Papua Tetap Indonesia

Papua Tetap Indonesia

Ngelmu.co – Papua bergolak. Mencekam. Hingga kini. Ada apa? Kenapa? Se-begitu marahkah Papua? Hingga saat ini, Kota Jayapura masih mencekam, hampir lumpuh. Deiyai minta referendum. Mereka marah hingga menuangkannya dalam frasa #I’mnotmonkey. Namun, Papua tetap Indonesia.

Papua tetap Indonesia

Sebelumnya, kita lebih mengenal dengan nama Irian Jaya. Nama indah pemberian Presiden Ir. Soekarno, Founding Father kita yang katanya berarti Ikut Republik Indonesia Anti Nedherland.

Nama Irian juga usulan dari Frans Kaisiepo, Pahlawan Nasional asli Biak, kelahiran 10 Oktober 1921. Pada 1946, beliau mewakili Irian bergabung ke Republik Indonesia Serikat, dan mengusulkan nama Irian yang berarti bumi yang panas.

Dalam sejarah Islam Nusantara, Irian bahkan di-tengarai berasal dari bahasa Arab Urryun (Baca: Irian), dan dikenal dengan nama Nuu War yang artinya bumi yang mengeluarkan cahaya, atau menyimpan rahasia.

Tak bisa Dilepaskan dari Sejarah Islam

Papua memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam, karena Islam jauh lebih dulu masuk. Mulai 1214, melalui Sultan Iskandar Syah dari Kerajaan Samudera Pasai.

Dilanjutkan Raden Patah tahun 1400 M, Aru Pataka dari Bone (1611 M), hingga Sultan Tidore (1816 M).

Setelah itu, Kristen Protestan masuk pada Februari 1885 M, dan Kristen Katolik baru masuk 16 Maret 1930.

Nama Irian kembali berubah jadi Papua, yang ditetapkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur), pada 31 Desember 1999, hingga kini.

Papua tetap Indonesia, karena sejarah Papua, Irian, atau Nuu Waar, tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Bumi Nusantara.

Dari Raja Sri Indrawarman, Kerajaan Sriwijaya; hingga Majapahit, sudah bersentuhan dengan bumi Papua.

Kini Papua terluka. Kantor DPRD, Dandim, Kantor Majelis Rakyat Papua, hingga Telkom, Bea Cukai, dan beberapa SPBU, di Jayapura Papua, dibakar massa.

Kita perlu introspeksi. Sepertinya ada yang salah dalam tata laku membangun Papua. Papua kaya raya, tapi miskin menikmati hasilnya.

Papua eksotik, hingga rakyat Papua jadi ajang eksploitasi wisata. Sepertinya bukan perlakuan begitu yang diharapkan rakyat Papua.

Papua Butuh Kehidupan

Benar pernyataan Gubernur Papua, Lukas Enembe dalam Mata Najwa, Rabu (21/8), “Papua tidak butuh jalan, tidak butuh pembangunan, yang dibutuhkan adalah kehidupan”.

“Papua butuh kemanusiaan. Butuh peningkatan Human Development Index yang setara dengan para migran di Papua,” imbuh Andi Arief Junaedi, dari Kontras.

HDI adalah ukuran seseorang pada tingkat harapan hidup, tingkat pendidikan, pemahaman huruf-huruf, dan standar hidup seseorang.

Papua tidak butuh jalan Trans Papua, bahkan kata Gubernur Lukas Enembe, yang melewati jalan tersebut bukan orang Papua.

Papua butuh peningkatan taraf hidup yang layak. Butuh Guru. Papua butuh pendidikan.

Kehidupan yang lebih baik, dan memiliki harapan hidup yang lebih baik, harus tercipta segera di Papua. Masyarakat Papua harus pintar dan berpengetahuan.

Rakyat Papua harus meningkat kualitas hidupnya, sehingga bisa menjadi tuan di tanahnya sendiri.

Karena nama Papua atau Irian mewakili semangat, kerja keras, perjuangan, jati diri orang Papua yang berani, demi meraih masa depan yang lebih baik, maju, damai, dan sejahtera.

Sebagaimana syair Edo Kondologit, ‘Aku Papua’:

Hitam kulit keriting rambut, aku Papua …
Biar nanti langit terbelah, aku Papua …
Tanah Papua tanah leluhur, di sana aku lahir …
Tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil yang turun ke bumi …

Papua tetap Indonesia

Ayo, bantu Papua. Papua harus maju dan berdaya. Bersama Indonesia, Papua Insya Allah, akan meraih kejayaannya.

Segera tingkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Papua. Pendidikan yang maju dan setara. Pendidikan dan teknologi yang memberikan tempat terhormat, bagi rakyat Papua.

Sekali lagi, Papua tetap Indonesia.

Oleh: Rofik Hananto