Opini  

Pelukan Kebangsaan MSI The Bridge Builder

Entah siapa yang pertama kali yang sebenarnya memulai, tapi Saya sendiri membaca istilah “Pelukan Kebangsaan” pertama kali dari akun IG Bambang Soesatyo, Ketua MPR-RI dari F-Golkar. Dalam caption beliau: “PELUKAN KEBANGSAAN.

Tidak mau kalah dengan Surya Paloh. Berpelukan dengan Presiden PKS Sohibul Iman,” lengkap dengan foto BS inisial pop Bambang Soesatyo yang membentang tangan mengajak MSI inisial pop dari Presiden PKS, Mohamad Sohibul Iman.

Gegeran soal pelukan kebangsaan ini pada mulanya berasal dari momen ketika Surya Paloh (SP) dan MSI berpelukan di kantor DPP PKS.

Viralnya foto beliau berdua menggegerkan karena memberikan pesan simbolik satu pola komunikasi anti ‘baper’ antara politik koalisi dan partai oposisi. MSI hendak memberikan pesan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memilih jalan “oposisi tanpa benci”.

Pun kemudian Presiden Jokowi merespon, mulai dari sindiran pelukan SP dan MSI dan balasannya SP ketika berpidato.

Komunikasi yang membuat Kongres Partai Nasional Demokrat (Nasdem) menjadi saksi pertemuan Jokowi-SP-MSI. Di akun IG Presiden Jokowi caption-nya: “Pak Surya Paloh berpelukan dengan Pak Sohibul Iman. Saya berangkulan hangat dengan Pak Surya Paloh, dan juga bersalaman akrab dengan Pak Sohibul Iman.

Rangkulan, pelukan, salaman di antara para pemimpin adalah sebentuk silaturahmi, senantiasa memperteguh komitmen kebangsaan, kenegaraan, persaudaraan, persatuan, kerukunan.” Pelukan Kebangsaan ini tidak dapat dipandang biasa.

Pelukan ini adalah aksi paling fenomenal dan seakan menjadi “AHA!” karena dapat mewakili ragam produksi narasi dan jargon yang kompleks, rumit, dan formalistik yang bertujuan mengakhiri residu Pemilu berupa pembelahan sosial ( _social cleavages_).

Pendekatan Politik Guyub, Inklusif, Teduh

Pelukan SP-MSI ini Saya sebut sangat unik, karena bukan hanya viral sebagai public talks, tapi dapat menular sebagai tren di beberapa elit, serta mendorong hadirnya budaya politik baru di Indonesia. Saat kontestasi Pemilu masih berlangsung, pelukan yang fenomenal juga terjadi di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah, Agusus 2018.

Apabila saat itu pelukan Jokowi-Prabowo yang ‘dipersatukan’ oleh pesilat Hanifan Yudani Kusumah (HYK), maka kali ini MSI adalah sosok ‘the Bridge Builder’ terhadap situasi ketegangan oposisi-koalisi dan bahkan membantu mencairnya ketegangan koalisi-koalisi. Buktinya, setelah rangkaian pelukan, muncul foto wefie Megawati – Puan Maharani – Surya Paloh, setelah sebelumnya viral foto dan berita ketegangan antar beliau.

Ini bukan politik biasa dari PKS, tapi ada diferensiasi political branding yang tidak lepas dari faktor karakter MSI yang mempengaruhi budaya pendekatan politik PKS kali ini.

Sebelumnya, MSI juga tetap hadir bersilaturahim ke Prabowo, menjelang pelantikan Kabinet. Padahal, dalam posisi itu sangat besar peluang PKS untuk secara pragmatis memainkan isu inkonsistensi Partai Gerindra demi mengambil ceruk pemilih yang kecewa dengan sikap politik Prabowo yang mengambil posisi menjadi Menteri di Kabinet.

Alasan terus menerus mengalah dalam Pilgub Jabar, Jateng, Pilpres hingga mungkin DKI, seperti tidak pernah dijadikan pilihan dasar berpijak MSI untuk meninggalkan budaya politik yang “guyub, inklusif, teduh”.

Di negara-negara demokrasi dunia pun pelukan antar elit politik memang kerap viral dan sarat pesan. di Amerika Serikat. Misalnya pelukan Ronald Reagan-Gerald Ford-George H.W. ketika Bush menang konvensi Partai Republik 1980.

Adapula foto saat Bill Clinton memeluk Wakil Presidennya, Al Gore sambil mendukung Gore sebagai Presiden pada 7 Agustus 1999.

Pelukan ganda, antara Presiden Obama dan Wakil Presiden Biden bersamaan dengan pelukan antara istri-istri mereka, Michelle Obama dan Jill Biden. Akan tetapi, kalau pelukan itu antara elit politik yang dipersepsi bertolak belakang itu akan jauh lebih berpeluang lebih viral dan menyejarah!

Di India misalnya, di tengah suasana politik mencekam, foto Rahul Gandhi yang memeluk Narendra Modi pun fenomenal dan berpeluang menyejarah. Pelukan terebut memberikan pesan bahwa bahkan konfrontasi politik yang paling keras sekali pun mereka tetap dapat saling memberikan ruang kebersamaan.

The Bridge Builder

Perbedaan pilihan politik memang tidak semestinya berdampak pada pembelahan sosial. Akan tetapi, memang sebagai negara majemuk yang menganut multi-partai meramu kebersamaan itu tidak mudah.

Maka, Indonesia membutuhkan banyak bridge builder di kalangan elit ragam parpol yang lebih berorientasi membangun jembatan daripada membangun tembok.

Apabila kita mengacu penjelasan model Lipset dan Rokkan serta model Kitschelts, maka dapat diramu bahwa basis pembelahan biasanya karena tiga: pembelahan teritorial-kultural, keagamaan-kebangsaan, dan sosio-ekonomi.

Maka bridge builder yang dibutuhkan adalah yang mampu berkomunikasi dengan semangat “guyub, inklusif, dan teduh”, bukan sekedar bertindak dengan basis legitimasi sebagai pemenang yang sukses meraup suara mayoritas. Melaju dengan logika _“winner takes all”_ hanya akan mengoyak sampan keberagaman dan menabrak karang kebangsaan kita.

MSI sepertinya sedang merintis jalan tersebut. Pria 54 tahun ini tengah menjalankan kepemimpinan yang dalam terma Antonio Gramsci: “intelektual organik”.

Basis reputasi kapasitas akademiknya diraih diantaranya sejak menjadi mahasiswa di Jepang penerima beasiswa dari Program Habibie, studi S1 hingga S3 di Jepang pada Waseda University (1992), Takushoku University (1994), dan Japan Advanced Institute of Science and Technology (2004) dalam bidang industri dan teknologi.

Pengelolaan tangan dingin kepemimpinannya diserap melalui kiprah beliau di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Sementara, karakter the bridge builder dengan pendekatan dialogis dan cara pandang inklusif rasanya tidak terelakkan dari pertemuannya bersama Universitas Paramadina yang didirikan Prof. Dr. Nurcholis Majid (Cak Nur), di mana sepeninggal Cak Nur, maka MSI-lah yang dipercaya memimpin sebagai Rektor Universitas Paramadina.

MSI nampaknya menyadari tugas beliau sebagai pelaksana arahan Ketua Majelis Syuro Habib Salim Segaf Al-Jufri, yakni setelah menyukseskan PKS di Pemilu adalah menjaga performance PKS pasca Pemilu.

MSI dianggap sukses karena PKS telah memeroleh kenaikan suara 11,4 juta suara (capaian terbesar sepanjang sejarah PK/PKS) dengan 50 kursi DPR-RI. Kini, sepertinya MSI hendak menjadikan PKS lebih transformatif, lincah, dan adaptif dalam pilihan ‘mewah’nya sebagai oposisi.

Rasanya tidak terlalu perlu untuk memprediksi bagaimana capaian PKS pada Pemilu 2024. “Belanda Masih Jauh”. Akan tetapi, langkah-langkah MSI bersama PKS pasca Pemilu dengan melakukan Pelukan Kebangsaan memberikan suntikan optimisme bagi demokrasi Indonesia ke depan. Untuk tidak menambah pembelahan sosial Indonesia kita tercinta.

 

Arya Sandhiyudha, Ph.D

Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative