Berita  

Pemerintah Tolak Legalisasi Pernikahan Beda Agama!

Pernikahan Beda Agama
Foto ilustrasi nikah beda agama: detikcom/Edi Wahyono

Ngelmu.co – Sidang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK), setelah warga Papua, Ramos Petege, mengajukan judicial review UU Perkawinan.

Garis besar dari persidangan tersebut adalah pemerintah menolak melegalkan pernikahan beda agama.

Sebelumnya, Ramos mengajukan uji materi UU Perkawinan ke MK, karena tidak dapat menikahi kekasihnya yang berbeda agama dengannya.

Ramos beragama Katolik, sementara kekasihnya beragama Islam. Keduanya telah menjalin hubungan selama 3 tahun.

[Pemohon adalah warga negara perseorangan yang memeluk agama Katolik, yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam, tetapi setelah menjalin hubungan selama 3 tahun, dan hendak melangsungkan perkawinan, perkawinan tersebut haruslah dibatalkan, karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda]

Demikian bunyi permohonan Ramos, yang di persidangan juga menghadirkan Direktur Amnesty Indonesia Usman Hamid.

Menurut Hamid, sudah saatnya Indonesia, membolehkan pernikahan beda agama.

[Lembaga‐lembaga HAM dunia, termasuk organisasi nonpemerintah seperti Amnesty International, menganggap hak untuk menikah dan membentuk keluarga ini adalah bagian dari hak asasi manusia. Berbagai komentar umum Komite HAM PBB, putusan-putusan Komite HAM Umum PBB, ketika memeriksa kasus-kasus perselisihan antara warga negara dengan negara anggota PBB terkait pernikahan, menyatakan, “Tidak boleh ada keraguan untuk membolehkan pernikahan beda agama di dalam berbagai kasus negara‐negara tersebut.”]

Sementara yang mewakili pemerintah dalam persidangan tersebut adalah Menkumham Yasonna Laoly dan Menag Yaqut Cholil Qoumas.

Lebih lanjut, Kamaruddin Amin selaku kuasa dari Kemenag, menyampaikan pernyataan resmi pemerintah.

[Makna hukum atau legal meaning ketentuan Pasal 29 UUD 1945 sebagai batu uji Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan oleh Pemohon, telah ditafsirkan secara keliru. Bahwa prinsip kemerdekaan dan kebebasan agama, disamakan sebagai prinsip yang membolehkan perkawinan beda agama]

Baca Juga:

Hukum perkawinan masing‐masing agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia, menurut pemerintah, berbeda‐beda.

Sehingga tidak mungkin untuk disamakan, karena suatu hukum perkawinan menurut satu hukum agama serta kepercayaan untuk menentukan sahnya perkawinan adalah syarat‐syarat yang ditentukan oleh agama dari masing‐masing pasangan calon mempelai.

[Dan terhadap perkawinan tersebut dilakukan pencatatan sebagai tindakan yang bersifat administratif yang dilaksanakan oleh negara, guna memberikan jaminan perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersangkutan, yang merupakan tanggung jawab negara, serta sebagai bukti autentik perkawinan]

Pemerintah kembali menekankan, bahwa tidak membolehkan perkawinan beda agama ataupun kepercayaan, atas dasar hak asasi manusia dan kebebasan.

Sebab, dalam menjalankan hak serta kebebasan, tiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang‐undang.

Dengan maksud semata‐mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak serta kebebasan orang lain.

Begitu juga untuk memenuhi tuntutan yang adil, sesuai dengan pertimbangan moral, nilai‐nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

[Sehingga tidaklah mungkin di negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, atas dasar hak asasi manusia dan kebebasan, tiap orang dapat sebebas‐bebasnya melakukan perkawinan beda agama dan kepercayaan, karena bisa jadi pelaksanaan perkawinan berbeda agama dan kepercayaan, justru akan melanggar hak konstitusional orang lain yang seharusnya dihormati (respected), dilindungi (protected) oleh tiap orang, dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945]

Baca Juga:

Mengutip risalah pada situs web MK, hakim konstitusi Suhartoyo, menanyakan relevansi larangan pernikahan beda agama di UU Perkawinan.

Dengan alasan, UU tersebut sudah berusia puluhan tahun, sehingga konstektualnya bisa saja kembali dikaji.

“Sebenarnya, UU 1/1974 ini ‘kan sudah hampir 40 tahun lebih,” kata Suhartoyo, seperti Ngelmu kutip pada Rabu (6/7/2022) ini.

Ia juga menggarisbawahi keterangan DPR yang disampaikan oleh anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani.

Dalam keterangannya, Arsul menyampaikan bahwa larangan tersebut telah menjadi perdebatan, saat lahirnya UU Perkawinan.

“Nah, persoalan yang muncul kemudian, memang dalam konteks kekinian, Pak Arsul dan Pak Dirjen, ini ‘kan sudah berbeda dengan tahun 1974.”

“Apakah tetap statis seperti 1973, ataukah sudah ada konteks kekinian yang sebenarnya juga menjadi bahan kajian bersama ketika akan dilakukan perubahan UU 1/1974 itu, Pak Arsul?” tanya Suhartoyo.

Ia yang menyatakan bahwa walaupun dilarang, pernikahan beda agama tetap dilakukan, kemudian menanyakan, “Bagaimana solusi hukum atas kekosongan hukum tersebut?”

“Kalau Pak Arsul menggunakan istilah civil marriage dan religious marriage yang itu memang tidak bisa dipisahkan, tapi di tataran empiris ‘kan, itu ada.”

“Nah, sebenarnya bagaimana jalan tengah kalau memang ada pandangan‐pandangan ketika pembahasan di 2019, bersama‐sama dengan Presiden, ketika ada perubahan itu dalam perspektif hari ini, yang kemudian bisa menjadi jalan tengah itu?” tanya Suhartoyo, lagi.

Arsul pun menjawab, bahwa DPR, menerima aspirasi soal pernikahan beda agama.

Namun, hingga saat ini, DPR masih sepakat mempertahankan pasal tersebut.

[Sikap resmi DPR, sebagai jawaban kami, te-representasi-kan dalam sikap fraksi-fraksi yang ada di DPR. Pada umumnya, fraksi‐fraksi yang ada di DPR, tetap sepakat untuk mempertahankan politik hukum yang diletakkan di dalam Pasal 2 UU 1/1974. Nah, kenapa, kok, tetap mempertahankan? Karena dalam pandangan kami di DPR, ini terkait juga dengan kesepakatan kita bernegara. Kontrak sosial kita bernegara. Bahwa, memang kontrak sosial kita bernegara ini, ya, yang kemudian kalau terkait dengan kedudukan agama itu tercermin, baik dalam Sila Pertama Pancasila, maupun Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Itu memang berbeda dengan yang ada di negara-negara lain. Di mana perspektif tentang sejauh mana negara boleh masuk dalam ruang privasi seseorang, termasuk dalam urusan perkawinan itu berbeda].