Penganiayaan Ulama dan Narasi Orang Gila

 

Didalam islam, akal memang memiliki kedudukan istimewa. Seseorang utuh dipahami sebagai manusia sempurna jika memiliki jasad, akal dan ruh. Orang yang akalnya belum sempurna (anak kecil), belum memiliki beban syariat. Terlebih, orang yang hilang akalnya (gila), maka tidak bisa dihukumi amal perbuatannya. Memang benar, orang gila tidak bisa dihukum atas perbuatan yang dilakukannya. Bahkan jika dia membunuh orang sekalipun.

Disini muncul beberapa permasalahan. Pertama, siapa pihak yang bisa menyimpulkan atau menghukumi bahwa seseorang itu “gila”. Seseorang tidak bisa disebut gila kecuali telah diperiksa oleh pihak yang memiliki otoritas dalam masalah itu. Jika kemudian muncul beberapa kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang gila, patut ditanyakan “Apakah sudah dilakukan tes kejiwaan?”. Hal ini penting untuk dibuka agar tidak mengundang tanda tanya. Karena untuk kasus kriminalitas berat saja, biasanya aparat akan melakukan tes kejiwaan terlebih dahulu dengan menggandeng psikiater dan psikolog, sebelum menyimpulkan kondisi kejiwaan pelaku.

Kedua, riwayat dimasa lalu. Setahu kami, tidak ada orang tiba – tiba dinyatakan gila secara mendadak. Kecuali karena sebab – sebab khusus, baik kecelakaan maupun terkena azab. Orang gila biasanya dikenali oleh masyarakat, dalam jangka waktu yang lama. Dan hal tersebut biasanya nampak secara nyata, baik pada ucapan, perilaku hingga cara berpakaian. Jika pelakunya memang sudah tertangkap, maka publik bisa dilakukan investigasi sederhana. Ditanyakan kepada keluarganya, tetangganya, teman sekolah dll, tentang ikhwal kondisi kejiwaan orang tersebut : “Apakah yang bersangkutan orang waras atau gila”.

Ketiga, pengawasan dan penjagaan lingkungan. Setahu kami, masyarakat biasanya cukup awas jika dilingkungannya ada orang gila. Mereka akan menjaga keluarganya agar tidak mendekatinya serta mewaspadai pergerakan orang gila itu. Pada banyak kasus, keluarga yang bersangkutan biasanya akan mengurung anggotanya yang diindikasi gila didalam rumahnya atau mengirimnya ke panti khusus. Jadi, pergerakan orang gila umumnya sangat mudah terdeteksi. Jika ada orang gila yang benar – benar lepas dari pengawasan, itu adalah kondisi yang sangat jarang terjadi.

Keempat, orang gila biasanya melakukan perbuatan secara spontan dan acak, alias tidak punya rencana. Dia juga tidak memiliki kemampuan untuk menargetkan secara khusus siapa calon korbannya. Dan pada umumnya, orang gila itu hanya bersikap defensif, lebih untuk membela diri atas gangguan dari pihak luar. Jika kemudian muncul beberapa peristiwa beruntun (penganiayaan dan pembunuhan) yang melibatkan orang gila sebagai pelakunya, maka ini adalah kebetulan yang sangat sulit dipahami oleh nalar.

Kelima, atas peristiwa yang terjadi di Jawa Barat yang menimpa para tokoh agama, kita semua mengutuk keras. Kita pun bersepakat bahwa itu adalah perbuatan gila. Nah, siapakah yang bisa melakukan perbuatan gila? Setidaknya ada dua pihak, yakni orang gila dan orang waras (psikopat, eksrimis dll). Jika pelakunya tiba – tiba menjadi gila, maka itu adalah azab. Jika pelakunya waras tapi berpura – pura menjadi gila, maka itu adalah modus.

Eko Jun