Pemerintah Terindikasi Istimewakan Tenaga Kerja Asing

Ngelmu.co, JAKARTA – Regulasi seputar Tenaga Kerja Asing (TKA) dinilai merugikan pekerja dalam negeri. Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2018, mengindikasikan jika pemerintah mengistimewakan TKA.

Kritikan tersebut disampaikan Wakil Ketua DPR, Fadli Zon. Menurutnya, di tengah tren integrasi ekonomi dan kawasan, pemerintah seharusnya memberi perlindungan terhadap kepentingan tenaga kerja lokal.

“Bukan malah sebaliknya,” kata Fadli sebagaimana dilansir laman dpr.go.id, Senin (23/4/2018).

Fadli menyebut kebijakan mempermudah akses TKA salah arah. Padahal, Presiden Jokowi pernah menjanjikan ingin menciptakan 10 juta lapangan kerja bagi anak-anak bangsa.

Namun, tiga tahun berkuasa pemerintah malah terus-menerus melakukan relaksasi aturan ketenagakerjaan bagi orang asing.

“Melalui integrasi ekonomi ASEAN, serta berbagai ratifikasi kerja sama internasional lainnya, tanpa ada pelonggaran aturan sekalipun, sebenarnya arus tenaga kerja asing sudah merupakan sebuah keniscayaan,” papar Fadli.

“Nah, pada situasi itu yang sebenarnya kita butuhkan justru bagaimana melindungi tenaga kerja kita sendiri,” jelas dia.

Fadli menjelaskan, saat ini pasar tenaga lokal dibanjiri TKA. Bahkan, dibanding negara-negara ASEAN lainnya, tenaga kerja Indonesia adalah yang paling tidak protektif di negeri sendiri.

“Ketika pasar produk dalam negeri diberikan secara murah kepada asing, kini bursa kerja di Tanah Air juga hendak diobral kepada asing,” imbuh Wakil Ketua Umum Gerindra itu.

Data Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Kemenakertrans) per Maret 2018, ada sekitar 126 ribu TKA yang ada di Indonesia.

“Angka ini melonjak 69,85 persen dibandingkan angka jumlah TKA pada Desember 2016, yang masih 74.813 orang. Sebelum ada Perpres Nomor 20 Tahun 2018 saja lonjakannya sudah besar, apalagi sesudah ada Perpres ini,” keluh politisi Partai Gerindra ini.

Data itu hanya menyangkut jumlah TKA yang legal. Mungkin data TKA ilegal yang masuk ke pasar kerja lokal bisa jauh dari itu jumlahnya.

“Di Sulawesi Tenggara, misalnya, di sebuah perusahaan nikel tahun lalu, ditemukan 742 TKA asal China yang bekerja di sana. 210 di antaranya tenaga kerja ilegal. Hampir 30 persennya ilegal. Menurut data resmi, TKA legal dan ilegal mayoritas memang berasal dari China,” urai Fadli lebih jauh.

Perpres 20/2018 ini dinilainya sangat berbahaya. Sebelum adanya beleid baru ini saja, pemerintah sudah kewalahan mengawasi TKA yang masuk, apalagi sesudah dibuka lebar-lebar.

Sementara jumlah pengawas hanya 2.294 orang. Mereka harus mengawasi sekitar 216.547 perusahaan dan ratusan ribu tenaga kerja asing.

“Berarti satu pengawas harus mengawasi sekitar 94 perusahaan legal. Itu tidak mungkin dilakukan. Apalagi, harus pula mengawasi TKA,” tegasnya.

Idealnya, seorang petugas hanya mengawasi lima perusahaan. Dengan asumsi jumlah perusahaan dan TKA itu, setidaknya dibutuhkan 20-30 ribu pengawas.

“Pengawasan kita terhadap TKA juga semakin lemah, karena kini pengawasan ketenagakerjaan dipindahkan ke level provinsi, bukan di kabupaten/kota. Beleid ketenagakerjaan yang baru ini benar-benar tak punya kontrol,” bebernya.

Di sisi lain, sambung Fadli, angka pemutusan hubungan kerja (PHK) memperlihatkan 1.599 kasus pada 2016 dan 2.345 kasus pada 2017.

Ironis, di tengah tren PHK yang meningkat, pemerintah malah memberi keleluasaan aturan ketenagakerjaan bagi orang asing.

“Saya kira kebijakan-kebijakan tadi tak boleh dibiarkan tanpa koreksi. Itu semua harus segera dikoreksi. DPR sebenarnya pernah membentuk Panja Pengawas TKA. Tapi, rekomendasinya diabaikan,” pungkasnya.