kader dan umat.

Oleh: Lukman Hakiem (Peminat Sejarah, Mantan Staf Ahli Wapres Hamzah Haz dan Anggota DPR RI)